Kisah ”Padi Lesus” di Tengah Limbung Beras
Meski lebih mahal dari produk konvensional, beras yang dihasilkan dari pertanian alami memberikan keuntungan.
Belum makan kalau belum ketemu nasi. Hal itu masih menjadi prinsip sebagian besar masyarakat. Buktinya, kelangkaan gabah karena keterbatasan produksi hingga membuat naiknya harga beras yang menguntungkan petani belakangan ini membuat geger masyarakat.
Namun, situasi ini tidak banyak berpengaruh, baik pada penikmat maupun petani beras organik yang berasal dari padi yang diklaim tahan lesus atau puting beliung dan bebas zat kimia.
Hal ini diakui Bibong Widyarti, perempuan yang pernah memperkenalkan beras organik Indonesia ke Konferensi Perubahan Iklim COP28, di Dubai, awal Desember 2023.
”Beras organik tetap laku, petani juga masih bisa menyimpan stok gabah untuk konsumsi pribadi,” ujar pegiat produk organik dari Yayasan Alifa dan Rumah Organik, beberapa waktu lalu.
Produk beras yang dijual pelaku usaha organik memang lebih mahal daripada beras konvensional. Saat ini, harga beras organik ada di kisaran Rp 35.000 per kilogram, dua kali lipat lebih dibandingkan dengan harga beras konvensional yang kini harganya sedang naik. Per Rabu (28/2/2024), data Badan Pangan Nasional menunjukkan rata-rata harga beras premium Rp 16.410 per kilogram dan beras medium Rp 14.300 per kilogram.
Harga tersebut bukan hanya layak untuk menutup biaya produksi petani, melainkan juga untuk menjamin kualitas beras yang dinikmati konsumen. Kualitas produk yang dijual pun dipatenkan dengan sertifikasi Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO) yang diakui oleh negara atau Penjaminan Organik Berbasis Komunitas (Participatory Guarantee System/PGS).
”Ada sistem kebersamaan dari kami, petani produsen dengan konsumen, karena yang dijual value dan kualitas,” ujarnya.
Beras organik bukan barang baru di Indonesia. Beras yang ditanam dengan pertanian yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan ini sudah lama didengungkan kalangan naturalis untuk melawan penggunaan bahan-bahan kimiawi.
Puluhan tahun lalu, ide tentang itu telah diterbitkan Kompas. Tulisan dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin, Darmawan Salman, yang tayang di Kompas pada edisi Senin (16/10/1989), menyebut, pertanian organik tidak menempatkan tanah sebagai media yang harus dieksploitasi demi pencapaian target produksi maksimal. Lahan pertanian adalah mitra pemanfaatan yang harus diperhatikan kualitasnya.
Sejauh ini, luas lahan sawah organik memang tidak sebesar sawah konvensional yang mencapai sekitar 8 juta hektar. Survei Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) 2023, yang dirilis awal awal 2024, mencatat, luas lahan sawah organik sampai 2022 hanya 4.766,107 hektar. Luasan itu bertambah dari hanya 3.350 hektar pada 2019.
Sawah organik itu, pada 2022, dikelola oleh 12.725 petani dan mampu memproduksi 40.376 ton beras organik. Jumlah petani dan produksi pada tahun itu juga bertambah dibandingkan tahun 2019 dengan 7.398 petani dan produksi sebesar 32.550 ton beras.
Baca juga: Jalan Terjal Pertanian dan ”Kerja Rodi” Lahan Pangan
Manfaatkan alam
Mahalnya harga beras organik tidak lepas dari ketelatenan petaninya dalam menjaga kualitas produksi beras organik. Kualitas itu dijamin dengan pemanfaatan bahan-bahan alami yang sebenarnya tidak selalu mahal. Hal ini, menurut Bibong, ikut menjaga ketahanan ekonomi-sosial petani.
”Di dalam pertanian organik kita memanfaatkan apa yang ada. Jadi, kita sebagai petani organik tidak perlu mendatangkan input pertanian yang mahal dari luar,” kata warga Jakarta yang memiliki sawah organik di Jawa Tengah tersebut.
Ika Nurilah, petani organik anggota Aliansi Petani Indonesia, mengatakan, ia dan suaminya sempat kerepotan saat mengonversi sawah konvensional menjadi sawah organik pada 2015. Suami Ika mengelola lahan sawah warisan keluarga seluas 630 meter persegi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Dari yang sebelumnya tinggal membeli di kios pertanian desa, mereka harus belajar membuat sendiri pupuk, nutrisi, pestisida, dan bahan-bahan lain untuk tanamannya. Namun, kini mereka sudah terbiasa dan merasakan kelebihan manfaatnya sebagaimana dirasakan petani organik lainnya.
”Kami terbiasa membuat sendiri input-input pertanian itu atau membeli dari petani lain, misalnya pengadaan benih padi yang diinginkan atau disukai. Untuk pengadaan pupuk atau pestisida, misalnya, kami membeli kotoran sapi, kambing, dan jangkrik dari peternak di desa atau dari desa tetangga. Jadi, ketika ada kelangkaan atau kenaikan harga pupuk untuk padi konvensional, kami tidak terpengaruh,” tuturnya.
