Pemerintah Ramai-ramai Mengikat ”Giant Tech” dengan Aturan
Ada lima bentuk pengaturan yang disasar, yaitu pajak, privasi, antimonopoli, moderasi konten, dan kecerdasan buatan.
Pemerintah di berbagai belahan bumi bergerak bersama mengatur perusahaan raksasa teknologi. Tingkat urgensi dan cakupannya masif, belum pernah dialami oleh industri mana pun sebelumnya. Langkah ini berpotensi mengubah cara kerja internet dan mengubah arus data digital secara global.
Mengutip Axios, terdapat lima bentuk utama regulasi yang diterapkan terhadap perusahaan raksasa teknologi oleh sejumlah negara. Bentuknya meliputi peraturan perpajakan, privasi konsumen, antimonopoli, moderasi konten, dan kecerdasan buatan.
Baca juga : Pentingnya Menjadi Kritis Saat Belum Ada UU Perlindungan Data Pribadi
Soal peraturan perpajakan, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahkan sampai membuat solusi mengenakan pajak bagi perusahaan raksasa teknologi. Beberapa negara bagian Amerika Serikat (AS), misalnya, mengenakan pajak bagi perusahaan raksasa teknologi dari Eropa.
Terkait peraturan privasi konsumen, peraturan perundang-undangan privasi data Uni Eropa, yakni Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR), sudah berlaku hampir enam tahun. Peraturan ini memaksa perusahaan-perusahaan raksasa teknologi, termasuk dari AS, tunduk.
Saat ini sudah ada lebih dari 120 negara memiliki peraturan perundang-undangan pelindungan data pribadi. Salah satunya adalah Indonesia.
Adapun soal pengaturan antimonopoli, Eropa adalah yang paling getol. Eropa terus melakukan penyelidikan dan memperkenalkan peraturan perundang-undangan pasar digital (Digital Markets Act).
Melalui peraturan ini, perusahaan-perusahaan raksasa teknologi dari AS didefinisikan sebagai ”penjaga gerbang”. Maksudnya, mereka adalah pihak yang memberikan layanan penting bagi bisnis karena menjangkau pelanggan secara luas, tetapi sekaligus menjadi penghambat.
Mengutip The New York Times, China yang membiarkan perusahaan teknologinya bebas bersaing dan melakukan konsolidasi kini memperketat pembatasan keuangan digital dan mempertajam undang-undang antimonopoli pada akhir 2022.
Di Amerika Serikat, dorongan antimonopoli semakin tajam.
Tahun 2021, mereka mulai memaksa perusahaan raksasa internetnya seperti Alibaba, Tencent, dan ByteDance, untuk secara terbuka berjanji mengikuti aturan mereka dalam melawan monopoli.
Di AS, dorongan antimonopoli semakin tajam. Tahun 2021, anggota parlemen dari Partai Republik dan Demokrat pernah berujar bahwa mereka sedang meracang peraturan antimonopoli, privasi, dan kebebasan berpendapat baru yang menargetkan Google, Meta, Facebook, dan Amazon.
Moderasi konten
Setelah perpajakan, privasi konsumen, dan antimonopoli, bentuk pengaturan yang secara bersamaan mulai ramai dikembangkan sejumlah negara adalah moderasi konten.
Sebagai contoh, Uni Eropa telah mengusulkan Undang-Undang Layanan Digital (Digital Services Act/DSA) yang berfokus pada moderasi konten dan penghapusan unggahan. DSA yang berlaku pada Agustus 2023 meminta platform daring harus segera menghapus ujaran kebencian dan informasi palsu dalam waktu 24 jam.
Baca juga : Permintaan Penghapusan Konten di Media Sosial Menguat
Pengguna harus diblokir lebih cepat jika secara rutin menerbitkan ujaran kebencian atau iklan palsu. Perusahaan teknologi juga harus memberi kesempatan kepada pengguna untuk mematikan algoritma yang dipersonalisasi.
Pada tahap awal, sesuai diberitakan oleh DW, terdapat 19 layanan daring terbesar akan terkena dampaknya masing-masing dengan lebih dari 45 juta pengguna aktif per bulan. Ini termasuk perusahaan Amazon, Zalando, Alibaba dan AliExpress, platform perjalanan Booking.com, serta mesin pencari Google dan Bing.
Ada pula layanan Google Play, Google Maps, Google Shopping, dan platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, Linkedin, Tiktok, X (sebelumnya Twitter), Snapchat, Pinterest, dan Youtube.
