SPBU Hidrogen Percontohan Diresmikan, Bus Hidrogen Segera Meluncur
Publik direncanakan diperkenalkan dengan bus hidrogen di Jakarta paling lambat pada Agustus 2024.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meresmikan hydrogen refueling station atau SPBU hidrogen pertama di Indonesia, di Jakarta, Rabu (21/2/2024). SPBU yang bersumber dari hidrogen hijau tersebut masih bersifat percontohan untuk kemudian dilakukan kajian dan pendalaman. Untuk tahap awal, publik bakal dikenalkan terlebih dulu dengan bus hidrogen di Jakarta paling lambat pada Agustus.
Peresmian hydrogen refueling station (HRS) PLN yang terletak di Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, itu berbarengan dengan seremonial peresmian green hydrogen plant (GHP) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Jawa Barat. GHP tersebut menjadi GHP ke-22 yang dimiliki PLN. Sebanyak 21 GHP lainnya tersebar di sejumlah pembangkit listrik PLN di Indonesia, utamanya di Jawa.
Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo di sela-sela peresmian itu mengatakan, dari 22 GHP tersebut dihasilkan 203 ton hidrogen hijau per tahun. Sementara yang dibutuhkan untuk pendinginan pembangkit listrik PLN hanya 75 ton per tahun sehingga sisanya, 128 ton, bisa dimanfaatkan untuk sektor transportasi.
”(HRS) ini hanya sebagai pilot project dengan tujuan bagaimana kami bisa mendalami kelayakan secara teknis, operasional, dan komersial. Juga regulasinya seperti apa. HRS ini bisa memasok baik kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Kami juga menjajaki kerja sama dengan Pemprov (DKI Jakarta) dan institusi transportasi publik untuk pengadaan bus berbasis hidrogen fuel cell,” katanya.
Untuk diketahui, fuel cell (sel tunam) memiliki fungsi serupa dengan baterai, yakni menyediakan energi listrik. Fuel cell dapat mengurai hidrogen menjadi energi listrik yang kemudian menggerakkan kendaraan sebagaimana halnya kendaraan listrik.
Darmawan menambahkan, sebagai perbandingan, biaya bensin dan solar untuk kendaraan adalah Rp 1.300 per kilometer (km), sedangkan kendaraan listrik (EV) Rp 350-Rp 550 per km. Adapun pengisian dengan HRS PLN hanya Rp 270 per km karena menggunakan rantai pasok yang sudah ada dalam sistem PLN. Sementara, jika HRS berupa investasi baru, biaya pengisiannya sekitar Rp 800 per km.
Pengembangan HRS itu, kata Darmawan, bagian dari upaya mendukung program pemerintah. ”Bagaimana mengurangi energi BBM yang ada komponen impornya menjadi energi domestik, dari energi berbiaya tinggi menjadi berbiaya murah, dan dari (menghasilkan) emisi gas rumah kaca menjadi ramah lingkungan. Kami ingin menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan,” paparnya.
Diharapkan listrik yang digunakan adalah listrik hasil pemanfaatan energi terbarukan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P Hutajulu menuturkan, potensi hidrogen besar. Namun, untuk menghasilkan hidrogen dibutuhkan energi listrik. Oleh karena itu, diharapkan listrik yang digunakan adalah listrik hasil pemanfaatan energi terbarukan, salah satunya pembangkit listrik tenaga air.
”Tujuan akhir dari hidrogen ini tidak hanya di (sektor) transportasi, tetapi juga pembangkit. Mudah-mudahan, dengan adanya hydrogen center, akan dihasilkan kajian-kajian yang bisa diimplementasikan untuk mendukung kelistrikan,” ujar Jisman.
Transportasi publik
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eniya Listiani Dewi, yang terlibat dalam PLN Hydrogen Center, mengatakan, untuk tahap awal, kehadiran HRS memang untuk proyek percontohan dan edukasi. Yang terdekat, setidaknya diperkirakan hingga Agustus 2024, akan ada pengadaan bus berbasis hydrogen fuel cell.
”Jadi, bus dulu diperbanyak sehingga orang tahu dan menyadari, hidrogen yang paling non-emisi itu ada,” kata Eniya.
Adapun mobil penumpang akan diuji coba pada sekitar Oktober. Masa uji coba itu sekaligus untuk melihat bagaimana kelancaran pengangkutan hidrogen dari pembangkit listrik tenaga gas uap Muara Karang di Jakarta.
Dari perkiraan waktu, komersialisasi diperkirakan baru dimulai pada 2027. Adapun berdasarkan peta jalan yang ada di pemerintah, hidrogen baru dimanfaatkan untuk sektor transportasi setelah melewati tahun 2030. Hal itu antara lain sambil menunggu turunnya harga energi terbarukan, yang saat ini masih relatif mahal dibandingkan energi fosil.
Mengutip laman Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, hidrogen ialah unsur energi baru rendah karbon yang berlimpah di Indonesia. Saat ini, konsumsi hidrogen di Indonesia mencapai lebih dari 1,75 juta ton per tahun. Namun, penggunaannya masih sebatas pada bahan baku pupuk, amonia, dan kilang minyak.
Adapun arah pengembangan dan pemanfaatan hidrogen di Indonesia salah satunya untuk mendukung upaya dekarbonisasi dan komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim global. Akan tetapi, pengembangan hidrogen dalam mendukung energi bersih di Indonesia kini masih pada tahap penelitian dan proyek percontohan. Hidrogen diproyeksikan akan mulai tumbuh setelah tahun 2030.
Pengamat ekonomi energi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, menilai, hidrogen memang bisa menjadi sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, dalam menghasilkan hidrogen, juga diperlukan listrik. Sementara jejak karbon kelistrikan di Indonesia utamanya masih mengandalkan energi fosil.
”Jadi, dalam konteks Indonesia, hidrogen nantinya (jika dimanfaatkan lebih luas) belum sehijau atau sebiru itu (rendah emisi) karena bagaimanapun kita masih mengandalkan pembangkit fosil untik kelistrikan. Beda, misalnya, jika kita sudah optimal memanfaatkan wind farm (pembangkit listrik tenaga bayu) atau energi terbarukan lainnya,” tutur Yayan.