Dengan kekayaan keanekaragaman hayati dan budaya, Indonesia punya potensi besar di industri obat bahan baku alami.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Fitofarmaka atau obat berbahan baku alami/herbal diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan bahan impor dalam industri farmasi tanah air. Potensinya sangat besar, mengingat Indonesia punya kekayaan sumber daya alam dan tradisi pengobatan tradisional. Hanya saja, perlu riset dan pengembangan lebih lanjut serta standarisasi uji klinis agar obat bahan baku alami ini bisa juga jadi alternatif bahan baku obat manufaktur farmasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Biofarmasi & Bahan Baku Obat Irfat Hista Saputra mengatakan, fitofarmaka punya potensi yang sangat besar untuk jadi salah satu substitusi impor bahan baku industri manufaktur farmasi tanah air. Sebab, Indonesia punya banyak sekali kekayaan sumber daya alam dan tradisi pengobatan tradisional. Apalagi saat ini sekitar 90-95 persen bahan baku industri farmasi masih berasal dari impor.
Masyarakat Indonesia pun, lanjut Irfat, sudah familiar dengan berbagai obat bahan baku alam. Seperti jamu misalnya yang rutin diminum banyak orang.
“Seperti halnya, Korea Selatan yang terkenal dengan gingsengnya sebagai obat bahan alami. Selain itu juga China yang juga tenar dengan istilah Traditional Chinese Medicine, Indonesia juga punya potensi seperti ini,” ujar Irfat dihubungi Jumat (9/2/2024).
Saat ini, memang obat bahan baku alami masih belum banyak terserap jadi bahan baku obat industri manufaktur. Namun, bukan tidak mungkin, dengan riset dan pengembangan lebih lanjut serta ditopang standarisasi mutu dan uji medis, obat bahan baku alami ini bisa menjadi bahan baku industri farmasi.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, industri obat bahan alam atau obat tradisional memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan. Apalagi Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman hayati sumber daya alam termasuk tanaman obat.
Ia menambahkan, kemandirian bahan baku obat berbasis bahan alam asli Indonesia telah menjadi amanat dari beberapa peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Regulasi ini di antaranya tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Nasional, Rencana Induk Riset Nasional, dan Instruksi Presiden No.6 Tahun 2016 tentang Percepatan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang menempatkan pengembangan obat berbasis bahan alam sebagai salah satu pilar untuk penguatan industri farmasi di Indonesia.
Saat ini, terdapat beberapa komponen perusahaan industri obat bahan alam di Indonesia, yaitu Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA), dan Industri Obat Tradisional (IOT), yang telah menghasilkan 17.000 obat bahan alam golongan jamu, 79 jenis obat herbal terstandar dan 22 jenis fitofarmaka.
“Kementerian Perindustrian terus mendorong dan melakukan pembinaan agar industri kecil dapat naik kelas sehingga produksi obat bahan alam dapat ditingkatkan terutama fitofarmaka. Ini berpotensi besar untuk menjadi substitusi bahan baku obat impor dalam menuju kemandirian bahan baku obat nasional,” ujar Agus, Selasa lalu.
Kinerja ekspor
Agus menambahkan, industri kimia, farmasi dan obat tradisional terbukti menjadi salah satu sektor penyumbang devisa yang signikan. Pada tahun 2023, nilai ekspor untuk produk industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional mencapai peningkatan sebesar 8,78 persen dibanding tahun 2022 dengan nilai ekspor sebesar 543,7 juta dollar AS.
“Untuk pasar obat bahan alam dunia pada tahun 2023 mencapai USD200,95 miliar, dan diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karenanya, pengembangan industri obat bahan alam perlu terus ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar global,” ungkap Agus.
Ketua Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) Dwi Ranny Pertiwi Zarman menyambut baik perhatian pemerintah terhadap industri obat bahan baku alami. Salah satunya ditunjukan dengan pengoperasian fasilitas produksi obat bahan baku alami di Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri Kimia, Farmasi, dan Kemasan (BBSPJIKFK) Jakarta.
Apalagi setelah adanya pengakuan UNESCO untuk jamu, diharapkan fasilitas ini dapat dipergunakan oleh industri jamu di Indonesia. Dengan demikian jamu dapat lebih cepat mendunia dengan produk produk unggulannya.