Total Produksi Beras Maret-April 2024 Diperkirakan 8,46 Juta Ton
Potensi produksi beras pada Maret dan April 2024 masing-masing sebanyak 3,54 juta ton dan 4,92 juta ton.
JAKARTA, KOMPAS — Total potensi produksi beras nasional pada Maret dan April 2024 mencapai 8,46 juta ton. Produksi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Kendati begitu, Badan Pangan Nasional optimistis produksi beras tersebut akan menurunkan harga beras.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (1/3/2024), merilis, potensi produksi beras pada Maret dan April 2024 masing-masing sebanyak 3,54 juta ton dan 4,92 juta ton. Perkiraan produksi tersebut berdasarkan penghitungan kerangka sampel area pada panenan Desember 2023 dan Januari 2024.
Pada Maret 2024, potensi produksi beras terbesar berada di Jawa Tengah sebesar 23,24 persen dari total potensi produksi beras nasional, Jawa Timur 23,12 persen, Jawa Barat 10,12 pesen, Sumatera Selatan 7,08 persen, dan Sulawesi Selatan 5,03 persen.
Adapun pada April 2024, potensi produksi beras terbesar berada di Jawa Timur sebesar 21,84 persen dari total potensi produksi beras nasional, Jawa Tengah 18,14 persen, Jawa Barat 14,92 persen, Sulawesi Selatan 9,92 persen, dan Lampung 7,39 persen.
Potensi produksi beras pada Maret dan April 2024 masing-masing sebanyak 3,54 juta ton dan 4,92 juta ton.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah mengatakan, realisasi potensi produksi beras itu bakal bergantung sejumlah faktor, terutama perubahan cuaca. Fenomena El Nino yang melanda Indonesia sejak semester II-2023 berdampak pada peningkatan luas lahan bera atau tidak ditanami padi sepanjang Oktober-Desember 2023.
”Peningkatan luas lahan bera itu otomatis akan berpengaruh pada penurunan panen padi dan produksi beras nasional pada bulan-bulan awal 2024. Banjir yang melanda sejumlah daerah dan lahan pertanian yang kekurangan air juga dapat membuat potensi produksi berkurang,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Berdasarkan data BPS, lahan bera di Indonesia pada Oktober 2023 seluas 2,94 hektar. Pada November 2023 hingga Januari 2024, luas lahan bera itu telah berkurang dari 2,24 hektar menjadi 0,74 hektar.
Sementara itu, Kementerian Pertanian mencatat, per medio Februari 2024, areal persawahan yang bera seluas 2,67 juta hektar. Dari jumlah itu, seluas 2 juta hektar sama sekali belum diolah dan diairi, sedangkan sekitar 670.000 hektar dalam tahap pengairan dan pengolahan.
Baca juga: Menggendong Problem Beras
Kondisi tersebut menyebabkan potensi produksi beras pada Januari-April 2024 hanya sebesar 10,71 juta ton. Volume produksi beras tersebut turun 17,52 persen dibandingkan dengan realisasi produksi beras pada Januari-April 2023 yang mencapai 12,98 juta ton.
Hal itu berujung pada kenaikan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dan beras. BPS menyebutkan, harga retarata nasional GKP di tingkat petani pada Februari 2024 mencapai Rp 8.591 per kilogram (kg). Harga tersebut naik sebesar 4,68 persen secara bulanan dan 27,14 persen secara tahunan.
Adapun pada bulan yang sama, harga rerata nasional berbagai jenis beras di tingkat eceran sebesar Rp 15.157 per kg. Harga tersebut naik sebesar 5,28 persen secara bulanan dan 19,28 persen secara tahunan.
Kenaikan harga itu memicu kenaikan inflasi dalam dua bulan terkahir ini. Tingkat inflasi Februari 2024 sebesar 0,37 persen secara bulanan dan 2,75 persen secara tahunan. Tingkat inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Januari 2024 yang sebesar 0,04 persen secara bulanan dan 2,56 persen secara tahunan.
Tingkat inflasi bulanan beras pada Februari 2024 sebesar 5,32 persen, sedangkan andilnya terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen. Dengan begitu, beras telah menyumbang inflasi selama tujuh bulan berturut-turut sejak Agustus 2024.
BPS mencatat, tingkat inflasi bulanan beras pada Agustus, September, dan Oktober 2023 masing-masing sebesar 1,43 persen, 5,61 persen, dan 1,72 persen. Kemudian pada November dan Desember 2023, serta Januari 2024, tingkat inflasinya masing-masing 0,43 persen, 0,48 persen, dan 0,64 persen.
