Kabinet ”Zaken”, Riwayatmu Kini
Di masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Oktober 2014, pernah tebersit rencana membentuk kabinet ahli (zaken cabinet) seperti era Kabinet Djuanda. Seperti apakah kabinet ahli kini?
Kabinet ahli atau ”zaken cabinet” pernah ada di era Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Apakah di era sekarang ini masih dimungkinkan, di tengah konsolidasi demokrasi dan partai menjadi salah satu basis rekrutmen menteri?
Di masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Oktober 2014, pernah tebersit rencana membentuk kabinet ahli (zaken cabinet) meskipun sejumlah partai politik mengusung dan mendukung pencalonan keduanya di Pemilu Presiden 2014.
Harapan zaken cabinet kini muncul lagi di tengah informasi perombakan kabinet pasca-peningkatan status kelembagaan menjadi kementerian dan penggabungan dua kementerian setelah persetujuan DPR pada 9 April. Tanggal 9 April mengingatkan pada 9 April 1957 saat dimulainya zaken cabinet yang dipimpin Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja.
Seperti apa zaken cabinet di era seperti sekarang ini dengan kabinet ahli yang pertama di masa PM Djuanda yang memimpin kabinet pada periode 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959? Kabinet Djuanda yang legendaris itu terdiri atas 28 menteri. Sejarah mencatat, kabinet dengan orang-orang berintegritas dan profesional yang kompetensinya sesuai portofolio kementerian berhasil merumuskan kebijakan, di antaranya, saat Kabinet Djuanda sukses menetapkan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau di Indonesia.
Baca juga : Bila Merombak Kabinet, Presiden Jokowi Perlu Memilih Personel yang Mumpuni
Meskipun dihadang Territoriale Zee - en Maritime Kringen-ordonnantie (Ordonansi tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) 1939, yang hanya mengakui batas laut teritorial negara-negara maritim termasuk Indonesia, yaitu 3 mil dari garis pantai terendah, diplomasi Djuanda berhasil mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sejarah mencatat, kabinet dengan orang-orang berintegritas dan profesional yang kompetensinya sesuai portofolio kementerian berhasil merumuskan kebijakan, di antaranya, saat Kabinet Djuanda sukses menetapkan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau di Indonesia.
Di tengah politik ”dagang sapi” kabinet parlementer pada waktu itu, seperti pidato Presiden Soekarno yang geregetan dengan jatuh bangunnya kabinet saat itu, Djuanda berhasil ”mengubur” elite-elite politik bergabung di kabinetnya. Dan, Bung Karno, Presiden RI, kemudian mengembalikan kabinet presidensial dan membubarkan sistem parlementer saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dengan zaken cabinet, orientasi pemilihan menteri-menteri yang dilakukan PM Djuanda adalah the right man in the right place, bukan representasi parpol.
Harapan ”zaken cabinet”
Kesadaran pentingnya kabinet ahli muncul setelah performa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II periode 2009-2014, yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak memadai. Padahal, rakyat menaruh harapan
besar di periode kedua Presiden SBY tersebut. Harapan rakyat kemudian membuih saat muncul gagasan membentuk zaken cabinet di era Presiden Jokowi.
Kesadaran pentingnya kabinet ahli muncul setelah performa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II periode 2009-2014, yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak memadai.
Dalam jajak pendapat yang digelar harian Kompas pada 3-5 September 2014, sebagian besar responden, yakni 43 persen, menilai kinerja KIB II tidak optimal. Ini disebabkan sejumlah menteri tersandera kepentingan parpol pendukung koalisi pemerintah. Sementara 30,5 persen responden menyoal kompetensi para menteri.
Lambatnya reformasi birokrasi juga dituding jadi penyebab. Dengan latar seperti itu, masyarakat berharap Presiden Jokowi yang meneruskan estafet kekuasaan periode 2014-2019 mewujudkan zaken cabinet. Salah satu pertimbangannya bahwa Presiden Jokowi diandaikan bisa mengambil jarak dengan kepentingan parpol karena bukan pejabat parpol meskipun ”petugas” parpol.
Penerapan beberapa praktik yang baik saat pembentukan kabinet oleh tim transisi juga memberi sinyal positif sehingga memberikan kepercayaan rakyat. Praktik itu berupa pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan saat menyaring nama-nama calon menteri. Bahkan, Presiden Jokowi juga tegas mensyaratkan menterinya tak rangkap jabatan parpol.
