Serikat Pekerja Teriak, Tuntut Penurunan Harga Bahan Pokok
Sebagian besar pengeluaran pekerja biasanya dialokasikan untuk kebutuhan pokok berupa pangan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok serikat pekerja mulai berteriak terkait kenaikan harga bahan pokok yang dianggap berpotensi semakin menurunkan daya beli pekerja. Apalagi kondisi pekerja saat ini sedang sulit karena harus juga berhadapan dengan isu maraknya pemutusan hubungan kerja dan kenaikan upah yang relatif kecil.
Kelompok serikat pekerja yang meneriakkan kenaikan harga bahan pokok itu, di antaranya, adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang tergabung dalam Partai Buruh. Pada Kamis (29/2/2024), sejak pukul 11.00, di bawah guyuran hujan deras, pengunjuk rasa berkumpul di sekitar patung Arjuna Wiwaha atau patung kuda, Jalan Medan Merdeka, Jakarta. Aksi dimulai 1,5 jam kemudian dengan menyerukan harga beras yang mahal sehingga membuat masyarakat kecil, seperti buruh, harus antre untuk membeli.
Selain keluhan naiknya harga beras, unjuk rasa itu menyuarakan pemilu bersih dan menyentil kembali agar pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, selain beras, harga bahan pokok lainnya juga naik selama Februari 2024, di antaranya telur. Sementara kenaikan upah pada tahun 2024, dinilai tidak signifikan, terutama upah minimum provinsi.
”Kalau kenaikan upah, terutama upah minimum provinsi, saja tidak signifikan, bagaimana bisa mencukupi kebutuhan bahan pokok sehari-hari yang harganya melambung,” katanya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat menyampaikan hal senada. Harga beras sudah naik di kisaran Rp 18.000 per kilogram, lalu telur naik dari biasanya sekitar Rp 25.000 per kilogram kini sekitar Rp 32.000 per kilogram. Harga cabai juga dia sebut sempat menembus Rp 100.000 per kilogram.
”Kami juga mendengar rumor kalau tarif listrik bakal naik. Jika rumor ini benar, kami prihatin. Kondisi ekonomi pekerja akan semakin sulit karena pada saat bersamaan, mereka harus berhadapan dengan isu maraknya pemutusan hubungan kerja dan realitas kenaikan upah minimum provinsi tahun 2024 yang relatif tidak signifikan,” ujarnya.
Mirah mengungkapkan, saat ini terdapat sekitar 300 orang anggotanya yang bekerja pada empat perusahaan di bidang ritel, logistik, dan keamanan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasan PHK itu adalah perusahaan tempat mereka bekerja sedang mengalami kerugian.
Dampak yang mereka rasakan atas mahalnya harga beras sudah terlihat dalam dua bulan terakhir.
Akan tetapi, pengurus Aspek menemukan bahwa perusahaan bersangkutan, pada saat bersamaan, membuka lowongan kerja baru. Aspek mengkhawatirkan, PHK tersebut menyasar ke seluruh pekerja berstatus karyawan tetap, lalu perusahaan merekrut kembali dengan status karyawan kontrak.
”Dengan kenaikan harga bahan pokok, kami mencemaskan pekerja yang masih bekerja akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi para pekerja korban PHK yang tentunya akan sangat terdampak,” ucap Mirah.
Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin mengatakan, pekerja yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah akan langsung terdampak kenaikan harga bahan pokok, terutama beras. Hal ini karena konsumsi pangan merupakan porsi pengeluaran yang signifikan bagi mereka. ”Bisa 30–40 persen dari pendapatan untuk kebutuhan pokok. Sedikit shock saja sudah akan berdampak pada pengelolaan pendapatan mereka,” ujarnya.
Apabila harga beras tidak kembali lagi dalam dua bulan mendatang, ini akan memberatkan kelompok pekerja, terutama untuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah karena harga bahan pangan lain akan ikut terkerek. "Kebanyakan upah saat ini naik di bawah Rp 100.000,” kata Irham.
Menurut Irham, kenaikan harga bahan pokok yang tengah terjadi berdampak lebih buruk ke pekerja informal karena mereka umumnya terkecualikan dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan upah minimum.
”Jumlah mereka besar, yaitu sekitar 60 persen lebih dari total pekerja anggota Sarbumusi. Dampak yang mereka rasakan atas mahalnya harga beras sudah terlihat dalam dua bulan terakhir,” kata Irham.
Irham menambahkan, pendekatan jangka pendek pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga beras yang berupa impor beras masih bisa diterima, tetapi pendekatan ini selalu terulang. Pemerintah semestinya membangun pertanian dan peternakan yang kuat berbasis ekonomi kerakyatan. Komoditas-komoditas lokal, seperti ketela, umbi-umbian, dan jagung, yang diwariskan dalam tradisi pangan turun-temurun harus dikembalikan lagi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, secara terpisah, mengatakan, pada bulan Februari tahun - tahun sebelumnya, harga beras sudah bisa diredam kenaikannya setelah naik pada bulan Desember dan Januari. Akan tetapi, pada tahun 2024 terjadi perubahan iklim sehingga panen raya mundur satu bulan. Puncak panen raya tidak terjadi pada Maret 2024, tetapi mundur ke April 2024.
”Kemudian, pemilu kali ini mendorong penyerapan beras besar-besaran oleh korporasi. Terlihat seminggu -dua minggu sebelum pemilu. Akibatnya, harga beras tiba-tiba meroket,” ucapnya.
Lebih jauh, Faisal membenarkan bahwa di luar beras, harga bahan pokok lainnya juga naik. Misalnya, harga cabai keriting saat ini naik 25 persen.
Inflasi pangan bagi kelompok pekerja kelas menengah bawah akan mempunyai dampak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja kelas menengah ke atas karena proporsi belanja pangan kelas bawah lebih besar.
”Dalam sejarah, kerusuhan stabilitas sosial politik dimulai dari masalah kelaparan. Jatuhnya rezim Soekarno dan Soeharto, misalnya. Kami percaya, jika sudah masuk puncak panen raya, stok beras akan banyak sehingga harga akan turun,” imbuhnya.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan, sebagian besar pengeluaran pekerja dialokasikan untuk kebutuhan pokok berupa makanan. Jika harga bahan pangan naik, mereka akan menaikkan alokasi pengeluaran untuk pos itu. Mereka akan merasa tertekan karena bagaimanapun mereka masih harus mengalokasikan untuk kebutuhan lainnya, termasuk ongkos transportasi dan sekolah anak.
”Solusinya sekarang mungkin hanya operasi pasar, tetapi solusi ini benar-benar harus dipantau. Jangan sampai diguyur beras, tetapi pembelinya malah distributor kelas kakap,” ucap Esther.
Peneliti ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Adinova Fauri berpendapat, tuntutan kelompok serikat pekerja untuk menurunkan harga beras sah-sah saja, tetapi untuk konkretnya perlu ada perencanaan dan pengecekan akan ketersediaan beras. Sebab, data stok beras sering kali terjadi perbedaan.