Hati-hati Tentukan HET Beras dan Harga Acuan Gula Baru
Ada andil pemerintah terhadap kenaikan harga beras dan gula pada awal tahun ini.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu berhati-hati menyesuaikan harga eceran tertinggi beras dan harga acuan penjualan gula pasir di tingkat konsumen yang baru. Harga gabah kering di tingkat petani dan daya beli masyarakat perlu dipertimbangkan. Selain itu, ada faktor lain di luar penurunan produksi, serta kenaikan biaya produksi dan distribusi, yang menyebabkan harga kedua komoditas itu naik.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, Rabu (31/1/2024), mengatakan, sebenarnya keseimbangan harga beras telah terbentuk pada awal tahun ini. Untuk harga beras medium rata-rata Rp 13.000 per kilogram (kg), sedangkan beras premium Rp 15.000 per kg.
Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Januari 2024 juga di atas Rp 7.000 per kg, bahkan tembus 8.000 per kg. Seiring dengan panen raya padi dan impor beras nanti, harga GKP diperkirakan bisa turun di kisaran Rp 6.000-Rp 7.000 per kg.
”Jika benar harga eceran tertinggi (HET) beras akan dievaluasi, harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani, yakni Rp 5.000 per kg, juga harus dievaluasi. Jangan sampai pelaku usaha perberasan menikmati harga tinggi, tetapi petani justru tidak merasakannya,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Jangan sampai pelaku usaha perberasan menikmati harga tinggi, tetapi petani justru tidak merasakannya.
Pernyataan itu terkait dengan usulan Deputi III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden Edy Priyono tentang perlunya mengkaji kembali HET beras dan HAP gula konsumsi di tingkat konsumen. Untuk beras, kajian HET bisa dilakukan saat panen raya padi pada April 2024.
Kajian itu diperlukan lantaran harga beras dan gula pada awal tahun ini masih tinggi bahkan cenderung naik. Kenaikan harga itu bisa jadi disebabkan oleh kenaikan biaya produksi (Kompas, 29/1/2024).
Baca juga: HET Beras dan Harga Acuan Gula Akan Dievaluasi Lagi
Menurut Dwi, harga beras yang terbentuk itu tidak hanya dipengaruhi penurunan produksi, serta kenaikan biaya produksi dan distribusi. Cara berkomunikasi pemerintah yang salah juga turut andil mengerek harga beras.
Selama ini, pemerintah selalu menggaungkan defisit beras agar impor 2 juta ton beras tahun ini tetap berjalan. Sementara stok beras nasional pada awal tahun ini kurang dikomunikasikan dengan baik.
”Pasar jadi terpengaruh. Harga beras yang mulai sedikit turun pada tahun lalu menjadi naik kembali,” katanya.
Dwi menjelaskan, berdasarkan Prognosa Neraca Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), stok beras akhir tahun lalu yang dijadikan stok awal tahun ini sebanyak 7,4 juta ton. Stok itu berada di penggilingan padi, Bulog dan ID Food, distributor, pedagang, serta masyarakat.
Stok beras awal tahun versi Bapanas itu lebih banyak ketimbang hasil penghitungannya yang sebanyak 6,4 juta ton. Dengan stok itu, seharusnya defisit produksi beras sebanyak 2,8 juta ton pada Januari-Februari 2024 masih bisa teratasi.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Bapanas, per 31 Januari 2024, harga rerata nasional beras medium Rp 13.490 per kilogram (kg), naik 14,4 persen secara tahunan. Harga tersebut di atas harga rerata nasional tertinggi beras medium tahun lalu yang terjadi pada Oktober, yakni Rp 13.210 per kg.
Harga beras medium itu juga di atas HET yang ditetapkan pemerintah Rp 10.900-Rp 11.800 per kg berdasarkan zonasi. Harga rerata nasional beras medium itu bertahan tinggi di kisaran Rp 13.000-Rp 13.500 per kg sejak Oktober 2023 hingga 31 Januari 2024.
Baca juga: Harga Beras Naik Lagi di Atas Harga Tahun Lalu
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, pemerintah telah berupaya menekan kenaikan harga beras dengan menggelontorkan cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog ke pasar. Jumlah beras untuk stabilisasi harga itu juga nanti akan digandakan pada Januari-Februari 2024 sesuai permintaan Presiden Joko Widodo.
Selain itu, pemerintah juga telah memberikan bantuan beras kepada keluarga berpenghasilan rendah pada tahun lalu. Pada tahun ini, bantuan beras sebanyak 10 kg per bulan untuk setiap keluarga penerima manfaat juga dilanjutkan, yakni pada Januari-Maret 2024 dan April-Juni 2024.
”Dari hasil pertemuan dengan pelaku penggiling padi, harga gabah saat ini sangat tinggi, bisa di atas Rp 8.000 per kg. Kalau gabah itu dijadikan beras, serta tanpa ada bantuan dan stabilisasi harga beras, harga beras bisa di atas Rp 18.000-Rp 20.000 per kg,” ujarnya.
Harga gabah saat ini sangat tinggi, bisa mencapai di atas Rp 8.000 per kg.
Minim intervensi
Sementara itu, Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Yadi Yusriyadi berpendapat, rencana penyesuaian HAP gula di tingkat konsumen juga perlu diikuti dengan penyesuaian harga acuan pembelian gula di tingkat petani. Pada tahun lalu, pemerintah telah dua kali menaikkan HAP gula di tingkat konsumen, sedangkan harga acuan pembelian gula petani hanya dinaikkan sekali.
”Selain itu, kondisi daya beli masyarakat, baik rumah tangga maupun pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, juga perlu dipertimbangkan. Selama ini, mereka juga menanggung beban kenaikan harga bahan pangan pokok dan bahan baku selain gula,” katanya.
Baca juga: Beban Pemerintah Jaga Inflasi dan Daya Beli Tambah Berat
Panel Harga Pangan Bapanas menunjukkan, per 31 Januari 2023, harga rerata gula pasir atau konsumsi di tingkat eceran Rp 17.440 per kg, naik 17,78 persen secara tahunan. Sejak Oktober 2023 hingga 31 Januari 2024, harga rerata gula pasir naik terus dari Rp 15.560 per kg menjadi Rp 17.440 per kg.
Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan HAP gula pasir di tingkat konsumen pada Oktober 2023 menjadi Rp 16.000-Rp 17.000 per kg dari Rp 14.500-Rp 15.500 per kg pada Agustus 2023. Koreksi ke atas HAP gula di tingkat konsumen itu mempertimbangkan kenaikan harga gula dunia. Namun, harga acuan pembelian gula di tingkat produsen masih Rp 12.500 per kg sejak ditetapkan pada Agustus 2024.
Yadi juga menjelaskan, penurunan produksi gula nasional pada tahun lalu menjadi penyebab utama kenaikan harga gula. Kenaikan harga gula itu berlanjut dari Oktober tahun lalu hingga Januari tahun ini lantaran pemerintah minim mengintervensi pasar gula.
Stok gula yang dimiliki pemerintah untuk mengintervensi pasar sangat terbatas. Hal itu terjadi lantaran realisasi impor gula mentah dan gula konsumsi yang ditugaskan pemerintah kepada sejumlah perusahaan swasta dan milik negara pada tahun lalu tidak optimal.
Kenaikan harga gula itu berlanjut dari Oktober tahun lalu hingga Januari tahun ini lantaran pemerintah minim mengintervensi pasar gula.
Baca juga: Impor Gula Cadangan Pemerintah Baru Terealisasi 24,69 Persen
Yadi memperkirakan, harga gula pada tahun ini akan terus naik karena musim giling tebu baru akan berlangsung pada Mei 2024. Kenaikan harga gula juga bakal dipengaruhi peningkatan permintaan pada periode Ramadhan-Lebaran yang akan berlangsung pada Maret-April 2024.
Selain itu, produksi tebu dan gula pada tahun ini juga diperkirakan lebih rendah dari tahun lalu. Produksi gula pada tahun lalu sebanyak 2,27 juta ton, sedangkan tahun ini diperkirakan hanya sekitar 2 juta ton.
”Tanpa ada intervensi pasar dari pemerintah, kenaikan harga gula pasir pada tahun ini bisa terus berlanjut. Harganya bisa tembus Rp 18.000-Rp 20.000 per kg,” kata Yadi.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga gula, tambah Yadi, pemerintah perlu merealisasikan impor gula pada tahun ini guna mengintervensi pasar gula. Namun, realisasi impor itu harus terukur, yakni sesuai kebutuhan dan tidak didatangkan selama musim giling tebu berlangsung.
Pada tahun ini, pemerintah akan mengimpor gula untuk cadangan gula pemerintah sebanyak 708.609 ton. Jumlah itu terdiri dari impor gula mentah sebanyak 548.609 ton dan gula konsumsi 160.000 ton. Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan kuota impor gula mentah untuk bahan baku industri gula rafinasi sebanyak 4,77 juta ton.
Baca juga: Harga Gula Bisa Tembus Rp 18.000-Rp 20.000 Per Kilogram pada 2024