Memiliki rumah adalah dambaan setiap orang, terutama generasi muda yang sudah bekerja. Namun, urusan ini tak mudah.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, MEDIANA, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
Generasi milenial (lahir 1981-1996) dan sebagian generasi Y (lahir 1997–2012) tengah berburu rumah. Preferensinya beragam, mulai dari keuangan, tempat kerja, hingga selera. Bagi mereka yang pendapatannya tergolong rata-rata, membeli rumah menjadi tantangan.
Di pasar properti, ada banyak pilihan. Yang terjangkau harganya biasanya punya banyak catatan. Sementara yang ideal acapkali harganya tak terjangkau.
Kompromi diperlukan. Skema-skema khusus yang sifatnya meringankan beban pembiayaan juga amat dibutuhkan.
Terkait hal ini, apa saja pendapat generasi milenial dan Y? Simak aspirasinya.
Dengan umur saya yang sudah menuju kepala tiga, tentu menjadi suatu keinginan untuk memiliki rumah tapak. Sebenarnya sekarang sudah banyak akses untuk memiliki rumah tapak.
Selain itu, setahu saya, beberapa bank dan developer menerapkan DP (uang muka) 0 persen. Sebagai milenial, tentunya kita harus memanfaatkan kemudahan ini, tetapi dengan menerapkan strategi finansial yang baik.
Apabila rumah tapak dirasa terlalu mahal, apartemen juga bisa menjadi pilihan, terutama bagi yang belum berkeluarga.
Berdasarkan pengalaman, untuk mendapat rumah baik rumah komersial maupun subsidi saat ini sudah lebih baik dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Sebab, pengembang dan perbankan sudah memberikan kemudahan syarat-syarat. Tinggal calon pemilik menyesuaikan dengan kemampuan keuangan mereka.
Namun, fenomena yang sering terjadi adalah model ataupun lokasi rumah subsidi tidak sesuai keinginan anak muda dan rumah komersial terlalu mahal. Inilah yang kerap kali menjadi masalah.
Harga cicilan kredit rumah komersial pun sering ada yang tidak sesuai kemampuan finansial anak muda, apalagi anak muda yang baru tahun-tahun awal masuk ke dunia kerja.
Yuni Purwariadi (39), Pekerja media di salah satu kantor media massa di Jakarta
Rumah penting buatku karena aku suka privasi. Jadi rumah itu tempat ”berpulang”, zona nyamanku. Ukurannya lebih luas, ada taman, tapak tanah, enggak seperti apartemen.
Pertimbangan terbesar memilih rumah pada aspek fasilitas umum. Namun, harga sesuai kriteria itu biayanya enggak murah, apalagi rumah dekat dengan fasilitas umum. Jadi ya cukup sulit.
Aku sudah bekerja dan masih tinggal dengan orangtua sehingga income-ku masih utuh. Pendapatanku dialokasikan untuk rumah, jadi aset. Tabungan tetap ada, cuma hampir 80-90 persen alokasinya untuk rumah.
Aku ambil KPR dengan mencicil DP sekitar 20 persen. Puji Tuhan dapat KPR yang cocok, bunga enggak terlalu tinggi, flat selama delapan tahun dari tenor cicilan 15 tahun. Jadi cocok buatku.
Zefanya Shandisa Susanto (27), Wirausaha asal Semarang, Jawa Tengah
Aku menargetkan punya rumah sebelum usia 30 tahun. Aku prefer rumah karena ingin punya space yang luas. Selain itu, lingkungan rumah bisa mendukung bersosialisasi dengan orang lain. Rumah juga enggak harus baru, bisa second tetapi harus tahu sejarahnya. Takutnya rumahnya bermasalah.
Sejauh ini susah ya cari rumah. Aku sudah survei ke lima tempat di daerah Tangerang, tetapi masih belum cocok. Terakhir ada yang cocok, tetapi ternyata surat-menyuratnya bermasalah sehingga mengurungkan niat. Selama ini dapat referensi rumah dari banyak sumber, mulai dari lihat pameran, cek aplikasi rumah, dan media sosial.
Aku juga jadi belajar jangan tergiur promo DP 0 persen. Lebih baik menabung dulu membesarkan DP biar cicilannya enggak mencekik banget, generasi sandwich juga, kan. Cari rumah itu harus yang cocok, enggak bisa terburu-buru. Jangan sampai bermasalah di akhir, padahal kita mencicil bisa sampai 20 tahun.
Laurentius Dimas Gani (27), Karyawan swasta perusahaan FMCG di Tangerang, Banten