Ekonomi Kreatif, Sektor Menjanjikan dengan Ragam Batu Sandungan
Kontribusi ekonomi kreatif Indonesia terhadap ekspor nasional mencapai 11,9 persen pada 2019.
Ekonomi kreatif memiliki potensi perputaran ekonomi yang menjanjikan. Namun, gaungnya kerap kalah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Padahal, banyak orang rela merogoh kocek lebih untuk menikmati beragam karya para pelaku ekonomi kreatif.
Konser Taylor Swift, misalnya. Pergelaran musik diva itu mampu menggerakkan perekonomian suatu negara. Keberadaannya bahkan diperebutkan negara-negara di Asia Tenggara. Namun, hanya Singapura, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang berhasil menghelat The Eras Tour pada 2-4 Maret 2024 dan 7-9 Maret 2024 di Stadion Nasional Singapura.
Setelah ”perburuan tiket” berakhir pada medio 2023, beragam hotel, maskapai, dan operator agen perjalanan mengalami ledakan pesanan ke Singapura pada Maret 2024. Harga akomodasi dan tiket pun naik berlipat. Sebab, para penikmat konser bukan hanya warga Singapura, tetapi juga para pengunjung yang datang dari beragam negara tetangga, antara lain, Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Gegap gempita konser ini hanyalah satu dari sederet subsektor ekonomi kreatif (ekraf).
Baca juga: Puluhan Triliun Pesona Taylor Swift
Mengutip laporan ”Projecting Indonesia’s Creative Economy Potential on the Global Stage 2022” yang dirilis Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), posisi ekraf secara global semakin dilihat penting karena berperan sebagai salah satu produk domestik bruto (PDB) sejak 1990-an. Berkaca dari krisis finansial pada 2008, Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyampaikan, pada saat itu ekraf justru tumbuh subur.
Sejalan waktu, perekonomian ekraf terus meningkat. Perdagangan barang-barang industri ekraf melejit dari 208 miliar dollar AS pada 2008 menjadi 509 miliar dollar AS pada 2015. Kenaikan itu didongkrak pertumbuhan desain, fashion, dan industri film.
Dunia pun mengalami pergeseran tren ekonomi global, dari basis sumber daya alam ke sumber daya manusia. Aspek itu banyak bergantung pada kreativitas dan inovasi.
Sebelum pandemi Covid-19, ekraf merupakan sektor dengan pertumbuhan tercepat pada setiap region di dunia. Menurut data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), ekraf menyumbang 3 persen PDB global dan menghasilkan 2,2 triliun dollar AS setiap tahunnya.
Hal senada tertulis dalam laporan Asian Development Bank (ADB) Institute. Sebelum pandemi, ekraf diproyeksikan berkontribusi terhadap 10 persen PDB global pada 2030. Industri kreatif dinilai penting untuk mendukung agenda pembangunan berkelanjutan karena berpotensi mendorong inklusivitas serta perkembangan dan pemerataan ekonomi.
Roda ekonomi Indonesia
Dalam laporan Statistik Ekonomi Kreatif 2020 yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), ekraf merupakan upaya menciptakan nilai tambah berbasis ide dari kreativitas sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan. Hal ini tak terlepas dari warisan budaya dan teknologi.
Ekraf menyumbang 3 persen PDB global dan menghasilkan 2,2 triliun dollar AS setiap tahunnya.
Setidaknya terdapat 17 subsektor ekraf yang meliputi aplikasi; arsitektur; desain komunikasi visual; desain produk; desain interior; fotografi; musik; kriya; kuliner; fashion; penerbitan; film, animasi, dan video; periklanan; permainan interaktif; seni pertunjukan; seni rupa; serta televisi dan radio.
Data 2019 menunjukkan, ekraf mampu menyerap sekitar 19,2 juta orang. Jumlahnya setara dengan 15,2 persen dari tenaga kerja nasional. Trennya tumbuh positif saban tahun sejak 2011. Namun, hampir setengah distribusi sebaran pekerja pada 2019 terpusat pada subsektor kuliner sebesar 49,5 persen.
Perputaran ekonominya terlihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai Rp 1.153,4 triliun. Besarannya pun meningkat dari tahun ke tahun sejak 2010.
Baca juga: Tantangan Membiayai Sektor Ekonomi Kreatif
Dalam neraca ekspor nasional, ekraf merupakan bagian dari kategori ekspor nonmigas. Kontribusinya terhadap ekspor nasional sebesar 19,6 juta dollar AS atau 11,9 persen pada 2019. Sejak 2011, nilainya berfluktuasi pada kisaran 15,6 juta dollar AS hingga 20,3 juta dollar AS dengan besaran tertinggi pada 2018.
Menurut subsektornya, jenis barang yang paling banyak diekspor didominasi fesyen (62 persen), diikuti kerajinan tangan (31 persen), dan kuliner (6,8 persen).
Pada 2020, ketahanan sektor ekraf tampak saat pandemi Covid-19 melanda. Sektor ini hanya terkontraksi 2,4 persen. Beberapa subsektor, antara lain, gim dan aplikasi justru tumbuh positif. Indonesia meyakini ekraf memiliki sejumlah potensi strategis untuk mendorong pemulihan ekonomi global, mendukung percepatan perkembangan sosioekonomi pascapandemi, seperti dilansir dari laporan Kemenlu.
Batu sandungan
Meski tampak menjanjikan, perhatian pemerintah, masyarakat, bahkan pelaku ekraf terhadap sektor ini tak sebesar sektor-sektor lainnya. Saat ini kecenderungan ekraf memang berkembang, tetapi pertumbuhannya belum diharapkan.
Menurut praktisi budaya, pariwisata, dan ekraf, Harry Waluyo, ekosistem ekraf belum terbentuk di Indonesia. Para pelaku dalam ekosistem masih belum memahami pasar.
”Para seniman, kreator, kurang dapat suatu peluang, dalam pengertian perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), (dan) dukungan kemudahan mendapat pembiayaan. Kendala-kendala ini sudah lama kami rasakan,” ujarnya.
Baca juga: Tantangan Membiayai Sektor Ekonomi Kreatif
Meski ada regulasi yang membuka peluang mendapat bantuan, pasar tak serta-merta menerima dengan mudah. Dalam hal pembiayaan, misalnya, HAKI membantu seniman mendapat dukungan pembiayaan. Namun, perbankan memiliki standar tersendiri yang terukur secara ekonomi untuk memberi pinjaman, seperti adanya jaminan dan laporan keuangan sehat dalam dua bulan berturut-turut (Kompas.id, 27/02/2024).
Harapannya, para pelaku ekraf bisa memahami bahwa dalam industri ekraf, ekspor tak melulu berupa barang. Nilai dan kualitas, selain harga dan pelayanan, juga jadi aspek lain. Dalam skala domestik, memang keunggulannya tak diragukan. Namun, para pelaku ekraf Indonesia saat ini belum diakui sebagai pemain global.
Isu pengembangan ekraf memang perlu intervensi pemerintah. Pendanaan dan dukungan lain perlu diupayakan. Sebab, persaingan saat ini ditentukan pula dari produk, kualitas, dan harga.
”Itu benar-benar persaingan yang sangat dahsyat, beda dengan ekonomi pada umumnya. Apalagi, inovasi digital luar biasa. Kita masih kurang di situ,” kata Harry yang juga mantan Sekretaris Utama Badan Ekonomi Kreatif itu.
Baca juga: Sepi Dukungan, Promotor Musik Masih Hadapi Lorong Gelap Perizinan