Satu Dekade, Tren Kenaikan Upah Minimum Buruh Terus Merosot
Kenaikan upah buruh terus menurun akibat formula pengupahan yang terus berubah 10 tahun terakhir.
Oleh
MEDIANA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesejahteraan buruh secara umum masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah mendatang. Data yang diolah Litbang Kompas menunjukkan kenaikan upah minimum buruh terus menurun akibat formula pengupahan yang terus berubah dalam satu dekade terakhir. Kondisi ini tidak sebanding dengan biaya hidup yang semakin meningkat.
Pada periode 2015-2024, kenaikan rata-rata upah minimum provinsi (UMP) berkisar 13,1-0,6 persen atau rata-rata 6,6 persen per tahun. Puncak kenaikan pernah terjadi pada 2014 di angka 22,2 persen, kemudian menurun sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 hingga PP Nomor 51/2023 tentang perubahan atas PP Nomor 36/2021 tentang Pengupahan. Terkini, kenaikan rata-rata UMP tahun 2024 hanya 2,4 persen.
Di sisi lain, kinerja industri manufaktur secara umum terus membaik. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kontribusi industri pengolahan pada produk domestik bruto (PDB) naik menjadi 18,67 persen pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 18,34 persen. Adapun proporsi biaya buruh industri manufaktur sepanjang 2016-2022 rata-rata hanya 2,20 persen. Jika ditambah dengan pajak dan tunjangan, jumlahnya tak lebih dari 5 persen.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Garteks KSBSI) Trisnur Priyanto, Senin (29/1/2024), di Jakarta, berpendapat, sejak pemerintah mengganti formula kebutuhan hidup layak (KHL) dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, keberpihakan pemerintah kepada pekerja secara tidak langsung tidak ada lagi. Posisi pekerja dipandang sebatas ”komoditas”, bukan aset sumber daya manusia yang semestinya dijaga dengan baik.
Diketahui, PP 78/2015 menetapkan penghitungan upah didasarkan pada KHL, selain juga komponen variabel produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Adapun PP 51/2023 menetapkan penghitungan kenaikan upah disokong oleh variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu atau alfa yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
”Kebutuhan riil pekerja itu adalah apa yang dikonsumsi setiap hari, mulai dari pangan. Maka, upah yang diterima harus berjalan sejajar dengan kebutuhan riil pekerja,” ujar Trisnur.
Kenaikan upah cenderung kalah cepat dengan kenaikan ongkos biaya hidup. Ketika pekerja tidak bisa menutupi kebutuhan ekonominya, posisi tawar pun akan turun dan berpotensi memengaruhi produktivitas.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, hasil survei KSPI menunjukkan dalam lima tahun terakhir daya beli pekerja turun 30 persen. Ini berarti pekerja harus tombok setiap bulan karena upah yang diterima kurang mencukupi.
Survei KSPI di 25 kabupaten/kota selama dua bulan pada pertengahan 2023 juga menunjukkan harga sejumlah komponen dari 64 komponen hidup layak (KHL) pekerja rata-rata naik 12-16 persen.
Said menduga penurunan kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PBD juga ada kaitannya dengan upah riil dan daya beli pekerja yang turun. Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB pada 2019 mencapai 56,63 persen, 2020 naik ke 57,65 persen, dan 2021 turun ke 54,42 persen.
”Kami juga menduga, pertumbuhan ekonomi yang sekarang ada hanya dinikmati kelas menengah atas,” ujar Said.
Hal itu terlihat dari rasio gini yang angkanya cenderung naik. Sesuai data BPS, per Maret 2023, rasio gini naik ke level 0,388, dari 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Ketimpangan yang menajam terjadi di perkotaan, sedangkan di perdesaan stagnan.
”Kami menyarankan kepada pemerintah agar kenaikan pertumbuhan ekonomi tetap dikejar, dan pada saat bersamaan menurunkan rasio gini. Lalu, formula upah minimum hanya menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara penghitungan upah berkala mempertimbangkan variabel indeks tertentu,” ucap Said.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang juga pakar ketenagakerjaan, Hadi Subhan, menilai, terdapat kesalahan dalam formulasi penghitungan upah yang diatur dalam PP 51 Tahun 2023 yang membuat kenaikan upah terasa rendah.