Baca juga: Beras Picu Inflasi Lagi, Harga Nasi Lauk Naik Cukup Tinggi
Optimistis turun
Badan Pangan Nasional (Bapanas) optimistis harga beras akan turun seiring bertambahnya luas panen padi. Hal itu akan menambal defisit neraca konsumsi-produksi beras pada Januari-Februari 2024 yang sebesar 2,8 juta ton.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memperkirakan, harga beras akan terkoreksi signifikan dalam dua hingga tiga pekan ke depan. Hal itu terindikasi dari semakin bertambahnya luas panen dan penurunan harga GKP di tingkat petani.
Merujuk data BPS, potensi panen padi pada Maret dan April 2024 masing-masing seluas 1,16 juta hektar dan 1,59 juta hektar. Potensi luas panen padi itu bertambah dari potensi panen padi pada Januari dan Februari 2024 yang masing-masing seluas 0,29 juta hektar dan 0,48 juta hektar.
Harga GKP, lanjut Arief, juga berangsur turun sejak pekan kedua Februari 2024. Hingga akhir bulan lalu, harga rerata nasional GKP turun menjadi Rp 7.100 per kg dari sebelumnya yang sempat melonjak Rp 8.600 per kg.
”Seiring meluasnya panen padi, harga GKP diperkirakan turun menjadi di kisaran Rp 6.000-Rp 6.500 per kg hingga puncak panen raya pada April 2024. Penurunan harga GKP itu juga akan diikuti dengan penurunan harga beras,” katanya.
Baca juga: Harga Gabah Petani Berangsur Turun
Untuk menambal defisit beras, terutama pada Januari-Febuari 2024, pemerintah menambah kuota impor beras sebanyak 1,6 juta ton. Dengan demikian, total kuota impor beras pada tahun ini sebanyak 23,6 juta ton.
Menurut Arif, beras impor itulah yang digunakan pemerintah untuk operasi pasar dan gerakan pangan murah dalam rangka Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Selain itu, beras impor itu juga digunakan untuk program Bantuan Pangan Beras bagi 22 juta keluarga miskin.
”Jadi, selama ini, pemerintah melalui Perum Bulog belum menyerap gabah dari dalam negeri lantaran harganya jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP), yakni Rp 5.000 per kg. Namun, pada panen raya nanti, impor beras akan dihentikan dan Bulog akan mulai menyerap GKP petani,” katanya.
Baca juga: Kuota Impor Beras Tahun Ini Ditambah 1,6 Juta Ton
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Bapanas, per 1 Maret 2024, harga rerata nasional GKP di tingkat petani Rp 7.060 per kg. Harga GKP tersebut telah turun dari harga tertingginya dalam sepekan terakhir yang sebesar Rp 7.150 per kg.
Adapun harga beras medium masih berfluktuasi di level tinggi, sekitar Rp 14.210-Rp 14.330 per kg, dalam sepekan terakhir. Harga rerata nasional beras medium per 1 Maret 2024 sebesar Rp 14.320 per kg, turun tipis dari sehari sebelumnya yang mencapai Rp 14.330 per kg.
Beras impor itulah yang digunakan pemerintah untuk operasi pasar dan gerakan pangan murah dalam rangka Program SPHP. Selain itu, beras impor itu juga digunakan untuk program Bantuan Beras bagi 22 juta keluarga miskin.
Angka tetap
Selain perkiraan potensi produksi beras Januari-April 2024, BPS juga merilis angka tetap luas panen, serta produksi padi dan beras nasional sepanjang 2023. Angka tetap atau relaisasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan realisasi luas panen, serta produksi padi dan beras pada 2022.
Habibullah mengemukakan, panen padi pada 2023 seluas 10,21 juta hektar atau turun 2,29 persen dibandingkan dengan tahun 2022 yang seluas 10,45 juta hektar. Luas panenan itu berkurang akibat dampak El Nino.
”Penyusutan panen terluas berada di sejumlah daerah di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku dan Papua. Namun, penyusutan itu sedikit diimbangi dengan peningkatan luas panen di sejumlah daerah di Sumatera, serta Jawa dan Bali,” katanya.
Penurunan luas panen itu, lanjut Habibullah, menyebabkan produksi gabah kering giling turun 1,7 persen dari 54,75 juta ton pada 2022 menjadi 53,98 pada 2023. Produksi beras juga susut 1,36 persen dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,1 juta ton pada 2023.
Sementara itu, produktivitas padi meningkat tipis dalam setahun terakhir. Produktivitas padi (dalam bentuk gabah kering giling) pada 2022 sebesar 5,24 ton per hektar, sedangkan pada 2023 sebesar 5,28 ton per hektar.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung Bustanul Arifin mengingatkan, saat ini produktivitas padi nasional berada dalam fase leveling off atau pertumbuhan mendatar di sekitar 5 persen. Hal itu terjadi sejak Indonesia mengalami lompatan produksi padi dari 2,64 ton per hektar pada 1976 menjadi 5,14 ton per hektar pada 2014 (Kompas, 29/2/2024).
Baca juga: Beras Bakal Picu Inflasi Lagi, Produktivitas Padi Alami ”Leveling Off”