Indonesia Hadapi Sederet Masalah Kembangkan Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan Indonesia memiliki potensi menjanjikan dengan ceruk pasar yang besar. Namun, sederet masalah membayang.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui perlunya pendampingan dan keterlibatan pada para pelaku ekonomi kreatif, termasuk seni pertunjukan. Tujuan akhirnya agar Indonesia tak hanya dilihat sebagai pasar, tetapi juga mampu menciptakan dan mengoptimalkan potensi seni pertunjukan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengakui, proses dan skema perizinan di Indonesia masih perlu diperbaiki. Tak hanya itu, pendampingan bagi para promotor musik juga perlu dilakukan.
”Teman-teman event organizer/EO(promotor) harus difasilitasi, terutama sejalan dengan disetujuinya Indonesia Tourism Fund (ITF) yang kami harapkan bisa jadi sebuah langkah pendampingan bagi para EO,” ujarnya dalam konferensi pers mingguan di Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Berkaca dari penyelenggaraan konser musik internasional bintang dunia, Taylor Swift di Singapura, Indonesia mempunyai potensi yang sama dengan negara itu. Pemerintah Singapura mampu mengalokasikan sekitar Rp 250 miliar untuk memberi dana tunjangan dalam konser Taylor Swift yang berlangsung 2-4 Maret 2024 dan 7-9 Maret 2024.
”Indonesia ini jangan hanya jadi pasar, tapi kita juga harus mampu jadi host dari konser-konser besar dan event-event berkelas internasional,” kata Sandiaga.
Menurut Co Founder PK Entertainment Harry Sudarma, promotor-promotor Indonesia menghadapi setidaknya dua tantangan besar ketika berencana mendatangkan bintang papan atas dunia. Pertama, promotor memperhitungkan dana yang harus dikeluarkan dan pada akhirnya dana itu bisa menghasilkan kembali, seperti prinsip dasar bisnis. Saat menggelar acara besar, risiko yang besar itu menjadi hambatan yang harus ditanggung.
”Ada artis-artis tertentu yang hitungannya tak masuk (anggaran). Jadi, kami berat juga kalau harus bawa (artis), kemudian harus rugi, misalnya,” ujar Harry.
Isu kedua, birokrasi dan infrastruktur di Indonesia belum mendukung. Posisi Indonesia bahkan jauh jika dibandingkan dengan negara berkembang lain yang satu level dengan Indonesia. Negara-negara lain memiliki birokrasi dan infrastruktur yang bisa diakses lebih mulus, baik dalam hal perizinan maupun lokasi.
Kreativitas seniman
Tak hanya pemerintah, persoalan menggeliatkan ekosistem ekonomi kreatif juga dialami para seniman pertunjukan lainnya. Masalah ini tak melulu pada kurang optimalnya dukungan pemerintah, tetapi juga seniman terkait.
Pendiri, sutradara, dan direktur artistik Papermoon Puppet Theatre, Maria Tri Sulistyani, mengatakan, ekosistem seni pertunjukan sebenarnya sudah cukup membaik pada tahun ini ketimbang beberapa tahun lalu. Besaran dana hibah (grant)terbesar justru dari pemerintah sehingga banyak seniman pertunjukan yang menikmatinya.
Berbeda dengan negara lain, seni pertunjukan Indonesia dapat digelar di mana pun, antara lain pasar dan jalan raya. Seniman memiliki keleluasaan dan ”keliaran” untuk mengolahnya, tetapi mereka cenderung memikirkan apresiasi di akhir, bukan perkembangan audiensnya.
”Selama ini, pemerintah sudah memberikan pancingan, stimulan. Ini ada dana yang bisa dipakai untuk bikin karya. Luputnya, (hal itu) baru dari satu arah, seniman (sekadar) bikin karya saja,” ujar Ria.
Persoalan mendasar yang dialami ekosistem seni pertunjukan adalah karya diciptakan tanpa memikirkan audiensnya. Pemerintah dapat mendorong dengan kebijakan yang mendesak seniman menciptakan seni sesuai dengan perkembangan audiensnya.
Ria menilai, audiens Indonesia siap merogoh kocek dalam demi menonton seni pertunjukan. Contohnya, mereka rela menonton konser musik di berbagai tempat. Semestinya, hal serupa bisa terjadi pada seni pertunjukan dengan harga tiket berkisar Rp 30.000 hingga Rp 50.000, seharga secangkir kopi yang dikonsumsi saban hari.
Persoalan mendasar yang dialami ekosistem seni pertunjukan adalah karya diciptakan tanpa memikirkan audiensnya.
”Tergantung kita (seniman) mau kejar audiens yang mana. Pertumbuhan ekonomi dan konsumsi yang makin baik, kita bisa masuk ke ranah itu. Tingkat konsumsi orang-orang Indonesia, dalam konteks kota besar, itu bisa diproyeksikan,” kata Ria.
Terkait seni pertunjukan teater, Sandiaga menilai bahwa seni teater memiliki potensi yang besar. Namun, ekosistemnya belum terbentuk seperti dinamika di kota-kota besar, antara lain New York (Amerika Serikat) dan London (Inggris).
”Saya melihat ini peluangnya besar dan bisa dijalankan,” ujarnya.
Indonesia telah menjalankan Skema Broadway Indonesia dengan membawa talenta-talenta teater dalam negeri ke New York. Lantas, mereka akan mengisi subsektor seni pertunjukan dalam berbagai bentuk, antara lain musikal.
Praktisi budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif, Harry Waluyo, berpendapat, ekosistem ekonomi kreatif belum terbentuk di Indonesia. Para pelaku dalam ekosistem masih belum memahami pasar.
”Para seniman, (content) creator kurang dapat suatu peluang dalam pengertian perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), (dan) dukungan kemudahan mendapat pembiayaan. Kendala-kendala ini sudah lama kami rasakan,” ujarnya.
Meski ada regulasi yang membuka peluang mendapat bantuan, pasar tak serta-merta menerima dengan mudah. Dalam hal pembiayaan, misalnya, HAKI membantu seniman mendapat dukungan pembiayaan. Namun, perbankan memiliki standar tersendiri yang terukur secara ekonomi untuk memberi pinjaman, seperti adanya jaminan dan laporan keuangan yang sehat dalam dua bulan berturut-turut.