Sejalan situasi di negara lain, KPPU menuding Google di Indonesia melakukan praktik diskriminasi distribusi aplikasi di Google Play Store. Namun, instrumen hukum yang ada dinilai belum cukup kuat untuk membuktikannya.
Oleh
MEDIANA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga Google telah menyalahgunakan posisi dominannya di Indonesia dengan melakukan penjualan bersyarat dan praktik diskriminasi distribusi aplikasi di Google Play Store. Proses penyelidikan akan dilakukan selama 60 hari kerja dan komisi berharap Google kooperatif. Tantangannya adalah instrumen peraturan hukum Indonesia yang dinilai relatif belum adaptif terhadap perkembangan bisnis perusahaan teknologi.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Deswin Nur saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (18/9/2022), mengatakan, penelitian KPPU menemukan, kebijakan Google mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu. GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store. Atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan atau fee kepada aplikasi sebesar 15–30 persen dari pembelian.
Semua aplikasi yang diunduh dari Google Play Store harus menggunakan GPB sebagai metode transaksinya. Penyedia konten atau pengembang aplikasi wajib memenuhi ketentuan yang ada dalam GPB tersebut. Google juga tidak memperbolehkan penggunaan alternatif pembayaran lain. Kebijakan penggunaan GPB tersebut efektif diterapkan pada 1 Juni 2022.
Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban. Sementara Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi atau tidak diperkenankan melakukan pembaruan fitur di Google Play Store.
”Perjanjian serupa juga Google berlakukan di negara lain sehingga permasalahan atas GPB turut diinvestigasi oleh berbagai otoritas persaingan usaha negara lain, semisal India dan Belanda. Mereka akan fokus ke dampak di negara masing-masing. Kami masih pada awal investigasi, perlu bukti-bukti untuk dilanjutkan ke persidangan, dan kami harap Google di Indonesia bisa kooperatif dengan proses yang kami lakukan ini,” ujar Deswin.
Deswin menyatakan, KPPU mengakui proses mengumpulkan data untuk penelitian itu memakan waktu panjang. KPPU baru intensif mengawasi sektor industri digital setahun terakhir. Ini pun karena marak laporan atau isu persaingan usaha tidak sehat.
Perwakilan Google di Indonesia, dalam siaran pers, menyatakan, Google Play Store telah mendukung pengembang Indonesia untuk maju dengan memberikan akses ke berbagai alat untuk membantu mereka mengembangkan aplikasi serta bisnisnya. Google di Indonesia juga telah memberikan dukungan agar pengembang lokal dapat terus berkembang.
Google di Indonesia juga telah memberikan dukungan agar pengembang lokal dapat terus berkembang.
”Kami terus mendengarkan berbagai masukan dari komunitas Google Play Store dan melakukan peningkatan fitur serta layanan kami. Misalnya, pada awal bulan ini, kami meluncurkan fase selanjutnya dari program uji coba sistem penagihan sesuai pilihan pengguna (user choice billing) di Indonesia,” tulis Google.
Program itu diklaim mampu membuat pengembang lokal untuk menawarkan sistem penagihan alternatif kepada pengguna, di samping sistem penagihan Google Play Store yang sudah ada. Dalam siaran pers yang sama, Google Indonesia berharap dapat bekerja sama dengan KPPU untuk menunjukkan bagaimana Google Play Store telah dan akan terus mendukung para pengembang Indonesia.
Didenda Uni Eropa
Negara lain lebih dulu menggugat Google. Pada pekan lalu, Google mengalami kekalahan dalam persidangan antimonopoli putaran pertama di pengadilan tinggi Uni Eropa. Google didenda 4,3 miliar euro. Mengutip Bloomberg, Google dianggap telah memberlakukan pembatasan yang melanggar hukum pada produksi ponsel Android dan operator telekomunikasi seluler untuk memperkuat dominasi mesin pencarinya.
Pada 2018, Google dituduh oleh Uni Eropa melakukan tiga jenis perilaku ilegal yang terpisah guna memperkuat dominasi mesin pencari. Salah satunya adalah Google dianggap secara ilegal memaksa produsen ponsel pintar untuk melakukan pra-install aplikasi Google Search dan peramban Chrome sebagai syarat melisensikan Google Play Store.
