Kekuatan Serikat Pekerja
Indonesia harus meninggalkan perekonomian ekstraktif dengan buruh murah-rendah keterampilan menuju masyarakat industri.
Sejarah panjang telah membuktikan, buruh menjadi elemen penting dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dalam buku Buruh, Serikat, dan Politik, pada 1920an-1930an, John Ingleson (2015) menyebut bahwa pada 1920-1930 majalah-majalah serikat buruh berperan penting dalam mendorong gagasan tentang Indonesia dan memelihara semangat kemerdekaan.
Bahkan, sejak sebelum kemerdekaan, di kalangan serikat buruh sudah muncul keyakinan kuat bahwa Indonesia harus meninggalkan perekonomian ekstraktif dengan upah buruh murah plus rendah keterampilan menuju masyarakat industri. Caranya, salah satunya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045, Indonesia ditargetkan memiliki pendapatan per kapita setara dengan negara maju atau 30.300 dollar AS pada 2045.
Untuk masuk ke dalam golongan negara berpendapatan tinggi, Bank Dunia mematok gross national income (GNI) per kapita Indonesia harus berada di atas 13.205 dollar AS, atau produk domestik bruto (PDB) per kapita mencapai 14.000 dollar AS. Gaji minimal pekerja di Tanah Air harus setara dengan Rp 10 juta per bulan.
Padahal, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) buruh di tahun 2023 baru mencapai Rp 2,96 juta per bulan. Dengan formulasi penghitungan kenaikan UMP tahun 2023 dan tren kenaikan upah sejak 1997, simulasi yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan pada 2045 rata-rata UMP buruh baru mencapai Rp 6 jutaan.
Aturan upah minimal itu sejatinya dinilai oleh banyak kalangan bukan hal yang fundamental karena itu hanyalah batas bawah upah yang harus diberikan perusahaan/lembaga kepada pekerja lajang yang baru masuk ke dunia kerja(entry level). Jika perusahaan memiliki kinerja dan kondisi keuangan yang baik, sangat dimungkinkan upah pada entry level pun jauh lebih tinggi dari UMP.
Hal itu sejatinya sudah dijalankan oleh banyak perusahaan di Tanah Air meskipun tak dimungkiri banyak pula perusahaan justru menggunakan UMP sebagai acuan pengupahan secara umum hingga kemudian perusahaan diwajibkan memiliki skala upah agar pengupahannya lebih adil.
Baca juga: Satu Dekade, Tren Kenaikan Upah Minimum Buruh Terus Merosot
Oleh karena itu, untuk menjaga atau menaikkan kinerja perusahaan, dibutuhkan kerja sama semua elemen yang bekerja di dalamnya. Jika buruh bekerja dengan semangat, gembira, dan bahagia sehingga banyak memiliki ide-ide baru yang inovatif, kinerja perusahaan pun dipercaya akan membaik.
Studi yang dilakukan Oxford University’s Said Businness School dan British Multinational Telecom BT yang dipublikasikan pada 2019 menunjukkan, 13 persen pekerja lebih produktif ketika dalam kondisi bahagia. Kondisi itu bisa meningkatkan penjualan perusahaan.
Untuk itulah, peran serikat pekerja menjadi penting dalam hubungan industrial. Liputan Kompas terkait kesejahteraan buruh pada pekan lalu menemukan banyak serikat pekerja perusahaan yang memiliki kekuatan dan menjadi pilar yang sangat penting pada hidup perusahaan. Mereka terus melakukan penguatan dan pendampingan pada anggotanya.
Mereka meningkatkan produktivitas anggotanya, memberikan solusi masalah anggotanya, bahkan mengurus kebutuhan keseharian anggotanya, mulai problem keluarga hingga urusan kematian. Hal itu dilakukan untuk mendukung karyawan gembira dalam bekerja sehingga produktivitasnya akan meningkat.
Serikat juga menjadi penjaga utama budaya perusahaan berbasis pada nilai-nilai yang dianut para pendirinya. ”Direktur bisa datang dan pergi, kamilah yang bekerja dan mengawal perusahaan terus menerus sehingga kami harus memelihara ’sawah’ kami ini. Maka, kalau ada manajemen yang langkahnya tidak sesuai dengan kultur perusahaan, kami bisa memecatnya,” ujar Presiden Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel (FSPPG) Djoko Wahyudi, yang mengaku berkali-kali memecat direktur SDM perusahaan.
