Puluhan Triliun Pesona Taylor Swift
Sepanjang 2023, Swift menghasilkan Rp 3,1 triliun hanya dari penjualan suvenir. Dari tiket, Rp 16,3 triliun.
Konser perdana bintang dunia Taylor Swift tinggal menghitung hari di Singapura. Perhelatan bertajuk The Eras Tour ini akan berlangsung pada 2-4 Maret 2024, berlanjut pada 7-9 Maret 2024 di Stadion Nasional Singapura.
Sebagai satu-satunya konser di Asia Tenggara, tak pelak jika tiket konser itu telah diburu sejak pertengahan 2023. Tiket bahkan ludes terjual dalam beberapa jam melalui ”pertempuran sengit”.
Harganya bervariasi, mulai dari 88 dollar Singapura hingga 1.228 dollar Singapura, setara dengan sekitar Rp 1 juta hingga Rp 14,4 juta menggunakan kurs Rp 11.703 per dollar Singapura.
Baca juga: Sukses Monopoli Konser Taylor Swift, Singapura Berpeluang Panen Cuan
Tiket hanya salah satu aspek dari penggerak ekonomi yang menimbulkan efek pengganda (multiplier effect). Sebab, sebagian besar penonton tentu berpikir untuk tampil berbeda. Pernak-pernik dan pakaian demi mempercantik diri pun dipilih dengan penuh pertimbangan.
”Sayang jika aku hanya berpakaian biasa karena aku bakal foto, kan. Alangkah bagusnya kalau aku niat. Akhirnya, aku cari baju karena Taylor Swift yang identik dengan sesuatu yang blink-blink (berkerlip),” ujar Lourentia Kinkin di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Swifties alias penggemar Swift dalam konser biasanya berpakaian sesuai tema yang dipilih dari 10 era yang diwakili tiap album Swift, mulai dari album debut bertajuk Taylor Swift (2006) hingga Midnights (2022). Sebagai pencinta warna merah muda, Kinkin memutuskan tema pakaiannya berkiblat pada album Lover (2019) yang paling merepresentasikan kepribadiannya.
Ia menghabiskan waktu memilah dan memilih pakaian beserta printilannya di e-dagang. Melihat pengeluarannya yang besar untuk mengejar Swift hingga ke negeri seberang, maka Kinkin menganggarkan pakaian, tas, dan aksesori rambut dengan harga terjangkau sekitar Rp 100.000.
Demi tampil maksimal, Kinkin berencana menghias kuku (nail art)yang merepresentasikan 10 album Swift. Tiap jari memiliki warna yang berbeda-beda. Ia menganggarkan perawatan kuku ini lebih kurang Rp 200.000. Ia juga merogoh koceknya untuk membeli stiker wajah seharga Rp 12.000.
Kontribusi pernak-pernik
Tak berhenti di situ, Kinkin akan berpartisipasi dalam friendship bracelet. Istilah itu merujuk pada tradisi Swifties di seluruh dunia yang menyepakati membuat gelang persahabatan yang akan ditukarkan saat konser berlangsung. Alhasil, pekerja swasta ini menganggarkan sekitar Rp 60.000 untuk membeli manik-manik.
Kinkin perlu merogoh kocek sekitar Rp 400.000 untuk membeli seluruh pernak-pernik guna memoles penampilannya. Hal serupa dilakukan pula oleh teman-temannya.
”Temanku sampai membuka jasa jual friendship bracelet, gelang manik-manik dengan potongan lirik lagu-lagu Taylor Swift. Temanku ada juga yang sampai menjahit baju buat ke konser. Swifties di luar negeri itu benar-benar all out sampai mereka sewa make up artist (perias wajah),” tuturnya.
Bahkan, salah seorang teman dalam rombongan Kinkin rela menyewa telepon seluler dengan kualitas pengambilan gambar lebih mumpuni. Temannya itu rela merogoh kocek hingga Rp 300.000 per hari, belum termasuk dengan pembelian paket internet.
Angka-angka tersebut di luar harga tiket, akomodasi, dan kebutuhan lainnya untuk menonton konser. Kinkin sendiri menghabiskan sekitar Rp 4 juta untuk tiket. Total, termasuk akomodasi dan tiket pesawat, ia menghabiskan sekitar Rp 10 juta.