Pada Juli tahun lalu, mengutip Reuters, 37 jaksa agung negara bagian Amerika Serikat menggugat induk Google, Alphabet Inc, karena dianggap telah membeli pesaing dan menggunakan kontrak terbatas secara tidak sah demi mempertahankan monopoli Google Play Store, toko aplikasinya di ponsel Android.
Tuduhan itu bermula dari penyelidikan yang melibatkan hampir setiap negara bagian Amerika Serikat dan dimulai September 2019. Penyelidikan ini menghasilkan tuntutan hukum yang memaksa Google agar mengubah cara menghasilkan pendapatan miliaran dollar AS di seluruh bisnisnya, termasuk periklanan, pembelian aplikasi, dan gawai rumah cerdas. Di Amerika Serikat, 90 persen aplikasi yang diunduh pengguna ponsel Android berasal dari Google Play Store.
Konvensional
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ditha Wiradiputra, saat dihubungi Minggu, di Jakarta, berpendapat, Google bisa dikatakan menguasai pasar ekosistem aplikasi yang mungkin dia peroleh secara natural atau monopoli natural. Dengan kondisi itu, perusahaan seharusnya tidak melakukan eksploitasi pasar aplikasi, seperti menggunakan cara mengenakan tarif pemakaian aplikasi yang cukup tinggi dan memaksakan penggunaan sarana pembayaran yang dia miliki. Meskipun Google mungkin menggunakan sarana pembayaran itu agar dapat mengontrol transaksi yang terjadi pada para pengembangnya.
Ditha menjelaskan, sepanjang Google melakukan kegiatan bisnis di wilayah hukum Indonesia, KPPU sebenarnya berwenang untuk melakukan penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Google. Namun, tantangan KPPU adalah pembuktiannya karena instrumen yang dimiliki KPPU masih konvensional untuk bisa diaplikasikan dalam penegakan hukum persaingan usaha pada perusahaan teknologi seperti Google.
Sepanjang Google melakukan kegiatan bisnis di wilayah hukum Indonesia, KPPU sebenarnya berwenang untuk melakukan penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Google.
”Perusahaan teknologi seperti Google bekerja di banyak pasar atau multisided market. Kalau memakai pendekatan lama, maka KPPU akan kesulitan menentukan tipe pasar yang relevan untuk kasus dugaan monopoli Google,” ujar Ditha.
Investigasi dugaan monopoli terhadap perusahaan teknologi, seperti Google ini, dia memperkirakan akan memakan waktu yang tidak singkat. Sementara KPPU memiliki keterbatasan waktu dalam melakukan pembuktiannya. Pada tahap penyelidikan yang sekarang sedang dilakukan oleh KPPU, KPPU telah mengatakan memiliki jangka waktu 60 hari sebelum masuk ke tahapan pemberkasan dan persidangan.
Head of Center of Innovation and Digital Economy di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, proses revisi UU No 5/1999 belum jelas. Akibatnya, untuk menegakkan hukum atas persaingan usaha yang sifatnya pasar dua sisi (two-sided) atau multisided market, KPPU tidak memiliki aturan hukum yang kuat.
Huda menilai, dugaan monopoli Google Play Store dari sudut pandang multisided market. Konsumen Google Play Store terdiri dari pengunduh dan pengembang. Google seharusnya menetapkan biaya transaksi secara seimbang agar tidak memberatkan pengunduh, tetapi tetap memberikan insentif yang pas bagi pengembang.
Lebih jauh, lanjut Huda, Google sebenarnya telah mencoba untuk mengembangkan ekosistem aplikasi Android-nya. Perusahaan gawai, seperti Xiaomi, juga sudah membuat MiOS sendiri dan membuat platform aplikasinya sendiri. Namun, sistem ini masih berjalan beriringan di ponsel dengan sistem operasi Android yang juga ada Google Play Store. Akibatnya, pemakaian Google Play Store tetap lebih masif.
”Dalam kasus dugaan monopoli sebelum-sebelumnya, KPPU biasanya mencari ada tidaknya perusahaan substitusi yang dirugikan. Sementara dalam konteks dugaan monopoli Google Play Store, situasinya berbeda. Apakah ada substitusi dari Google Playstore yang dirugikan dan apakah detail ekosistemnya sudah didalami oleh KPPU?” kata Huda.