Pasar Harga Jual Kembali Mobil Listrik Terbentuk 3-5 Tahun ke Depan
Pasar akan dapat membentuk harga jual kembali mobil listrik 3-5 tahun ke depan.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski minat masyarakat terhadap mobil listrik terus bertumbuh, jaminan atas harga jual kembali mobil listrik belum terbentuk. Pasar diperkirakan baru membentuk harga jual kembali seiring pertumbuhan penjualan mobil listrik 3-5 tahun ke depan. Hal ini mengakibatkan lembaga pembiayaan lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit mobil listrik. Segmentasi konsumen mobil listrik pun masih terbatas di kalangan menengah atas.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesale kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) selama 2023 telah menembus 17.051 unit atau meningkat 65,11 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan total penjualan selama 2023, pangsa penjualan mobil listrik hanya 1,69 persen.
Sejalan dengan pertumbuhan penjualan mobil listrik tersebut, penyaluran kredit terhadap pembelian mobil listrik turut meningkat. Hal ini mengingat lebih dari separuh pembelian mobil oleh masyarakat dilakukan melalui mekanisme kredit.
PT BCA Finance, misalnya, selama 2023 telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp 1,4 triliun untuk pembelian 3.209 mobil listrik atau naik 172 persen dibandingkan dengan periode 2022. Namun, pembiayaan mobil listrik tersebut tercatat baru berkontribusi sekitar 3,5 persen dari total Rp 40 triliun pembiayaan baru selama 2023.
Direktur Utama BCA Finance Roni Hasyim menyebut, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan penjualan mobil listrik ke depan. Dalam meningkatkan daya beli masyarakat, ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan kapasitas jarak tempuh masih menjadi tantangan.
”Untuk kami sebagai pemberi pembiayaan, tantangan terbesarnya adalah resale value EV (harga jual kembali mobil listrik). Kalau resale value tidak bisa terbentuk dengan baik, tentu dari segi risiko akan meningkat,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/2/2024).
Dibandingkan dengan mobil berbasis bahan bakar fosil, mobil listrik memiliki komponen yang berbeda, salah satunya baterai sebagai komponen utamanya. Sebagaimana diketahui, kapasitas baterai lambat laun akan menurun sehingga berpengaruh terhadap harga jual.
Menurut Roni, pembentukan harga jual kembali mobil listrik masih membutuhkan waktu lantaran ditentukan oleh beberapa hal, seperti citra merek (brand image), layanan purnajual (after sales) yang baik, serta kualitas mobil. Oleh karena itu, selama harga jual kembali mobil listrik belum terbentuk, pemberi kredit akan berhati-hati guna meminimalkan risiko.
”Kami menawarkan bunga dan jangka waktu sama, baik untuk EV maupun mobil bensin. Selain itu, risiko pembiayaan juga akan semakin tinggi apabila resale value-nya jelek, sedangkan untuk EV, kan, belum ketahuan resale value-nya akan seperti apa,” ujar Roni.
Dalam kurun 3-5 tahun ke depan, pasar akan dapat membentuk harga jual kembali seiring dengan bertumbuhnya penjualan mobil listrik.
Senada, Direktur Utama Adira Finance Dewa Made Susila menyampaikan, pihaknya membedakan skema pemberian kredit antara mobil listrik dengan mobil berbasis bahan bakar fosil. Hal ini lantaran pangsa pasar mobil listrik cenderung untuk masyarakat menengah atas.
Made menambahkan, sebagian besar pembelian mobil listrik oleh kalangan menengah atas tersebut dilakukan secara tunai. Dengan demikian, terbatasnya segmentasi pembeli mobil listrik tersebut membuat risiko kredit belum tergambar dengan utuh.
”Ekosistem kreditnya (mobil listrik) masih sama (dengan mobil berbahan bakar fosil) dan asuransinya pun mirip. Padahal, di negara lain sudah berubah. Jadi, karena tipe konsumennya menengah ke atas, kualitas kreditnya pun masih mirip,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Kamis (16/2/2024).