Pemerintah India pada Februari 2021 mengumumkan regulasi yang mengatur konten media sosial. Implikasinya, Facebook, Whatsapp, dan lainnya wajib lebih bertanggung jawab terhadap permintaan hukum untuk menghapus unggahan dan mengindentifikasi poster asli dari pesan tertentu.
Adapun bentuk pengaturan kelima menyasar ke kecerdasan buatan. Uni Eropa lagi-lagi yang paling mencolok mengatur urusan ini. Pada Desember 2023, para pejabat Uni Eropa menyetujui AI Act, undang-undang yang menetapkan tolok ukur global baru bagi negara-negara yang ingin memanfaatkan potensi manfaat teknologi kecerdasan buatan sekaligus melindungi dari risiko otomatisasi pekerjaan, penyebaran informasi yang salah, dan bahaya keamanan nasional.
Baca juga : Menkominfo: Presiden Segera Umumkan Perpres ”Publisher Rights”
Di luar Uni Eropa, pada September 2023, The Washington Post menuliskan bahwa Brasil mempunyai rancangan undang-undang kecerdasan buatan yang secara cermat menguraikan hak-hak pengguna dalam berinteraksi beserta risiko kecerdasan buatan. China pun telah menerbitkan rancangan peraturan untuk kecerdasan buatan generatif yang harus mencerminkan nilai-nilai inti sosialis.
Di luar lima bentuk utama regulasi itu, masih ada bentuk-bentuk pengaturan lain yang diterapkan terhadap perusahaan raksasa teknologi. Misalnya, Australia mengeluarkan undang-undang yang memaksa Google dan Meta membayar penerbit berita atau publisher rights.
Indonesia juga akan segera mengeluarkan peraturan serupa. Menurut rencana, Presiden Joko Widodo akan mengumumkan Peraturan Presiden terkait publisher rights pada Selasa (20/2/2024). Contoh lainnya, Rusia mengeluarkan kebijakan pembatasan lalu lintas X. Myanmar dan Kamboja juga menerapkan pembatasan internet secara luas.
Kepentingan publik
Peneliti Utama Safer Internet Lab Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Beltsazar Krisetya, Minggu (18/2/2024), di Jakarta, menjelaskan, fenomena gelombang mengatur bersama perusahaan teknologi yang kini berkembang adalah kelanjutan dari techlash yang dimulai sejak 2017–2018.
Kala itu banyak isu baru bermunculan, terutama berkaitan dengan privasi data, keamanan informasi, dan penyebaran berita palsu yang melibatkan layanan digital milik perusahaan raksasa teknologi.
”Tujuan utama dari pengaturan platform digital bukanlah membatasi monopoli atau menumbuhkan inovasi, tetapi mengawal kepentingan publik. DSA yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, misalnya, menginginkan agar big tech memberikan kontribusi lebih ke publik melalui pembayaran pajak yang lebih adil dan mendukung pengembangan infrastruktur digital,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, pengaturan perpajakan kepada perusahaan raksasa teknologi sama susahnya mengatur monopoli yang berpotensi mereka lakukan. Oleh karena itu, pembahasan peraturan, seperti perpajakan yang dilakukan oleh OECD, juga sempat berlangsung alot.
”Salah satu tujuan beberapa negara mengatur perusahaan teknologi asing adalah melindungi barang dalam negeri. Dalam konteks platform e-dagang, misalnya, pasar yang diciptakan sebenarnya bukan pasar yang sempurna karena ada risiko dijadikan ruang memasukkan barang-barang ilegal,” ucapnya.
Research Manager at Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (UGM) Hafiz Noer berpendapat, dominasi perusahaan raksasa teknologi dapat menciptakan pengarusutamaan informasi dari satu-dua sumber saja. Regulasi terkait publisher rights hanya secuil regulasi untuk mengatur mereka.
Pemerintah Indonesia, misalnya, harus meninjau ulang lagi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena UU ini belum menjawab bagaimana mereka memanfaatkan mahadata untuk mengendalikan pasar. Baca juga : KPPU Tuding Praktik Bisnis Google Diskriminatif
Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) M Fanshurullah Asa, saat dikonfirmasi, menyampaikan, KPPU sedang mempelajari berbagai aturan atau praktik terbaik yang sudah ada. Kemudian, KPPU akan mendorong pemerintah membuat pengaturan di pasar digital, khususnya terkait pengendalian terhadap raksasa teknologi.