Beras Picu Inflasi Selama Enam Bulan Berturut-turut
Kenaikan harga beras telah memicu inflasi sejak Agustus 2023 hingga Januari 2024.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga beras yang masih bertahan tinggi, bahkan cenderung naik lagi, telah memicu inflasi selama enam bulan berturut-turut. Bantuan dan intervensi pasar beras serta gerakan pangan murah hanya mampu meredam harga tidak semakin melonjak tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (1/2/2024), merilis, tingkat inflasi pada Januari 2024 sebesar 0,04 persen secara bulanan dan 2,56 persen secara tahunan. Beras menjadi salah satu komoditas utama penyumbang inflasi.
Tingkat inflasi bulanan dan tahunan beras pada Januari 2024 masing-masing sebesar 0,64 persen dan 15,65 persen. Andil komoditas pangan pokok itu terhadap inflasi bulanan sebesar 0,03 persen dan inflasi tahunan 0,56 persen.
Inflasi beras itu terjadi sejak Agustus 2023, yakni sebesar 1,43 persen secara bulanan. Pada September 2023, inflasi beras berada di level tertinggi, yakni 5,61 persen. Kemudian pada Oktober, November, dan Desember 2023, tingkat inflasinya masing-masing 1,72 persen, 0,43 persen, dan 0,48 persen.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, beras mengalami inflasi lantaran harganya masih tinggi dan naik secara bulanan dan tahunan. Beras di tingkat eceran, misalnya, harga rerata nasional pada Januari 2024 sebesar Rp 14.380 per kilogram atau naik 0,63 persen secara bulanan dan 16,24 persen secara tahunan.
”Harga beras masih tinggi karena neraca produksi dan kebutuhan beras di dalam negeri defisit, terutama pada Januari-Februari 2024, akibat dampak El Nino yang berkepanjangan. Selain itu, sejumlah negara produsen beras masih membatasi ekspor beras sehingga menghambat impor beras dan membuat harga beras internasional masih tinggi,” ujarnya.
Tingkat inflasi bulanan dan tahunan beras pada Januari 2024 masing-masing sebesar 0,64 persen dan 15,65 persen.
Konsumsi beras nasional per bulan rata-rata sebanyak 2,5 juta ton per bulan. Di tengah defisit beras, kebutuhan beras nasional membengkak lantaran pemerintah akan menggulirkan bantuan beras sebanyak 10 kg per bulan bagi 22 juta rumah tangga berpenghasilan rendah. Total bantuan beras yang akan digulirkan pada Januari-Juni 2024 tersebut sekitar 1,32 juta ton.
Bantuan diberikan untuk meringankan beban pengeluaran masyarakat berpenghasilan rendah di tengah masih tingginya harga beras. Selain itu, pemerintah juga akan menggulirkan cadangan beras pemerintah (CBP) untuk mengintervensi pasar beras dengan target sebanyak 1,2 juta ton per tahun.
Per akhir Januari 2024, CBP yang dikelola Perum Bulog sebanyak 1,4 juta ton. Untuk menambah CBP tersebut, pemerintah meminta Bulog mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini. Sebanyak 500.000 ton beras impor itu ditargetkan masuk Indonesia sebelum panen raya padi.
Di Klaten, Jawa Tengah, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menuturkan, pemerintah terpaksa mengimpor beras karena produksi beras nasional turun akibat dampak El Nino. Impor beras akan dihentikan pada Meret 2024 atau menjelang panen raya padi yang diperkirakan berlangsung pada April 2024.
”Saat ini, dana yang dibutuhkan untuk mengimpor 2 juta ton beras sebesar Rp 20 triliun. Agar kegiatan perekonomian nasional, terutama di desa-desa, semakin menggeliat, pemerintah akan memperkuat CBP yang bersumber dari dalam negeri,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta.
Arief juga menyatakan, bantuan dan intervensi harga beras mampu meredam harga beras naik lebih tinggi. Saat ini, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani di kisaran Rp 7.000-Rp 8.000 per kg. Kalau gabah itu dijadikan beras, serta tanpa ada bantuan dan intervensi harga beras, harga beras bisa di atas Rp 18.000-Rp 20.000 per kg.
Nilai tukar petani
Kenaikan harga beras dan gabah juga berpengaruh pada nilai tukar petani (NTP), terutama tanaman pangan. BPS mencatat, NTP tanaman pangan pada Januari 2024 sebesar 116,16, naik 1,66 persen secara bulanan.
Pendapatan petani padi yang tecermin dalam indeks harga yang diterima petani padi naik 1,92 persen dari 137,75 menjadi 140. Faktor utama yang mendorong peningkatan indeks itu adalah kenaikan harga GKP di tingkat petani. Pada Januari 2024, harga rerata GKP di tingkat petani Rp 6.925 per kg, naik 2,97 persen secara bulanan dan 18,64 persen secara tahunan.
Pendapatan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran petani yang tecermin dalam indeks harga yang dibayar petani. Indeks tersebut naik 0,25 persen dari 119,09 pada Desember 2023 menjadi 119,39 pada Januari 2024.
Amalia menjelaskan, kenaikan indeks yang dibayar petani itu dipengaruhi kenaikan indeks konsumsi rumah tangga serta indeks kelompok biaya produksi dan penambahan barang modal masing-masing sebesar 0,15 persen dan 0,5 persen.
”Beras merupakan salah satu komoditas yang memengaruhi indeks yang dibayar petani tersebut,” katanya.
Kenaikan NTP tanaman pangan itu menunjukkan masuknya beras impor tidak ’memukul’ harga gabah di tingkat petani.
Menurut Arief, kenaikan NTP tanaman pangan itu membuktikan petani turut menikmati kenaikan harga gabah dan beras. Hal itu juga menunjukkan masuknya beras impor tidak ”memukul” harga gabah di tingkat petani. Apalagi, saat ini harga GKP di tingkat petani cukup tinggi, yakni Rp 7.000 per kg hingga Rp 8.000 per kg.
”Kendati begitu, pemerintah tetap akan menjaga harga gabah petani tidak turun terlalu dalam saat panen raya padi nanti dengan menghentikan impor beras,” katanya.