Sama halnya dengan penjualan mobil secara umum, penjualan mobil listrik menghadapi tantangan berupa keterjangkauan harga (affordability). Selain itu, kenaikan suku bunga acuan dalam dua tahun terakhir juga turut berdampak terhadap daya beli masyarakat.
Selama 2023, PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (Adira Finance) telah menyalurkan pembiayaan kendaraan listrik senilai Rp 189 miliar atau meningkat lebih dari lima kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 65 persen untuk pembiayaan sekitar 400 mobil listrik.
Direktur Keuangan Adira Finance Sylvanus Gani Mandrofa menambahkan, pihaknya optimistis mampu menorehkan pertumbuhan kredit mobil listrik lebih tinggi lagi pada 2024. ”Setidaknya, kita harus mencatatkan pertumbuhan 2 kali atau lebih dari pencapaian 2023,” katanya.
Tak cukup insentif
Agar daya beli masyarakat terhadap kendaraan listrik menggeliat, pemerintah tengah menyiapkan skema insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Dengan demikian, diharapkan harga kendaraan listrik lebih terjangkau sehingga mampu permintaan dari masyarakat pun meningkat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, skema insentif tersebut masih dalam tahap pembuatan peraturan menteri keuangan. Lebih lanjut, insentif juga diberikan secara khusus untuk mobil hibrida (campuran bahan bakar fosil dan listrik) yang dianggap dapat menjadi alternatif (Kompas.id, 15/2/2024).
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyambut baik upaya pemerintah dengan memberikan insentif berupa PPN DTP. Dengan skema tersebut, industri otomotif diharapkan dapat lebih bergairah sehingga akan menggerakkan perekonomian nasional.
”Tentu kebijakan insentif tersebut akan berdampak dan memberikan sentimen positif terhadap daya beli masyarakat. Apalagi, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar ditambah cakupan penetrasi masih rendah sehingga potensi mobil listrik ini besar sekali,” katanya.
Selama tidak ada disinsentif bagi produsen kendaraan bermotor, ceruk pasar kendaraan fosil masih terbuka lebar.
Terkait dengan risiko ke depan, Suwandi optimistis harga jual kembali mobil listrik akan terbentuk dengan sendirinya. Dalam kurun 3-5 tahun ke depan, pasar akan dapat membentuk harga jual kembali seiring dengan bertumbuhnya penjualan mobil listrik.
Di sisi lain, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemberian insentif oleh pemerintah belum cukup untuk mendorong laju penjualan mobil listrik di Tanah Air. Selain insentif, pemerintah juga perlu mempertimbangkan skema disinsentif untuk mengembangkan ceruk pasar mobil listrik.
”Selama tidak ada disinsentif bagi produsen kendaraan bermotor, ceruk pasar kendaraan fosil masih terbuka lebar. Jakarta memang macet, tetapi Indonesia bagian Timur menjadi ladang garapan yang masih potensial. Data terakhir menunjukkan, 4 dari 10 keluarga memiliki mobil dan 7 dari 10 keluarga punya sepeda motor yang artinya, rasio kepemilikan mobil masih rendah terbatas di wilayah perkotaan,” ujarnya.
Pembentukan pasar mobil listrik ke depan, lanjut Bhima, akan ditentukan juga oleh kebijakan produsen kendaraan bermotor. Hal ini juga akan diikuti oleh lembaga pembiayaan(leasing) yang terintegrasi dengan perusahaan produsen kendaraan bermotor.
Menurut Bhima, pangsa pembiayaan mobil listrik tidak akan terbentuk selama produsen kendaraan bermotor masih memprioritaskan kendaraan berbasis bahan bakar fosil. Selain itu, skema pembiayaan terhadap kendaraan fosil cenderung lebih murah sehingga ceruk bagi kendaraan listrik dipandang kurang menarik.