Nikel, LFP, dan Eksplorasi Litium di Bledug Kuwu Grobogan
Badan Geologi telah mengidentifikasi sejumlah lokasi berpotensi litium, di antaranya di Bledug Kuwu, Grobogan, Jateng.
Kabar ditinggalkannya baterai kendaraan listrik berbahan baku nikel dan berkembangnya baterai lithium ferro-phosphate atau LFP berembus kencang pascadebat keempat Pemilihan Presiden pada Minggu (21/1/2024). Terlebih, harga nikel menunjukkan tren penurunan. Namun, kalangan pengamat menilai kedua teknologi berpotensi sama-sama berkembang.
Selama ini, Indonesia telah banyak memproduksi produk turunan nikel, seperti feronikel, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte, yang diarahkan menjadi baja nirkarat (stainless steel). Namun, pemerintah mulai mengarahkan pada jalur berbeda. Bijih nikel bisa diolah untuk dijadikan mixed hidroxyde precipitate (MHP), untuk kemudian diolah lagi menjadi nikel sulfat dan kobal sulfat, yang nantinya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dari nikel itu salah satunya ialah nickel manganese cobalt (NMC). Di sisi lain, saat ini juga berkembang LFP. Dengan biaya lebih tinggi ketimbang LFP, NMC memiliki keunggulan, antara lain, jarak tempuh yang lebih tinggi dan kapasitas yang lebih besar. Umur baterai LFP lebih panjang dari NMC. Harga LFP juga lebih murah 20-30 persen dari NMC.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli berpendapat, ke depan, teknologi akan terus berkembang. Semua jenis baterai pun memiliki plus minusnya.
”LFP memang lebih murah, tetapi masih ada isu di recycle-nya. Dia kurang ekonomis. Negara-negara di Eropa dan AS kurang tertarik, tetapi di China berkembang pesat,” kata Rizal, akhir pekan lalu.
Menurut dia, jika satu jenis baterai berkembang, bukan berarti jenis lainnya tergantikan. Namun, jenis-jenis baterai yang ada akan sama-sama berkembang. Bahkan, bisa jadi ke depan juga baterai karbon ganda juga berkembang, yang juga bakal memengaruhi harga kendaraan listrik.
Analis Industri dan Regional PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Ahmad Zuhdi Dwi Kusuma mengatakan, dengan harga yang lebih murah dari baterai nikel saat ini, tren penggunaan LFP diperkirakan akan tinggi. Namun, itu bukan berarti nikel akan ditinggalkan.
Hingga saat ini, nikel masih dianggap lebih unggul untuk memproduksi baterai listrik yang digunakan dalam perakitan mobil listrik bagi pasar kelas atas. Baterai yang menggunakan nikel diandalkan karena densitas energinya memberi rangka jarak tempuh tinggi. Adapun LFP diandalkan untuk perakitan mobil listrik bagi pasar kelas menengah dengan harga yang lebih murah.
Baca juga: Baterai Litium yang Bisa Terisi dalam Hitungan Menit Dikembangkan
Akan tetapi, menurut Zuhdi, pemerintah semestinya tetap tegas dengan wacana memberlakukan moratorium untuk smelter pengolahan nikel setengah jadi atau produk antara, khususnya untuk produk nikel kelas dua seperti feronikel dan NPI. ”Pemerintah perlu punya komitmen tegas terkait arah pengembangan nikel ini,” ujar Zuhdi.
Masih yakin
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menilai kondisi tren penurunan harga nikel dunia saat ini tak berdampak pada prospek pengembangan hilirisasi dalam negeri. Di tengah tren penggunaan LFP sebagai bahan baku baterai listrik, produsen juga masih memakai nikel sebagai bahan baku utama baterai listrik NMC.
Ia memaparkan, setidaknya ada sembilan produsen baterai kendaraan listrik dunia yang masih memakai baterai NMC, yaitu CATL (China), LG Energy Solution (Korea), Samsung SDI (Korea), SK Innovation (Korea), Envision (Eropa), Northvolt (Eropa), Farasis (AS), Verkor (Eropa), dan Powerco (Eropa). Baterai NMC masih dipakai untuk pabrikan mobil Tesla, Hyundai, VW, Ford, Volvo, dan BMW.
Sementara itu, produsen baterai yang menggunakan LFP jumlahnya lebih sedikit, seperti BYD (China), CATL (China), Gotion (AS), SK Innovation (Korea), dan beberapa produsen baterai China lainnya. Baterai LFP tersebut digunakan untuk produksi mobil listrik BYD, Wuling, Chery, Tesla (khusus China), dan Ford.
Indonesia pun masih mengembangkan ekosistem baterai kendaraan listrik terintegrasi berbasis nikel dengan total investasi senilai 42 miliar dollar AS atau Rp 630 triliun. Investasi itu, antara lain, datang dari LG (9,8 miliar dollar AS), CATL (5,2 miliar dollar AS), Foxconn (8 miliar dollar AS), Indo-pacific Net-Zero Battery Materials Consortium atau INBC (9 miliar dollar AS), BASF (2,2-2,5 miliar dollar AS), Ford (4,5 miliar dollar AS), dan VW (2-3 miliar dollar AS).
