Ruang keluarga yang bersambung dengan ruang makan dan dapur membuat keluarga dapat saling berbicara satu sama lain.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan rumah di daerah tropis seperti Indonesia, tidak hanya mempertimbangkan iklim, tetapi juga kebiasaan yang ada. Kebiasaan yang sudah terbentuk di masyarakat dapat diimplementasikan dalam pembangunan rumah.
Salah satu kebiasaan yang ada di masyarakat Indonesia adalah berkegiatan di luar ruangan. Selain itu, rumah juga memenuhi kebutuhan agar anggota keluarga dapat berinteraksi dengan leluasa.
”Sejatinya, kita adalah manusia outdoor, aktivitas banyak dilakukan di luar rumah, dengan interaksi sosial tinggi. Lihat saja, jiwa gotong royong kita juga tinggi,” kata arsitek Yori Antar dalam peluncuran kluster AgraSuvarna Sutera di Tangerang, Banten, Selasa (27/2/2024).
Kebiasaan dan kebutuhan ini dapat diakomodasi dengan rumah modern berupa ruang-ruang terbuka. Ruang tanpa sekat ini membuat keluarga dapat berinteraksi dengan akrab. Ruang keluarga yang bersambung dengan ruang makan dan dapur membuat keluarga dapat saling berbicara satu sama lain.
Jendela dengan bukaan lebar agar cahaya dapat masuk dan langit-langit yang tinggi juga membuat rumah yang terkena paparan matahari di daerah tropis menjadi lebih dingin. ”Mengapa ada teras di rumah tropis? Fungsinya juga untuk mendinginkan udara panas,” kata Yori.
Dia mencermati, perumahan yang dibangun Belanda seperti di Menteng, Jakarta Pusat, tidak mengikuti tata ruang di negara empat musim, tetapi sudah disesuaikan dengan iklim. Rumah tersebut dibangun dengan ruang besar dan taman serta teras yang mengelilingi rumah, tidak hanya untuk keindahan, tetapi juga berfungsi meredam panas dan ventilasi silang dengan langit-langit tinggi dan berbagai bukaan.
Kebiasaan dan penyesuaian tersebut dapat diaplikasikan pada perumahan modern juga disukai anak-anak muda yang mulai mencari rumah tinggal. Yori Antar merancang kluster Agra dari Suvarna Sutera. Kluster ini berkonsep tropis sesuai dengan iklim Indonesia. Pangsa pasarnya adalah generasi milenial.
”Layout juga multifungsi yang bisa mengakomodasi berbagai kebutuhan penghuninya,” ujar Henny Meyliana, Marketing & Sales Director Suvarna Sutera.
Agra merupakan kluster pertama dari superkluster Cemara dengan luas lahan 1,9 hektar dan nilai pengembangan sebesar Rp 765 miliar. Luasan rumah di kluster ini dimulai dari 105 meter persegi hingga tipe sudut dengan luasan sekitar 165 meter persegi.
Menurut survei yang dipaparkan Henny, kelompok usia milenial paling banyak menginginkan rumah tapak dengan luasan mulai 60-100 meter persegi (38,6 persen) dan 100-150 meter persegi (27 persen). Sementara dari kisaran harga, milenial tertarik pada rumah dengan rentang harga Rp 400 juta-Rp 1 miliar per unit (32,2 persen) dan Rp 1 miliar-Rp 3 miliar per unit (35,7 persen). Kluster Agra ditawarkan mulai Rp 1,3 miliar untuk harga perdananya.
Ketua Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (Arembi) Banten Vemby dalam kesempatan yang sama menyebutkan, pertumbuhan rumah tinggal di kawasan barat Jakarta berkembang sangat pesat. Peningkatan terjadi terutama setelah akses meningkat, seperti ruas-ruas tol baru. Dia mengatakan, penjualan properti swasta di Banten mencapai Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun dalam satu tahun terakhir.
Hasil riset dari Cusman & Wakefield Indonesia menunjukkan bahwa pasokan rumah tapak di kawasan Jabodetabek diperkirakan meningkat secara stabil sekitar 2,6 persen secara tahunan pada tahun ini. Permintaan kumulatif diproyeksikan meningkat sekitar 2,8 persen secara tahunan di 2024.
Tidak hanya pasokan dan permintaan, harga jual rumah di kawasan Jabodetabek juga akan meningkat. Faktornya, antara lain, inflasi yang memengaruhi biaya bahan bangunan, perkembangan infrastruktur di Jabodetabek seperti MRT, LRT dan jalan tol membuat harga tanah dan harga jual rumah naik.