Kompleksitas Kapitalisme di Industri Gim Video Global
Sistem transaksi mikro seakan menjadi ”kanker” yang menjamur di industri gim video global. Sistem ini terkadang berdampak buruk terhadap pemain gim video, terutama yang masih anak-anak.
Oleh
ADHITYA M MAHESWARA
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
’Kegilaan kapitalisme’ atau capitalism frenzy mungkin merupakan kata yang cocok dalam mengambarkan kondisi industri gim video global saat ini. Produk gim video yang pada dasarnya bertujuan untuk menghibur masyarakat kini memiliki peran tambahan menjadi sebuah ”mesin uang” yang sangat menguntungkan para pengembangnya.
Bagi sebagian pemain gim video aktif, pengembang gim video yang sangat berorientasi pada uang merupakan ”musuh” sesungguhnya di dalam dunia gim video. Bagaimana tidak, terkadang pengembang gim video yang rakus akan keuntungan yang diperoleh justru malah menciptakan produk gim video yang bersifat kuantitas di atas kualitas.
Hal yang mencolok dari fenomena ini adalah sistem transaksi mikro yang seakan menjadi ”kanker” yang menjamur di dalam industri gim video global. Transkasi mikro atau micro-transacsation merupakan sistem transaksi yang sudah eksis di dalam industri gim video global sejak pertengahan tahun 2000-an.
Menurut Mike Colagrossi (2021), transaksi mikro adalah sebuah model bisnis di mana pengguna dapat membeli barang-barang virtual dengan uang asli. Transaksi mikro biasanya muncul dalam gim video yang bersifat free-to-play, artinya gim video dapat dengan gratis dimainkan, tetapi tersedia fitur atau barang virtual lainnya untuk dibeli oleh pemain. Contohnya, pemain dapat menaikkan level atau kustomisasi karakter yang mereka mainkan secara virtual melalui sistem pembayaran dengan mata uang dunia nyata.
Kebebasan tersebut terkadang menjadi adiksi tersendiri bagi pemain gim video yang kemudian menjadikan mereka sebagai pemain yang konsumtif. Dari sini juga muncul istilah baru terkait dengan konsumerisme, yaitu konsumerisme virtual yang merujuk pada sistem perdagangan uang melalui dunia yang bersifat fantasi (Liboriussen, 2016).
ASOSIASI GAME INDONESIA
Pertumbuhan produksi gim video selama tiga tahun terakhir berdasarkan ukuran perusahaan, menurut data laporan Peta Ekosistem Industri Game dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) yang penelitiannya dilakukan pada Juli-September 2020.
Mungkin bagi sebagian orang dewasa yang sudah berpenghasilan, tidak ada salahnya menghamburkan uang mereka demi sebuah karakter di dalam gim video. Namun, permasalahan penting di sini adalah keterlibatan anak-anak hingga remaja yang belum berpenghasilan yang memaksakan diri mereka untuk mengeluarkan uang lebih untuk produk gim video.
Daniel Nielsen (2020) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul The Moral Economy of Micro-Transactions in Digital Games meminta tanggapan pemain gim video terhadap sistem transaksi mikro yang dinilai cenderung mengeksploitasi pemain gim video. Menurut dia, barang-barang virtual yang dijual di dalam produk gim video oleh pengembang gim video dirasa tidak masuk akal karena seharusnya barang-barang virtual tersebut menjadi bagian dari dasar gim video.
Barang-barang virtual yang dijual di dalam produk gim video oleh pengembang gim video dirasa tidak masuk akal.
Lantas, bagaimana pengembang gim video mendapatkan keuntungan dari sistem transaksi mikro? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mungkin kita dapat menengok pada pengembang gim video asal California, Amerika Serikat yang bernama Riot Games. Mereka terkenal dengan produk gim video unggulannya yang berjudul League of Legends (LoL) yang sudah dimainkan oleh puluhan juta orang di seluruh dunia.
Gim video tersebut dapat diunduh secara gratis oleh para pemainnya, tetapi memiliki segudang barang virtual yang siap dijual kepada pemainnya. Dari barang virtual tersebut, Riot Games mendapatkan keuntungan yang fantastis meskipun mereka menyediakan produk gim videonya secara gratis.
