Keterampilan Sosial Makin Jadi Sumber Pertumbuhan Karier Pekerja
Semakin banyak pekerjaan yang membutuhkan interaksi sosial dan empati, maka semakin sedikit terpapar kecerdasan buatan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterampilan sosial atau softskill yang dimiliki oleh pekerja semakin menjadi kebutuhan sentral di tempat kerja. Keterampilan komunikasi berada di urutan pertama yang diminta. Perusahaan menyadari tugas pekerjaan yang memerlukan keterampilan sosial manusia tidak dapat digeser dengan teknologi kecerdasan buatan.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh LinkedIn dan perusahaan konsultan riset pasar Censuswide pada 4.323 manajer perekrutan di 18 negara, yakni Inggris, Irlandia, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, India, Australia, Singapura, Jepang, Indonesia, China, Belanda, Swedia, Timur Tengah dan Afrika Utara, serta Brasil, terdapat sepuluh keterampilan sosial yang paling dibutuhkan sepanjang 2024.
Keterampilan komunikasi menempati urutan pertama, lalu diikuti oleh keterampilan melayani pelanggan, kepemimpinan, manajemen proyek, manajemen, analisis, bekerja dalam tim, penjualan (sales), memecahkan masalah, dan terakhir adalah keterampilan riset.
Survei LinkedIn dan Cencuswide itu dilakukan pada 15 Desember 2023 sampai 4 Januari 2024. Survei juga menemukan bahwa keterampilan sosial akan semakin menjadi pusat pertumbuhan karier setiap individu.
Vice President LinkedIn Aneesh Raman, dalam blog perusahaan yang dikutip, Minggu (3/3/2024), mengatakan, kolaborasi antarpekerja juga akan semakin menjadi pusat pertumbuhan perusahaan. Oleh karena itu, menurut dia, para pemimpin perusahaan sudah saatnya mulai berkomunikasi secara jelas dan penuh empati kepada anggota tim mereka.
Selama setahun terakhir muncul banyak prediksi yang mengatakan bahwa kecerdasan buatan akan mengubah pekerjaan. LinkedIn menyoroti, sejalan dengan fenomena itu, keterampilan sosial berupa kemampuan beradaptasi termasuk keterampilan sosial permintaannya melonjak.
”Setahun terakhir, pasar tenaga kerja diisi oleh narasi-narasi kemajuan teknologi kecerdasan buatan untuk bisnis. Kami menyaksikan, keterampilan sosial yang dipadukan dengan kemampuan belajar keterampilan teknik (hardskills) menjadi semakin penting,” ujar Country Lead LinkedIn Indonesia Rohit Kalsy.
Menurut Rohit, dalam riset LinkedIn dan Cencuswide yang terpisah, keduanya menemukan bahwa 97 persen dari 254 manajer perekrutan di Indonesia yang disurvei pada 15 Desember 2023–4 Januari 2024 memprioritaskan keterampilan-keterampilan sosial itu pada calon karyawan.
Bagi karyawan yang sudah lama bekerja dalam perusahaan juga diharapkan oleh manajemen memiliki keterampilan sosial dan keinginan mempelajari keterampilan teknis baru, terutama keterampilan teknis yang berhubungan dengan kecerdasan buatan.
Pada tahun 2023, firma konsultan Evercore ISI berkolaborasi dengan Visionary Future menemukan bahwa kemampuan kognitif, seperti mengurutkan informasi dan menghafal, memiliki paparan kecerdasan buatan yang lebih tinggi. Artinya, teknologi kecerdasan buatan mampu melakukan tugas mengurutkan informasi dan menghafal sebaik atau lebih baik daripada manusia.
Sementara kemampuan berbasis kreatif seperti orisinalitas, ekspresi lisan, dan kekuatan meledakkan program mempunyai paparan kecerdasan buatan yang lebih rendah atau tidak sama sekali.
Semakin banyak pekerjaan yang membutuhkan interaksi sosial dan empati, maka semakin sedikit paparan terhadap kecerdasan buatan. Semakin banyak kerja fisik dalam suatu pekerjaan, maka semakin sedikit pula paparan terhadap kecerdasan buatan.
Riset yang sama juga merilis daftar bidang pekerjaan yang paling tinggi dan rendah terpapar kecerdasan buatan. Ada lima bidang pekerjaan yang terpapar kecerdasan buatan lebih dari 40 persen, yaitu legal; komputer dan matematika; bisnis dan operasional finansial; arsitektur dan rekayasa; serta instruksi pendidikan dan perpustakaan.
Temuan riset tersebut diunggah di laman Harvard Business Review pada 25 Oktober 2023.
Sebelumnya, Evercore ISI melakukan riset dengan cara mengonsolidasikan data akademis dan ekonomi yang mencakup 160 juta pekerjaan di Amerika Serikat, lalu memeriksa bagaimana pekerja menggunakan 52 kemampuan dalam 41 aktivitas untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Tanggung jawab ini kemudian dianalisis silang ke serangkaian tugas mental kompleks yang mana kecerdasan buatan mulai bisa bekerja.
”Kami mengamati, sebagian perusahaan di Indonesia mau mempersiapkan karyawan mereka supaya mampu berkompetisi di masa depan dengan cara menyediakan program pelatihan, pengembangan karier secara daring, dan kesempatan berinovasi menggunakan kecerdasan buatan generatif,” kata Rohit.
Ekspektasi
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Maria Puspitasari, saat dihubungi, memandang, di tengah perubahan pasar kerja yang pesat, penguasaan teknologi digital masih memiliki masalah kesenjangan yang cukup lebar antara ekspektasi perusahaan dengan kondisi empiris calon karyawan/karyawan. Mayoritas perusahaan mempunyai ekspektasi tinggi tetapi belum tentu mau mengimbangi dengan remunerasi yang tinggi, sepadan dengan kualifikasi keterampilan yang diminta.
”Pekerja yang memiliki kualifikasi keterampilan sosial sekaligus keterampilan teknis biasanya sadar bahwa dirinya memiliki nilai jual tinggi. Pekerja seperti itu umumnya menuntut remunerasi yang tinggi,” ujarnya.
K eterampilan sosial yang dipadukan dengan kemampuan belajar keterampilan teknik menjadi semakin penting.
Menurut dia, di kalangan pekerja generasi Z yang dikenal kalkulatif, mereka tidak jarang meminta paket remunerasi yang tinggi sebagai imbalan wajar atas kualifikasi dirinya. Apalagi, perusahaan semakin menuntut keterampilan sosial bisa berjalan beriringan dengan kemampuan teknis.
Lebih jauh, Maria menyampaikan, secara riil, kualifikasi keterampilan sosial dan teknis yang dibebankan ke pekerja semakin naik, tetapi tidak semua tenaga kerja di pasar mempunyai kualifikasi seperti yang dituntut. Akibatnya, perusahaan mau tidak mau perlu mengalokasikan anggaran untuk pelatihan.
”Hanya saja, perusahaan yang mau mengalokasikan anggaran pelatihan dan pendidikan harus siap karyawan yang mendapatkan fasilitas itu pindah ke perusahaan lain,” kata Maria.
Sementara itu, praktisi dan kreator sumber daya manusia (human resources), Vina Muliana, berpendapat, keterampilan sosial berupa komunikasi dan berpikir kritis sudah menjadi kebutuhan di pasar kerja. Permintaan perusahaan terhadap dua keterampilan sosial itu telah lama muncul.
Namun, masih banyak kalangan di pasar kerja salah mengartikan. Salah satunya, keterampilan berkomunikasi. Dari kalangan pekerja, terutama, masih ada yang menganggap keterampilan berkomunikasi sebatas piawai berbicara.
”Padahal, keterampilan komunikasi yang dibutuhkan adalah bisa memahami, mendengarkan, sampai memersuasi,” ujarnya.
Vina memandang, perusahaan masih perlu untuk menyediakan pelatihan dan pendidikan bagi karyawan, terutama menyangkut keterampilan teknis yang dibutuhkan di era disrupsi kecerdasan buatan. Sebab, menurut dia, kalau keterampilan sosial, pegawai biasanya dapat belajar dari penugasan/proyek yang dibebankan.