Pinjaman Pendidikan Jadi Alternatif, Debitor Perlu Kenali Risiko
Asosiasi pinjaman daring menanggapi protes yang viral di media sosial soal pilihan pinjaman daring di perguruan tinggi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan pendanaan berbasis teknologi atau pinjaman daring telah terlibat menyediakan fasilitas pembiayaan pendidikan. Layanan ini pada dasarnya bertujuan membantu masyarakat, tetapi risiko seperti gagal bayar tetap perlu jadi perhatian.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebut, produk pembiayaan pendidikan bukan hal baru dalam inovasi bisnis pinjaman daring.
Hal itu disampaikan Direktur Corporate Communication AFPI Andrisyah Tauladan kepada Kompas, Senin (29/1/2024), saat menanggapi protes yang viral di media sosial soal pilihan pembiayaan berbasis utang ini bagi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terkendala membayar uang kuliah tunggal (UKT) atau biaya kuliah per semester.
Kampus ITB memiliki kerja sama resmi dengan perusahaan pinjaman daring berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2021, yang fokus pada pembiayaan pendidikan. Platform tersebut mengklaim sudah bekerja sama dengan lebih dari 100 perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta, termasuk lembaga kursus. Dana sebanyak Rp 375 triliun juga sudah disalurkan kepada puluhan ribu pengguna.
”Produk pendanaan ini melibatkan kerja sama dengan lembaga pendidikan atau perguruan tinggi dalam rangka penyediaan fasilitas pendanaan untuk mahasiswa serta memberikan pilihan jalan keluar bagi mahasiswa yang kesulitan melakukan pembayaran UKT,” ujarnya.
Sesuai peraturan, pinjaman baru diberikan jika terdapat pengajuan dari mahasiswa yang bersangkutan dan telah melalui proses analisis kelayakan oleh lembaga jasa keuangan terkait.
Analisis kelayakan perlu untuk mengetahui kemampuan bayar debitor. Seperti diketahui, cicilan kredit termasuk di pinjaman daring mengenakan bunga pembayaran. Mengutip dari situs resmi lembaga jasa keuangan yang tengah ramai diperbincangkan di jagat maya itu, mereka juga menerapkan bunga sebesar 0 persen sampai 1,75 persen setiap bulannya sejumlah pembiayaan yang diajukan debitor. Bunga cicilan tersebut jadi salah satu poin protes netizen.
”Pertimbangan potensi gagal bayar seharusnya menjadi salah satu fokus utama. Perlu dilakukan analisis risiko dan strategi mitigasi serta memastikan bahwa mahasiswa telah diberikan edukasi tentang konsekuensi dari pinjaman tersebut,” kata Andrisyah.
Menanggapi protes masyarakat di media sosial, OJK mengatakan, mereka segera melakukan investigasi dengan memanggil lembaga jasa keuangan terkait, di antaranya untuk mengonfirmasi bunga cicilan yang diterapkan.
Berdasarkan penelitian OJK, manfaat ekonomi atau suku bunga yang dikenakan sudah sesuai dengan Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, mereka meminta lembaga jasa keuangan terkait untuk tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan transparansi dalam penyaluran pembiayaannya.
”Kemudian, lebih meningkatkan edukasi kepada mahasiswa mengenai hak dan kewajiban konsumen, termasuk aspek risikonya, dan seluruh aspek pelindungan konsumen lainnya. Secara periodik, OJK akan memantau pelaksanaan hal-hal tersebut,” kata Aman.