Dengan adanya sistem transaksi mikro yang semakin menguat di dalam industri gim video, produk-produk gim video yang memiliki sistem tersebut telah banyak dikritik oleh banyak pemain gim video. Seorang pengulas gim video yang bernama Jim Sterling (2019) menilai bahwa pengembang gim video yang memberlakukan sistem transaksi mikro merupakan sekumpulan predator perjudian.
Tidak hanya itu, permasalahan ini juga sampai menjadi bahan perbincangan oleh Pemerintah Inggris pada 2019. Mereka menilai adanya penggunaan uang asli di dalam produk gim video merupakan pola yang hampir mirip dengan sistem perjudian yang ada di dunia nyata.
Tentu, keluhan Pemerintah Inggris tersebut bukan tanpa alasan. Mereka menganggap adanya pola keuangan di dalam produk gim video dikhawatirkan akan berdampak pada kesehatan mental para pemain gim video.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pemain gim digital PUBG bermain di sekitar Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (9/8/2018). Gim digital banyak diminati karena bisa bermain bersama-sama.
Selain itu, sebelumnya juga terdapat beberapa laporan mengenai orangtua yang mengeluhkan bahwa akun bank mereka memiliki potongan yang berasal dari produk gim video. Susie Breare, seorang ibu dengan satu anaknya yang aktif memainkan gim video di perangkat iPad, sangat terkejut ketika anaknya diam-diam sudah menghabiskan sebesar 3,000 pounds atau sekitar Rp 53 juta untuk satu gim video saja.
Kasus lainnya juga terjadi pada Susan Taylor, yang keuangan keluarganya hancur hanya karena anaknya yang berusia 16 tahun tanpa seizin Susan sudah menghabiskan 2,000 pounds atau sekitar Rp 35 juta untuk gim video bertemakan olahraga basket, yaitu NBA 2K.
Di Indonesia pun beberapa kali terdapat kasus yang melibatkan anak-anak dan transaksi mikro di dalam gim video.
Kasus serupa tidak hanya terjadi di Inggris, di Indonesia pun beberapa kali terdapat kasus yang melibatkan anak-anak dan transaksi mikro di dalam gim video. Pada Mei 2021, sempat viral sebuah tayangan video yang memuat orangtua yang tengah memarahi seorang kasir mini market karena mengizinkan anak mereka membeli sebuah voucer gim online sebesar Rp 800.000. Meskipun sempat viral di media sosial, kasus tersebut berujung damai antara orangtua dari anak yang bersangkutan dan kasir mini market tersebut.
Selain itu, kasus yang lebih parah lagi terjadi baru-baru ini, tepatnya pada Juni 2022 ketika seorang remaja berusia 15 tahun nekat mencuri delapan sepeda motor hanya untuk membeli voucher gim online. Pelaku yang masih di bawah umur tersebut tetap harus menjalani proses hukum.
Berdasarkam kasus-kasus di atas, menunjukkan bahwa masih banyak pemain gim video yang belum siap dengan kehadiran unsur kapitalisme di dalam produk gim video. Pemain yang belum bijak dalam bermain gim video memiliki potensi kuat untuk kecanduan dan larut dalam sistem tersebut.
Pada titik ini, kapitalisme yang sudah berdiri kokoh di dalam industri gim video akan sangat sulit dihilangkan karena hingga kini hampir semua pengembang gim video produktif dalam menciptakan gim video yang berorientasi pada transaksi mikro.
Dengan kata lain, kondisi industri gim video global yang ada pada saat ini benar-benar dalam kondisi yang jauh lebih kompleks jika dibandingkan dengan beberapa dekade lalu. Produk gim video tidak hanya dijadikan sebagai wahana hiburan digital saja, tetapi sudah menjadi area perdagangan digital dengan variasi harga barang virtual yang beragam.
Oleh karena itu, industri gim video global akan terus menjadi salah satu bentuk media kapitalisme dalam beberapa tahun ke depan sehingga diperlukannya tindakan lebih dari para pengembang gim video untuk menghindari adanya kasus yang merugikan orangtua dan anak-anak mereka.
Adhitya M Maheswara, Mahasiswa Pascasarjana Program Kajian Wilayah Eropa, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia