Cristiano Ronaldo dan Industri Manufaktur Tanah Air
Industri manufaktur masih di bawah potensinya. Tanpa akselerasi, industri ini tak akan mampu membawa Indonesia maju.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Apa yang terjadi dengan industri manufaktur Indonesia selama bertahun-tahun barangkali bisa dianalogikan dengan Cristiano Ronaldo setelah tidak lagi bermain di Real Madrid. Kok, bisa? Apa maksudnya?
Baiklah kita mulai dulu dari Ronaldo. Pada pertengahan 2021, pelatih sepak bola kawakan Eropa, Jose Mourinho, menyindir klub sepak bola Italia, Juventus, yang tidak mampu mengoptimalkan keberadaan Ronaldo di tim untuk mencapai prestasi tertinggi di Eropa. Juventus dengan Ronaldo di tim saat itu gagal menyabet trofi Liga Champions Eropa.
”Mereka (Juventus) punya ’nuklir’, tetapi tidak tahu cara menggunakannya,” ujar Mourinho kala itu. Setelah angkat koper dari Kota Turin, Ronaldo pindah ke Manchester United (MU). Serupa dengan Juventus, MU juga ternyata tidak bisa mengoptimalkan Ronaldo untuk membawa mereka kembali menjadi tim disegani di Eropa.
Mereka punya ’nuklir’ tapi tidak tahu cara menggunakannya.
Ronaldo adalah salah satu pesepak bola terbaik dunia yang pernah ada. Dengan kemampuannya, Ronaldo selalu menempatkan diri sebagai kontributor terbanyak urusan gol untuk timnya.
Lantas, apa hubungannya Ronaldo dengan industri manufaktur di Indonesia? Selama bertahun-tahun, industri manufaktur menjadi sektor dengan kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Namun, banyak yang belum optimal dari industri ini.
Medioker
Pada 2023, data Kementerian Perindustrian mencatat, sektor industri manufaktur menyerap 19,29 juta pekerja. Artinya, sektor industri manufaktur berkontribusi 13,79 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada 2023 sebanyak 139,85 juta orang. Serapan tenaga kerja sektor manufaktur masih di bawah pertanian dan perdagangan.
Pertumbuhan industri manufaktur jarang sekali melampaui angka pertumbuhan ekonomi nasional. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 13 tahun terakhir, sejak 2011 hingga 2023, tercatat hanya sekali pertumbuhan industri manufaktur lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Ini terjadi pada 2011.
Selama 12 tahun berikutnya, pertumbuhan industri manufaktur selalu lebih rendah ketimbang pertumbuhan ekonomi.
Saat itu, pertumbuhan industri manufaktur mencapai 6,26 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,17 persen. Itulah kali terakhir pertumbuhan industri manufaktur lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi.
Selama 12 tahun terakhir, pertumbuhan industri manufaktur selalu lebih rendah ketimbang pertumbuhan ekonomi. Data 2023 menunjukkan, pertumbuhan industri manufaktur mencapai 4,64 persen, di bawah pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 5,05 persen.
Catatan lainnya adalah bahwa kontribusi industri manufaktur terhadap PDB menyusut. Pada 2011, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB masih sebesar 21,76 persen. Namun, pada 2023 sumbangannya menyusut menjadi hanya 19 persen.
Impian negara maju
Mengutip dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia memiliki impian menjadi negara maju pada 2045.
Saat itu, Indonesia ditargetkan memiliki pendapatan per kapita sebesar 30.300 dollar AS. Menurut standar Bank Dunia pada 2022, sebuah negara disebut negara maju apabila pendapatan per kapitanya mencapai 13.800 dollar AS. Pada 2022, pendapatan per kapita Indonesia adalah 4.589 dollar AS per kapita.
Pertumbuhan ekonomi ditargetkan 7 persen per tahun dengan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mencapai 28 persen.
Ini dengan asumsi bahwa pada 2045 Indonesia mencatatkan PDB sebesar 9,8 triliun dollar AS. Adapun pertumbuhan ekonominya ditargetkan 7 persen per tahun dengan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mencapai 28 persen.
Belajar dari resep negara-negara kaya yang sukses naik kelas dari level pendapatan menengah ke tinggi, industri manufaktur selalu menjadi tulang punggung ekonomi. Korea Selatan, misalnya, berhasil menjadi negara maju karena kontribusi sektor manufakturnya yang terus meningkat.
Mengutip data Bank Dunia, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB di Negeri Gingseng itu sejak 2012 hingga 2022 berkisar 25-28 persen dari PDB. Jauh sebelumnya, pada periode 1960-an hingga 1990-an, Korea Selatan serius menggenjot industrialisasinya. Alhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB terus meroket, dari 11 persen pada 1960 menjadi 25 persen pada 1990.
Oleh sebab itu, perlu ada pembenahan serius di industri manufaktur. Dari sisi kelembagaan, banyaknya aturan tumpang tindih di kementerian dan lembaga membuat berbagai subsektor industri tidak bisa bergerak lincah.
Dari aspek pelaku industrinya sendiri, perlu peningkatan kapasitas dan produktivitas sumber daya manusia dan pembaruan teknologi untuk mendukung operasional. Dengan tenaga kerja yang makin berkualitas dan ditopang mesin tercanggih, produktivitas dan efisiensi bisa diciptakan.
Dengan modal kekayaan sumber daya alam, Indonesia perlu makin gencar mendorong hilirisasi di berbagai sektor. Tak hanya hilirisasi mineral tambang, tetapi juga pertanian, perikanan, perkebunan, dan lain-lainnya. Tujuannya adalah agar produk ekspor Indonesia sudah melalui pengolahan sehingga memberi nilai tambah kepada perekonomian nasional.
Akselerasi industri manufaktur adalah kunci memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada akhirnya membawa Nusantara menjadi negara maju. Namun, layaknya situasi Ronaldo, ini semua bergantung pada visi dan orkestrasi yang efektif dan efisien.