Kinkin beserta rombongannya hanyalah segelintir dari puluhan ribu penonton yang akan memenuhi tiap konser Swift di Stadion Nasional Singapura. Setiap konser yang diadakan setidaknya dipenuhi 55.000 kursi. Total penonton selama enam kali pertunjukan sedikitnya 330.000 orang.
Konser Taylor Swift tak hanya memberi suguhan musik, tetapi juga memberi wadah bagi pemburu cendera mata (merchandise)seperti kaus, jaket bertudung (hoodie), gelang, tas, dan poster.Nominalnya pun bervariasi, bergantung jenis barangnya. Antrean para pemburu itu mengular.
Tonton juga: Sihir Taylor Swift, Gelang Persahabatan dan Kesehatan Mental Swifties
Kinkin, misalnya, menargetkan membeli jaket bertudung (hoodie)dengan mengalokasikan anggaran sekitar Rp 1,8 juta. Apabila tak memungkinkan, ia tetap berambisi mendapatkan suvenir berupa kaus senilai Rp 1 juta.
Tak heran, dari The Eras Tour sepanjang 2023, Swift menghasilkan 200 juta dollar AS atau Rp 3,1 triliun dengan kurs Rp 15.673 per dollar AS hanya dari penjualan suvenir. Adapun dari penjualan tiket, penyanyi itu mengantongi hampir 1,04 miliar dollar AS atau Rp 16,3 triliun. Angka ini memecah rekor sebagai tur pertama yang mengantongi lebih dari 1 miliar dollar AS, seperti dikutip dari Forbes.
Efek pengganda
Besarnya magnet Swift tentu menjadi perebutan banyak negara. Gegap gempita konser mampu menarik penonton dari beragam negeri sehingga bertambah pula devisa negara tujuan.
Mengutip The Straits Times, tepat setelah tiket-tiket konser Swift habis terjual, beragam hotel, maskapai, dan operator agen perjalanan telah mengantisipasi ledakan perjalanan ke Singapura pada Maret 2024. Harga pun terkerek naik beriringan dengan jumlah pesanan yang terus meningkat.
Kepala pemasaran dan komersial Pan Pacific Hotels Group Cinn Tan mengatakan, pesanan kamar Hotel Parkroyal Collection Pickering naik hingga 200 persen pada periode 2-9 Maret 2024. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan sepekan sebelum tiket diperjualbelikan. Mayoritas pesanan berasal dari Australia, Indonesia, Taiwan, dan Korea Selatan. Tren serupa terjadi pula di Hotel Parkroyal di Beach Road dengan kenaikan pesanan 20 persen untuk periode yang sama.
Baca juga: Cuan di Balik Ingar Bingar Konser Coldplay
Platform perjalanan digital Agoda juga mengalami kenaikan pencarian akomodasi di Singapura hingga 160 kali. Kenaikan menonjol berasal dari negara-negara sekitar Singapura yang didominasi warga Filipina.
Menurut Direktur Regional Asia Selatan, Oseania, dan sekitarnya Booking.com, Nuno Guerreiro, pencarian akomodasi naik 10 kali lipat selama berlangsungnya konser Swift, dibandingkan periode yang sama pada 2024. ”Ini segmen yang jelas bahwa para wisatawan menyusun perjalanannya ke Singapura, khususnya pada saat-saat konser,” katanya.
Dari segi pesanan tiket pesawat, perjalanan dari Manila (Filipina) dan Jakarta (Indonesia) ke Singapura naik 50-130 persen selama periode konser. Hal ini berbeda dengan penerbangan-penerbangan serupa pada bulan sebelumnya.
Satu tiket perjalanan Jetstar Asia, misalnya, dari Jakarta ke Singapura pada awal Maret 2024 dipatok Rp 2,2 juta. Namun, tiket serupa yang dipesan sebulan sebelumnya hanya Rp 829.000.
Platform perjalanan digital Agoda mengalami kenaikan pencarian akomodasi di Singapura hingga 160 kali.
Hal serupa terjadi pula pada platform pemesanan akomodasi digital Indonesia. Presiden Traveloka Caesar Indra mengatakan, ada kenaikan enam kali lipat pesanan tiket pesawat. Permintaan paling banyak berasal dari Indonesia, Vietnam, dan China.
