Ikan-ikan Predator dan Invasif, Bergengsi tetapi Terlarang
Ikan predator dan invasif, meski memiliki nilai prestis, dapat berdampak merusak ekosistem.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran dan pemeliharaan sejumlah ikan predator dan invasif terus didorong untuk dihentikan. Ikan-ikan itu kerap dijual dengan harga tinggi, serta diincar karena memiliki daya tarik. Namun, ekosistem perairan menjadi taruhannya.
Ikan-ikan yang bersifat buas atau predator, memangsa ikan spesies lain dan bahkan bisa melukai dan membahayakan jiwa manusia, kerap digemari karena bentuknya yang unik dan menarik. Di kalangan penghobi, beberapa jenis ikan predator cukup digemari dan bisa memiliki nilai jual hingga jutaan rupiah.
Namun, ikan predator invasif yang dapat berkembang biak masif dan memangsa ikan-ikan lain berpotensi menghabisi habitat ikan asli perairan, serta merusak ekosistem. Ikan-ikan buas tersebut kerap ditemukan dipelihara di rumah makan, tempat hiburan, dan tempat pemancingan ikan untuk menjadi daya tarik pengunjung.
Selain itu, ikan menjadi obyek wisata, ataupun dijualbelikan di pasar ikan dan toko ikan hias. Kekhawatiran mencuat jika ikan-ikan agresif dan invasif itu lolos dan masuk ke perairan umum.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono, mengemukakan, pemusnahan jenis ikan predator dan invasif merupakan salah satu bagian dari pengawasan terhadap sumber daya perikanan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
”Ikan predator dan invasif yang diperdagangkan terang-terangan di pasar bebas akan kami musnahkan. Kadang, kesulitannya adalah ikan buas itu disimpan sebagai hobi,” katanya, saat dihubungi, Sabtu (24/2/2024).
Pekan ini, KKP bersama Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memusnahkan 18 ekor ikan predator dan invasif. Sebanyak 18 ekor ikan yang dimusnahkan itu meliputi 2 ekor ikan piranha (Pygocentrus spp) dengan panjang 5 cm, 15 ekor ikan alligator gar (Atractosteus spp) dengan panjang 50-150 cm, dan 1 ekor ikan arapaima (Arapaima gigas) dengan panjang 220 cm.
Ikan-ikan yang masuk kategori berbahaya itu dipelihara, antara lain, di salah satu restoran dan tempat penyewaan kolam renang di DIY.
Terdapat 75 jenis ikan yang dikategorikan membahayakan dan/atau merugikan, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2020 tentang larangan pemasukan, pembudidayaan, peredaran, dan pengeluaran jenis ikan yang membahayakan dan/merugikan ke dalam dan dari wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Ikan-ikan predator dan invasif itu berasal dari luar negeri.
Tahun 2022, misalnya, viral di media sosial terkait ikan red devil (Amphilophus labiatus) yang menginvasi perairan Danau Toba. Ikan ”iblis” yang hidup endemik di Danau Managua dan Danau Nicaragua di Amerika Tengah itu mengancam populasi ikan-ikan spesies asli Danau Toba, seperti ikan wader dan pora-pora.
Kejarlah pemasoknya, yaitu importir, dan bukan mengejar pemelihara atau penghobi ikan.
Pada 2018, terungkap kasus pelanggaran berupa pelepasan ikan Arapaima gigas di Sungai Brantas, Mojokerto, Jawa Timur, sehingga dikhawatirkan merusak ekosistem perairan.
KKP mencatat, pada tahun 2023, ikan-ikan predator jenis alligator gar dan arapaima ditemukan menjadi ladang bisnis di kolam-kolam pemancingan, pasar ikan, hingga kebun binatang mini di DIY. Ikan-ikan itu dipelihara sebagai salah satu daya tarik pengunjung dan obyek wisata.
Solusi
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Bayu Mukti Sasongka, dalam keterangan pers, Kamis (22/2/2024), mengemukakan, sosialisasi terkait pelarangan jenis-jenis ikan yang membahayakan dan merusak ekosistem perairan perlu terus dilakukan pada kalangan pelaku usaha dan penghobi. Selain itu, meningkatkan pengawasan dan peran serta masyarakat dalam memantau keberadaan ikan invasif di perairan.
Di sisi lain, solusi harus diberikan terhadap masyarakat untuk bisa mengurangi jumlah ikan predator dan invasif yang dibudidayakan dan mencemari perairan. Ke depan pihaknya berencana akan menggelar lomba memancing ikan karnivora yang diperuntukkan bagi masyarakat penghobi dan menggelar aksi Gerebek Ikan Invasif untuk mengurangi jumlah ikan invasif.
Gilang, Perwakilan Komunitas Ikan Predator Blitar mengemukakan, beberapa jenis ikan predator dan invasif cukup digemari karena memiliki nilai prestis atau bergengsi. Tak dimungkiri, masih banyak penghobi ikan yang belum tersosialisasi dengan faktor bahaya, serta larangan peredaran dan pemeliharaan ikan invasif itu.
Meski demikian, menurut Gilang, upaya penghentian dan pencegahan perdagangan spesies predator dan invasif asal luar negeri itu dinilai kurang efektif jika hanya menyasar penghobi dan pedagang kecil. Langkah pemberantasan seharusnya dilakukan dengan langsung membidik importir atau pemasok ikan-ikan tersebut.
”Upaya menghentikan peredaran ikan predator dan invasif seharusnya langsung menyasar ke sumbernya agar efektif dan efisien. Kejarlah pemasoknya, yaitu importir, dan bukan mengejar pemelihara atau penghobi ikan. Jumlah importir ikan di Indonesia tidak banyak,” katanya.