Saat Kabinet Kerja diumumkan pada Minggu (26/10/2014), respons publik pun lumayan. Jajak pendapat harian Kompas kembali pada 29-31 Oktober 2014 menunjukkan, masyarakat secara umum mengapresiasi profil Kabinet Kerja. Sekalipun tidak bisa disebut zaken cabinet, paling tidak jumlah profesional non-parpol yang lebih banyak ketimbang profesional dari parpol, yakni 18 orang berbanding 16 orang, memberikan optimisme baru. Namun, memang di antara menteri yang bukan dari parpol ada juga wakil sukarelawan.
Dalam perjalanannya, Presiden Jokowi merombak empat kali Kabinet Kerja-nya. Bahkan, menteri yang disebut wakil parpol, seperti Nasdem dan Partai Hanura, pun terkena reshuffle atau dicopot. Meski demikian, Presiden Jokowi kembali mengakomodasi dua parpol yang masuk ke pemerintahan, yakni Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional.
Jadi, sesuai rencanakah zaken cabinet yang telah dibentuk Jokowi-Kalla pada periode awal 2014-2019, dan kini, periode 2019-2024 bersama Wapres Ma’ruf Amin?
Parpol basis rekrutmen
Terkait zaken cabinet, konsep dan penerapannya, dulu dan sekarang memang berbeda. Pada masa PM Djuanda, semangat persatuan sangat tinggi dan tidak adanya campur tangan parpol benar-benar dijalankan Presiden Soekarno. Demokrasi tanpa parpol.
”Ibaratnya, muak dengan gaya elite politik saat itu dengan ’dagang sapi’ dan jatuh bangunnya kabinet masa parlementer tersebut, parpol benar-benar ’dibuang’, dan dipilih orang-orang nonparpol yang punya profesionalitas,” tutur pejabat di lingkungan Istana, Senin (19/4/2021).
Kini, zaken cabinet, di era konsolidasi demokrasi, parpol tidak ”dikubur” atau dibuang, tetapi jadi salah basis dukungan dan juga sumber rekrutmen calon menteri. ”Di era demokrasi sekarang ini, parpol menjadi salah satu pilar demokrasi yang harus profesional dan memiliki integritas. Karena itu, seseorang yang ahli dan profesional ada dalam konteks partai. Belum tentu sekarang ini orang parpol tak punya kompetensi dan keahlian tertentu. Jadi, parpol pengusung dan pendukung jadi salah satu basis rekrutmen selain nonparpol,” ujarnya.
Di era demokrasi sekarang ini, parpol menjadi salah satu pilar demokrasi yang harus profesional dan memiliki integritas.
Sumber asal menteri beragam. Bisa dari orang yang ahli dari parpol dan nonparpol. ”Meskipun jadi salah satu basis rekrutmen, Presiden Jokowi bisa melakukan reshuffle menteri parpol tak kompeten. Presiden juga menjaga komposisi dan keseimbangan,” katanya lagi.
Baca juga : Diorama Kabinet Zaken (2-Selesai)
Namun, peneliti Visi Integritas Nusantara Firdaus Ilyas mengatakan, rakyat tetap berharap Presiden Jokowi membentuk zaken cabinet di awal periode keduanya. Sebab, Presiden tidak mempunyai beban politik seperti periode pertama. Kenyataannya, profil Kabinet Indonesia Maju secara umum tak sesuai harapan.
Hal sama disampaikan peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes. Performa menteri-menteri dalam enam kabinet pascareformasi politik, termasuk di era Jokowi, secara umum dinilai biasa-biasa saja. Artinya, jauh dari harapan rakyat tentang kabinet ahli. Ia menduga hal itu karena akomodasi kepentingan parpol masih merupakan bobot terbesar membentuk atau merombak kabinet.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan, Presiden idealnya bisa membentuk kabinet ahli karena dia dipilih langsung rakyat. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa itu nyaris tak mungkin dilakukan karena adanya seperti sistem kepartaian.
Sementara itu, terkait rencana perombakan, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan, hingga kini Presiden belum pernah menyatakan akan melakukan perombakan kabinet. Hal yang sudah pasti diketahui baru adanya persetujuan DPR untuk pembentukan kementerian baru.