Menanti Sinyal Kabinet Prabowo, ”Dream Team” atau ”Bagi-bagi Kekuasaan”?
Tradisi bagi-bagi kekuasaan dalam membentuk kabinet akan mendorong Indonesia keluar dari jalur menuju Indonesia maju.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Pada Selasa (20/2/2024), sejumlah akun pendengung atau buzzer politik menyebarkan konten bocoran nama-nama daftar menteri Prabowo-Gibran melalui media sosial X. Tak butuh waktu lama, konten tersebut menyebar lewat sejumlah platform termasuk grup whatsapp keluarga atau alumni sekolah.
Seketika, informasi yang tak jelas sumbernya ini menjadi bahan obrolan masyarakat, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Berbagai pihak dari Tim Kampanye Nasional (TKN) langsung membantah bahwa semua bocoran mengenai susunan kabinet menteri Prabowo-Gibran adalah hoaks dan bukan berasal dari internal mereka.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Namun, terdapat salah seorang pengelola akun buzzer yang biasa ikut ”bermain” di ranah politik punya keyakinan bahwa konten bocoran tersebut sengaja disebarkan untuk ”testing the water” atau melihat respons publik dari kemunculan nama-nama yang menjadi calon menteri.
Sejarah mencatat, kabinet pemerintahan Indonesia pernah diisi ’the dream team’, yakni para teknokrat yang berintegritas dan profesional di bidang mereka masing-masing.
”Saya tidak ikut menyebarkan, tetapi saya tahu akun yang menyebarkan memang biasa meladeni permintaan dari sejumlah nama yang ada di dalam bocoran tersebut,” ujarnya yang tak mau diungkap identitasnya kepada Kompas, Rabu (21/2/2024).
Terlepas dari itu, ramainya bursa menteri pascacoblosan politik adalah hal yang lumrah terjadi. Setidaknya, setiap lima tahun sekali, pembicaraan soal nama-nama yang akan masuk ke kabinet di awal pembentukan pemerintahan baru pasti terjadi.
Selalu bertebaran spekulasi nama-nama yang disebut-sebut akan masuk ke dalam kabinet. Tentu saja, motif terselubung ada di belakangnya, mulai testing the water sampai jualan nama agar jagonya masuk ke dalam kabinet.
Kabinet ahli
Kendati demikian, kepentingan rakyat selaku pembayar pajak sekaligus pemilik suara sejatinya sederhana. Rakyat menginginkan kabinet berisi orang-orang yang berintegritas dan kompeten di bidangnya masing-masing.
Sejarah mencatat, kabinet pemerintahan Indonesia pernah diisi the dream team, yakni para teknokrat yang berintegritas dan profesional di bidang mereka masing-masing. Salah satu contohnya adalah kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Djuanda Kartawidjaja atau yang dikenal sebagai kabinet ahli (zaken kabinet) pada periode 1957-1959.
Zaken kabinet yang legendaris itu terdiri atas 28 menteri yang kompetensinya sesuai dengan portofolio kementerian sehingga berhasil merumuskan sejumlah kebijakan krusial di awal kemerdekaan Indonesia. Salah satu capaian bersejarah adalah Kabinet Djuanda sukses menetapkan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau di Indonesia.
Contoh lain adalah pada awal pemerintahan Orde Baru. Kala itu, kebijakan ekonomi dikelola ekonom Universitas Indonesia (UI) yang dipimpin Soemitro Djojohadikusomo. Bersama para yuniornya yang baru menyelesaikan studi di Universitas California, yakni Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, JB Sumarlin, dan Ali Wardhana. Tim ini populer disebut ”Mafia Berkeley”.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas, Fajri Adrianto, menilai industrialisasi dan pengolahan komoditas tambang menjadi pendorong pertumbuhan perekonomian di rezim Orde Baru. ”Sayangnya, para teknokrat yang ada dalam kabinet pemerintahan kala itu tak mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari gelembung dan leverage yang cukup tinggi,” ujarnya.
Puncaknya pada krisis keuangan Asia 1997-1998 saat ekonomi Indonesia jatuh tersungkur. Krisis keuangan Asia menjadi tonggak baru bagi Indonesia dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan Indonesia memasuki era Reformasi.
Bahkan tidak jarang, para teknokrat yang ada di dalam kabinet mengalami kesulitan dalam menyusun fiskal karena mereka harus mengakomodasi janji kampanye yang telanjur disampaikan partai/koalisi pemenang tanpa mengukur kelayakan fiskal dan kontribusi ekonomi.
Mengakomodasi parpol
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, reformasi menjadi titik awal mengentalnya unsur mengakomodasi kepentingan parpol dalam menyusun kabinet pemerintahan.
Presiden Joko Widodo sempat digaungkan akan membentuk zaken kabinet pada periode kedua kepemimpinannya, 2019-2024. Namun, kenyataannya, profil Kabinet Indonesia Maju secara umum tak sesuai harapan. Kerap terjadi tumpang tindih kebijakan antarkementerian yang tidak bisa berjalan satu visi.
Diperlukan kesadaran dari presiden terpilih untuk menempatkanthe right man in the right place.
Berkaca dari apa yang terjadi lima tahun terakhir, Faisal menilai diperlukan kesadaran dari presiden terpilih untuk menempatkan the right man in the right place. Walaupun ada kebutuhan untuk mengakomodasi konsolidasi politik, orang yang dipilih dari parpol harus benar-benar disaring yang punya kapasitas terbaik untuk kementerian yang dipimpin.
”Jadi, artinya dia punya dua sisi, sebagai representasi parpol yang mendukung pemerintah dan secara kompetensi memang profesional bukan murni sebagai politisi,” ujar Faisal.
Lebih solid
Hampir seluruh kementerian di bidang ekonomi krusial diisi orang yang kompeten di bidangnya masing-masing apabila dikaitkan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden, termasuk yang saat ini unggul dalam penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni pasangan Prabowo-Gibran, menjanjikan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lebih cepat di tengah keterbatasan fiskal dan tren pelemahan ekonomi global.
”Itu artinya kabinet harus lebih solid dari sisi kerja sama dan kompetensinya. Apalagi dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan. Jadi, target lebih tinggi, keterbatasan juga lebih tinggi. Artinya, kan, harus jago sekali tim kabinetnya. Tidak hanya secara individu, tetapi juga tim dalam hal koordinasi,” tutur Faisal.
Harus ada kesadaran dari presiden terpilih, Faisal menambahkan, untuk menempatkan orang-orang yang tepat sebagai pembantu-pembantunya di kabinet. Dalam banyak hal, ketidakefektifan kebijakan ekonomi sering kali timbul karena lemahnya koordinasi antarkementerian dan pemangku kebijakan lainnya.
Jika presiden hanya sebatas bagi-bagi kekuasaan, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya. Jika ini yang terjadi, alih-alih melesat, bangsa Indonesia akan mengalami stagnasi dan berkubang di level negara berpendapatan menengah selama puluhan tahun.