Baca juga: Dari Mesin Pendingin hingga Teknis Menulis
”Karena mampu membangun kapasitas anggotanya, serikat pekerja sangat dipandang dan dihargai oleh manajemen. Serikat menjadi mitra setara dalam bahu-membahu membangun perusahaan. ”Istilahnya sembada, bisa menunjukkan bahwa bisa, manajemen pun menghargai,” kata Djoko. Adapun pendanaan mereka setiap bulan diambil dari potongan 1 persen gaji anggotanya.
Salah satu yang berhasil mereka lakukan adalah tetap berproduksi di masa pandemi Covid-19, dengan menetapkan standar yang sangat ketat pada proses produksi, di saat perusahaan yang lain tutup. ”Kami menyediakan tukang cukur di pabrik sampai bengkel kendaraan untuk meniminalkan kontak dengan orang luar,” kata Djoko memberi contoh langkahnya. Penanganan yang dilakukan serikat pekerja itu bahkan membuat Organisasi Buruh Internasional (ILO) memilih FSPPG menjadi contoh penanganan Covid-19 yang baik dalam perusahaan, bersama perwakilan dari sejumlah negara.
Permintaan akan produk elektronik yang meledak di masa pandemi Covid-19 dan kemampuan pekerja memenuhinya membuat pekerja memperoleh bonus hingga sembilan kali gaji. Hal itu membuktikan bahwa posisi serikat pekerja sangat penting untuk meningkatkan produktivitas pekerja dan menaikkan kinerja perusahaan.
Hubungan industrial yang kuat itu juga menghasilkan perjanjian kerja bersama (PKB) yang kuat. ”Ketika berbagai aturan pemerintah tentang pengupahan muncul, kami tidak peduli karena PKB kami jauh lebih baik daripada aturan pemerintah,” kata Djoko.
Hubungan itu bisa terjalin baik karena sejak awal ada kesepahaman untuk memajukan perusahaan antara pekerja dan pemilik. Untuk menentukan target perusahaan pun, serikat buruh dilibatkan.
Serikat bahkan memiliki Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK) Teknik Pendingin di lahan yang mereka beli. Ada 8.000 orang yang sudah mereka latih. Mereka masih bercita-cita mempunyai rumah sakit sendiri. ”Bayangkan kalau serikat pekerja di Indonesia ini bisa membangun rumah sakit dan lembaga pendidikannya sendiri, tentu dampaknya luar biasa pada pembangunan bangsa,” katanya.
Studi yang dilakukan Oxford University’s Said Businness School dan British Multinational Telecom BT yang dipublikasikan pada 2019 menunjukkan 13 persen pekerja lebih produktif ketika dalam kondisi bahagia.
Hal ini mengingat kinerja pekerja di Tanah Air masih rendah. Data ILO menunjukkan, setiap satu pekerja di Indonesia tiap jam kerja menyumbang 12,96 dollar AS terhadap PDB pada 2021. Produktivitas pekerja Tanah Air masih berada di bawah Singapura (74,15 dollar AS per orang per jam), Brunei Darussalam (55,92 dollar AS per orang per jam), Malaysia (25,59 dollar AS per orang per jam), dan Thailand (15,06 dollar AS per orang per jam).
Baca juga: Upah Murah Diyakini Bakal Terdongkrak Industrialisasi
Oleh karena itu, menurut Officer Asia Floor Wage Alliance Rizki Estrada, serikat pekerja/buruh juga perlu memiliki kapasitas membaca dan memproyeksikan tren pembangunan jangka panjang. Hal itu akan berguna dalam penyusunan langkah pemberdayaan hingga advokasi kepada anggota serikat, juga memberi masukan kepada pemerintah. Sebagai contoh, dalam isu kenaikan upah minimum yang tergerus, serikat pekerja/buruh bisa menyarankan agar pemerintah menyiapkan skema-skema perlindungan sosial yang tepat.
Pemerintah (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) biasanya menyusun dokumen rencana jangka panjang 20 tahunan, termasuk menyangkut ketenagakerjaan dan industri, yang harus disesuaikan dengan proyeksi keuangan negara. Dari dokumen itu akan diturunkan menjadi rencana strategis kementerian/lembaga. ”Kalangan pebisnis pasti beradaptasi dengan rancangan pemerintah,” katanya.
Mencapai target Indonesia Emas 2045 bukanlah pekerjaan mudah, butuh kerja sama semua elemen. Salah satunya serikat pekerja. Serikat pekerja/buruh bisa menjadi agen peningkatan produktivitas dan kualitas pekerja.