Dalam waktu dekat, kata Bahlil, CATL akan membangun ekosistem baterai listrik hulu ke hilir di Indonesia lewat kerja sama dengan BUMN, mulai dari penambangan, smelter, prekursor, katoda, baterai sel, hingga pabrik recycle. Adapun LG akan membangun ekosistem hulu-hilir, dengan produksi baterai listrik selambatnya Mei 2024 untuk kapasitas 10 gigawatt jam (gWh) pertama.
”Saya cek, investasi CATL itu baru pertama kali terjadi di dunia, sementara LG itu pertama kali di ASEAN. Jadi, jangan dianggap remeh ini barang (nikel),” kata Bahlil.
Litium di Indonesia
Terkait prospek pengembangan baterai LFP di Indonesia setelah ditemukannya cadangan litium di Grobogan, Bahlil tidak menutup kemungkinan itu. Namun, untuk saat ini, tahapan menuju ke sana masih panjang. Pemerintah masih perlu mengkaji temuan cadangan tersebut cukup banyak dan bernilai ekonomis atau tidak.
”Tahap berikutnya kita akan melakukan eksplorasi. Dari sana baru kita lihat cadangannya berapa banyak, ekonomis tidak. Jadi, tahapannya masih panjang. Kalau memungkinkan, baru kita buat rencananya. Bagi kita, yang penting kita untung dan kita bisa kelola hasil kekayaan kita sendiri," katanya.
Seiring kebutuhan bahan baku baterai, pengembangan litium pun kini coba dilakukan oleh pemerintah. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi sejumlah lokasi dengan potensi litium. Di antaranya ada di Bledug Kuwu, Bledug Cangkrik, Crewek, dan Jono di Grobogan, Jawa Tengah. Terdapat pengendapan air garam di beberapa lokasi itu.
Baca juga: Litium, Tumpuan Evolusi Berkendara
Pelaksana Tugas Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid mengatakan, pihaknya telah melakukan eksplorasi mineral litium dan boron. Terkait potensi litium di Bledug Kuwu, Grobogan, pihaknya telah melakukan penelitian, baik air asin maupun garamnya untuk kemudian dites di laboratorium.
”Kemudian (juga ada potensi) di panas bumi. Sebenarnya ini (litium di sumber panas bumi) ada di mana-mana, termasuk di Indonesia, juga di Jawa. Ada unsur litium sebagai pengotor dari panas bumi. Ini juga bisa dilakukan eksplorasi lebih lanjut,” ujarnya, dalam konferensi pers, Jumat (19/1/2024).
Bledug Kuwu ialah fenomena gunung api lumpur (mud volcano) dengan letupan-letupan lumpur yang mengandung garam di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan. Fenomena itu sejak lama menjadi salah satu obyek wisata geologi di Jateng. Salah satu mineral yang teridentifikasi terkandung pada lumpur tersebut adalah litium.
Adapun eksplorasi yang dilakukan Badan Geologi terkait litium di Grobogan masih dalam tahap penyelidikan awal sehingga masih diperlukan kegiatan penyelidikan tambahan melalui eksplorasi studi geofisika dan hidrogeologi. Pada 2025, eksplorasi diharapkan sudah lebih kondusif sehingga pengelolaan dan pemanfaatannya ke depan bisa dilakukan sesuai lelang mineral logam berdasarkan aturan berlaku.
Peneliti pada bidang unsur tanah jarang dan mineral kritis, yang juga anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Handoko Teguh Wibowo, mengatakan, litium di Grobogan potensial. Terlebih, areanya terbilang luas, sekitar 100 kilometer persegi.
Diperkirakan ada, tetapi belum tahu seberapa besar sumber dayanya. ( Rizal Kasli)
Teguh, yang meneliti semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, dan berlanjut penelitian di Grobogan, menuturkan, ada kandungan mineral dari lumpur, termasuk litium.
Secara umum, kata Teguh, sumber litium ada dua, yakni dari air, yang biasanya asin, dan batuan yang keras. ”Yang di Grobogan ini jenis air atau brine water. Jadi, bukan diambil lumpurnya, tetapi air yang akan diekstraksi. Brine water ini berbeda dengan sumber litium dari batuan yang ditambang (mining) seperti yang ada di Australia,” kata Teguh.
Ia menjelaskan, litium memang terikat atau bersenyawa dengan garam. Potensi kandungan litium yang ditemukan pada lumpur Sidoarjo membuka peluang pengembangan litium yang selama ini dianggap sebagai sumber daya yang tak ada di Indonesia. Kalaupun ada, konsentrasinya sangat kecil sehingga tak dikembangkan. Kini seiring kebutuhan untuk baterai kendaraan listrik, litium coba dieksplorasi.
”Namun, yang paling krusial saat ini adalah penghitungan seberapa besar sumber daya, atau bahkan cadangan litium yang ada. Dari situ, baru akan ketahuan feasible (layak) dikembangkan atau tidak,” ucap Teguh.
Rizal Kasli menambahkan, seperti yang diungkapkan Badan Geologi, potensi litium di Indonesia memang ada. ”Tetapi belum masuk kategori sumber daya atau cadangan sehingga masih perlu eksplorasi lanjutan. Kalau sekarang masih hipotesis. Diperkirakan ada, tetapi belum tahu seberapa besar sumber dayanya. Mudah-mudahan memang bisa dikembangkan,” katanya.