Profesor rekanan dari Singapore University of Social Sciences, Walter Theseira mengatakan bahwa efek terpenting dari perhelatan konser Swift lekat dengan investasi. Konser ini mampu mendorong investasi pada industri lokasi dan bangunan serta meningkatkan reputasi Singapura sebagai hub acara regional.
”Efek hub acara yang berkelanjutan dengan perhelatan-perhelatan berkualitas tinggi menjadi penting,” ujarnya.
Pasar sekaligus penonton
Daya tarik konser Taylor Swift di Singapura tak lepas dari peran pemerintah melalui Dewan Pariwisata Singapura (Singapore Tourism Board/STB). Pihaknya telah membuat kesepakatan khusus dengan promotor konser Swift, AEG Presents Asia, demi mendapat eksklusivitas. Alhasil, konser Swift hanya diadakan di Singapura, tidak melirik negara-negara berpotensi lainnya di Asia Tenggara.
Melansir The Guardian, Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin mengatakan, AEG Presents Asia mendapat tawaran tunjangan per konser berkisar 2 juta dollar AS-3 juta dollar AS. Angkanya setara dengan Rp 31,3 miliar hingga Rp 47 miliar.
Tonton juga: Singapura Menyiapkan ”Dunia Taylor Swift”
Hasilnya, Swift mengadakan enam konser yang seluruh tiketnya terjual habis. ”Pemerintah Singapura cerdas. Mereka mengatakan (penyelenggara) untuk tak mengadakan konser-konser lain di negara-negara Asia Tenggara (selain Singapura),” ujarnya dalam forum bisnis di Bangkok, Thailand.
Sebelumnya, para penggemar dari negara-negara Asia Tenggara lainnya menyalahkan buruknya infrastruktur hingga ketidakstabilan politik yang terjadi di negaranya. Selain itu, risiko penolakan dari kelompok-kelompok Islam konservatif dinilai memengaruhi durasi tur.
Kita selalu kalah soal strategi politik bisnis internasional dengan Singapura. (Anas Syahrul Alimi).
Menanggapi fenomena ini, promotor Jazz Prambanan, Anas Syahrul Alimi, menilai perlu peran Pemerintah Indonesia untuk memajukan para pelaku ekonomi kreatif. Singapura sadar bahwa masyarakat Indonesia merupakan pasarnya.
”Kita selalu kalah soal strategi politik bisnis internasional dengan Singapura karena mereka ini sangat sadar bahwa pendapatan negara itu didapat bukan hanya dari penjualan tiket, tapi secara menyeluruh. Dari pendapatan pesawat, hotel, dan perilaku orang membelanjakan uang di Singapura,” katanya.
Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Dino Hamid mengemukakan, Indonesia perlu memiliki visi besar terhadap industri pertunjukan. Secara makro, cabang industri memang banyak, tetapi fokus pada industri atraksi seharusnya bisa lebih besar. Indonesia memiliki stadion-stadion besar yang bisa digunakan, antara lain Jakarta, Surabaya, dan Bali.
”Harapannya, Presiden mengeluarkan dana dukungan untuk pariwisata. Hopefully, (kami) bisa jadi bagian proses ke depan (pengembangan) seni pertunjukan karena memang harus didukung. Kalau enggak didukung, berat kami sebagai pelaku karena investasinya luar biasa besar dengan risiko sangat besar,” tuturnya.
Indonesia perlu memiliki pemimpin yang sangat paham mengenai manfaat dan nilai bisnis showbiz alias dunia pertunjukan. Apabila terjadi, bukan tak mungkin Indonesia bisa bersaing dengan Singapura. Saat ini, Indonesia memang masih menjadi penonton sekaligus pasar yang besar bagi Singapura.
Padahal, industri pertunjukan mampu menghasilkan perputaran ekonomi yang besar, bukan hanya untuk musisi dan promotor, tetapi juga bagi mereka yang berada di luar lingkaran pun terciprat untung. Dampaknya tak bisa dipandang sebelah mata.
Namun, ekosistem ini tak bisa hanya dipasrahkan pada para pelaku ekonomi kreatif. Butuh komitmen pemerintah untuk berinvestasi.
Baca juga: Sepi Dukungan, Promotor Musik Masih Hadapi Lorong Gelap Perizinan