Keragaman Hayati Tinggi, Optimalkan Pemanfaatan Ekstrak Bahan Alam
Tanaman obat dan rempah di Indonesia berlimpah, tetapi pemanfaatannya belum optimal. Pemerintah dan industri pun bekerja sama mengembangkan pemanfaatannya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Pembeli memilih jahe merah dan temu lawak di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Rabu (4/3/2020). Sejak dua hari terakhir ini harga dua komoditas tersebut naik tajam karena dianggap dapat menangkal virus korona baru. Harga jahe merah yang sebelumnya Rp 35.000 per kilogram naik menjadi Rp 70.000 per kg. Begitu juga dengan temulawak, harganya naik dari Rp 25.000 per kg menjadi Rp 40.000 per kg.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki banyak bahan alam yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku fitofarmaka, jamu, makanan, hingga obat tradisional. Namun, pemanfaatan bahan alam tak optimal karena belum banyak pihak mampu mengolahnya menjadi ekstrak. Untuk itu, pemerintah dan pelaku industri berkolaborasi untuk mengembangkan industri ekstrak bahan alam.
”Ada puluhan ribu tanaman obat yang perlu terus kita kembangkan. Ada beberapa, bahkan banyak, yang menjadi produk berbahan alam dalam bentuk jamu, obat herbal terstandar, kemudian dikembangkan lagi dengan hilirisasi dan uji klinis menjadi obat bahan alam,” ucap Ketua Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito di Jakarta, Kamis (27/7/2023).
Menurut Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) 2017 yang dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan, di Indonesia ada 11.218 tanaman obat. Sebanyak 9.516 tanaman telah teridentifikasi.
Ada puluhan ribu tanaman obat yang perlu terus kita kembangkan. Ada beberapa, bahkan banyak, yang menjadi produk berbahan alam dalam bentuk jamu, obat herbal terstandar, kemudian dikembangkan lagi jadi obat bahan alam.
Ristoja 2017 juga mencatat ada 6.193 ramuan tanaman obat. Tanaman yang paling banyak digunakan dalam ramuan adalah kunyit (371 ramuan), jahe (261 ramuan), jambu biji (183 ramuan), sirih (177 ramuan), dan mengkudu (145 ramuan). Sementara BPOM mencatat ada 15.000 produk obat tradisional, 81 obat herbal terstandar, dan 22 fitofarmaka.
Pengobatan tradisional pun masih dimanfaatkan sebagian masyarakat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, sebanyak 48 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi ramuan jadi dan 31,8 persen rumah tangga memanfaatkan ramuan buatan sendiri.
Pemerintah berencana mempercepat pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
Untuk itu Badan POM menggandeng industri ekstrak bahan alam untuk memperluas distribusi ekstrak tanaman obat ke publik. Publik dapat mengakses pasar daring airindo.org untuk membeli ekstrak tanaman yang telah bersertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Ekstrak tanaman tersebut hasil produksi delapan industri yang tergabung dalam Asosiasi Industri Ekstrak Bahan Alam dan Rempah Indonesia (Airindo).
”Ini tantangan bagi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) untuk (mengakses) bahan baku dengan jumlah yang tidak terlampau besar, harganya terjangkau, tetapi kualitasnya baik,” kata Ketua Umum Airindo Patrick A Kalona. Platform ini bertujuan untuk memfasilitasi kebutuhan UMKM atau perusahaan-perusahaan kecil.
Menurut Direktur PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul (Tbk) Irwan Hidayat, Indonesia kaya akan bahan alam, tetapi pihak yang memprosesnya menjadi ekstrak masih minim. Padahal, ekstrak bahan alam dibutuhkan industri, antara lain untuk produksi fitofarmaka, obat tradisional, jamu, makanan, dan kosmetik.
Selain itu, bahan alam seperti tanaman obat dan rempah belum sepenuhnya melalui hilirisasi sehingga minim nilai tambah. Selain meningkatkan nilai tambah, hilirisasi dapat memperpanjang usia bahan alam dan menjaga nilai bahan itu. ”Harga cabai, misalnya, jatuh saat musim panen dan harganya tinggi sekali saat musim paceklik. Lalu, misalnya ekstrak bawang putih. Ini (bawang putih) bisa diawetkan sehingga tahan lama dan harganya stabil,” ucap Irwan.
Petani jahe dan temulawak Adi Suleman mengutarakan, petani mesti menjaga kualitas tanaman yang jadi bahan baku ekstrak bahan alam. Hal ini mulai dari pembibitan, penanaman, pengeringan, hingga penyimpanan bahan baku. ”Kualitas ekstrak yang dihasilkan industri sangat dipengaruhi bahan bakunya. Jika hasil panen bagus, tetapi penyimpanannya tidak baik, maka (bahan) bisa berkutu dan berjamur. Jika sudah seperti itu, industri biasanya menolak,” tuturnya.
Adapun Penny menekankan, ekstrak bahan alam yang digunakan untuk produksi mesti terjamin keamanan dan kualitasnya. Karena itu, BPOM akan mengawal kualitas ekstrak bahan alam yang beredar di pasar.
Ia juga mengingatkan agar ekstrak bahan alam mesti murni, tidak boleh ada kontaminasi. Hal ini hasil refleksi kasus cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada bahan baku pembuatan obat sirop. Kasus yang mencuat pada 2022 ini menyebabkan ratusan anak mengalami gangguan ginjal, bahkan meninggal.
Nasifa (3) meronta saat perawat memasukkan selang nasogastric tube ke lambung anak itu lewat hidung, Rabu (14/6/2023).
Ia juga mengingatkan bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia sama sekali. Obat seperti ini bisa membahayakan konsumen. Sebab, obat bahan kimia mesti diminum dengan anjuran dokter. Jika dikonsumsi terus-menerus, obat bisa menyebabkan kerusakan organ tubuh.