Baca juga: El Nino dan Kisah Sepiring Nasi Petani
Ketahanan
Petani organik sering kali melakukan riset untuk membuat varietas tanaman lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat, misalnya tanaman yang lebih tahan air dengan salinitas tinggi di daerah pesisir.
Hal penting yang juga dipikirkan petani organik adalah dampak pertanian terhadap pemanasan global. Misalnya, petani memahami cara pengairan pada tanaman padi secara intermiten irrigation, yaitu kondisi sawah kering dan basah dilakukan bergantian. Hal ini akan berkontribusi terhadap pengurangan pelepasan gas-gas rumah kaca, terutama metana (CH4) dan nitrit (N2O) yang dapat menyebabkan pemanasan global.
Setidaknya ada menu yang lebih sehat di meja makan.
Pertanian organik yang juga bisa disebut pertanian alami tidak membuat tanaman padi lebih tahan kerusakan, termasuk dari dampak perubahan iklim seperti El Nino yang sejak tahun lalu menimbulkan gangguan produksi beras di seluruh dunia.
Ika menyebutkan, situasi ini dapat terjadi dalam kasus kekeringan pada sawah-sawah yang mempunyai pengairan dari irigasi nonteknis.
Namun, sistem pertanian ini menghasilkan produksi beras yang unggul. Beberapa keuntungan yang didapat dari bertani secara organik antara lain pada saat terjadi angin lesus, lebih banyak padi yang selamat dibandingkan dengan padi konvensional.
”Ini disebabkan oleh batang padi organik yang lentur sehingga tidak mudah patah, pada batas tertentu,” ujarnya.
Bentuk keuntungan lainnya, bulir padi organik lebih terisi atau padat karena zat-zat makanan terus mengisi bulir padi. Ini membuat hasil panen padi organik lebih berat bobotnya dibandingkan dengan bulir gabah konvensional.
Warna gabah organik lebih cerah atau kinclong dibandingkan warna bulir gabah konvensional yang cenderung kusam. Hasil akhirnya, nasi organik lebih tahan lama di dalam penanak nasi dibandingkan dengan nasi konvensional yang lebih cepat basi.
”Beras organik seperti biasa mengikuti harga pasar yang berlaku walau bukan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun, dari kasus banyak petani yang menjual produksinya, harga beras organiknya sering dinaikkan oleh konsumennya sendiri,” tuturnya.
Gaya hidup dan kesehatan
Survei pada 2022, yang dilaporkan SPOI 2023, menunjukkan, beras organik menjadi salah satu komoditas organik yang paling banyak dicari konsumen, bahkan masuk tiga teratas bersama sayuran dan buah organik. Hal ini tidak lepas dari bukti klinis bahwa beras organik lebih baik untuk kesehatan tubuh.
Warga Jakarta, Anggria (46), mengatakan, tiga tahun lalu ia memperkenalkan nasi dari beras organik di meja makan keluarga di rumah. Inisiatif itu ia lakukan semenjak pandemi Covid-19, yang membuatnya belajar untuk lebih banyak mengonsumsi makanan sehat untuk menjaga kekebalan tubuh.
”Saya beli beras organik semenjak pandemi untuk jaga kesehatan, terlebih karena saya tinggal bersama dua orangtua yang sudah lansia. Saya memang enggak rutin beli beras organik. Setidaknya ada menu yang lebih sehat di meja makan,” ujarnya.
Kelebihan lain yang ia rasakan dari beras organik adalah tidak cepat mengering dan lengket ketika dimasak di alat penghangat nasi. ”Makanya, Ramadhan ini saya stok beras organik lagi karena bisa bikin nasi lebih awet dari waktu sahur sampai buka puasa,” ucapnya.
Karina Lin (40) juga pernah mengeksplorasi nasi organik sekitar tahun 2020 karena penasaran dengan keunggulan beras organik yang tidak ada di beras biasa. Saat itu, ia mengaku sedang suka mencoba-coba beras. Nasi organik pun menjadi produk yang sesekali ia beli.
”Terpengaruh oleh gaya hidup dan kondisi kesehatan karena aku autoimun,” kata karyawan swasta di Jakarta itu.
Baca juga: Makanan dan Minuman Organik Cepat Saji Mulai Diminati
Ahli gizi, Leona Victoria, menjelaskan, produk beras organik lebih baik untuk tubuh karena biasanya tidak terpapar dengan insektisida dan pestisida kimiawi. Bahan kimiawi yang masuk dalam tubuh akan dianggap racun sehingga tubuh akan berusaha mengeluarkannya. Namun, jika dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu panjang juga bisa tersimpan dalam tubuh dan menjadi sumber penyakit.
”Oleh karena itu, beras organik lebih sehat untuk dikonsumsi. Ini juga baik untuk orang-orang yang menderita immuno-compressed dan memiliki kondisi autoimmune,” tuturnya.
Kepercayaan bahwa beras organik bebas residu kimiawi sehingga aman dan sehat untuk dikonsumsi juga diakui banyak konsumen yang disurvei dalam SPOI terakhir. Secara kuantitatif, sebanyak 31,57 persen responden memilih produk organik karena aspek kesehatan dan sosial, sebanyak 23,43 persen lainnya karena aspek kesehatan dan asal-usul produk.
Menariknya lagi, 51,71 persen responden peduli akan aspek kesehatan dan lingkungan dari pertanian alami yang menghasilkan produk organik, termasuk beras.