Menurut dia, rumus minimal upah untuk tahun depan adalah upah tahun ini ditambah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, tanpa perlu adanya komponen alfa. Menurut Hadi, inflasi hakikatnya untuk mempertahankan nilai riilnya. Sementara pertumbuhan ekonomi hakikatnya berbagai kue antara pengusaha dan pekerja.
”Kalau formulasi penghitungan upah saat ini tetap dipertahankan, besaran upah sepuluh tahun lagi tetap akan rendah sekali,” ujarnya.
Selain formulasi penghitungan upah perlu ditinjau kembali, agar besaran upah berdampak pada tingkat kesejahteraan tenaga kerja, diperlukan juga afirmasi dari pemerintah untuk mengurangi pengeluaran dari pekerja, misalnya dengan membangun rusunawa bersubsidi di sentra-sentra industri.
”Daya beli buruh terjaga karena kebutuhan primer sudah ditanggung atau disubsidi. Termasuk juga iuran untuk program jaminan hari tua (JHT) sebaiknya juga tidak ditanggung pekerja dengan penghasilan rendah karena potongan 2 persen saja sangat memengaruhi daya beli,” kata Hadi.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menegaskan, upah minimum adalah kebijakan nasional untuk melindungi pekerja dengan masa kerja satu tahun ke bawah. Kebijakan upah minimum pada masa lalu dengan formula KHL memberi dampak disparitas upah antardaerah sebab formula itu bisa saja subyektif dalam mendefinisikan hidup layak untuk seorang pekerja/buruh di suatu daerah dengan daerah lain.
Disparitas itu membuat investor melirik daerah atau negara lain yang upah minimumnya rendah. Ditambah lagi, demo dan unjuk rasa pekerja sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Kalau formulasi penghitungan upah saat ini tetap dipertahankan, besaran upah sepuluh tahun lagi tetap akan rendah sekali.
Menurut Indah, omnibus law Cipta Kerja melalui peraturan turunannya, yakni PP No 51/2023, mengatur penghitungan upah minimum lebih adil. Harapannya, lanjut dia, hal itu bisa menurunkan disparitas upah minimum antardaerah. ”Formula upah minimum di PP No 51/2023 lebih fair. Akan tetapi, hasilnya baru bisa terlihat 4–5 tahun mendatang,” imbuhnya.
Pelaksana Tugas Harian Ketua Umum Kadin Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, formulasi kenaikan UMP saat ini sudah didesain agar berada di atas inflasi. Namun, untuk menemukan adanya permasalahan upah di sektor ketenagakerjaan, ia menyarankan agar tidak menyamaratakan tiap sektor industri untuk menemukan rata-rata tingkat UMP.
Setiap sektor industri memiliki karakteristik, potensi, dan ketahanan yang berbeda-beda. Kondisi itu akan memengaruhi besaran kenaikan upah tenaga kerja yang berbeda-beda antarsektor. Pengupahan dapat disebut bermasalah apabila ada sebuah sektor industri yang sedang ekspansif, tetapi tingkat kenaikan upah tenaga kerja di sektor tersebut melandai.
Terlepas dari itu, Kadin mencatat, pada tahun 2023 lalu produktivitas tenaga kerja per jam Indonesia masih berada di bawah rata-rata produktivitas negara berkembang, di antaranya Malaysia dan Thailand, bahkan Vietnam.
”Pengusaha tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya tenaga kerja. Tenaga kerja pun, sebaliknya, tidak bisa juga berjalan sendiri. Kita harus temukan titik tengahnya dan payung hukum saat ini sebenarnya sudah cukup baik untuk mengakomodasi itu,” ujarnya.
Deputi Bidang Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin mengatakan, adanya digitalisasi dan hilirisasi akan mengubah peta ekosistem ketenagakerjaan Indonesia.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah dalam lima tahun ke depan, sebesar 23 persen pekerjaan akan berubah. Banyak pekerjaan akan hilang, tetapi akan banyak lapangan pekerjaan baru yang bermunculan karena automasi dan digitalisasi.