Insentif Pajak Hiburan Dinilai Hanya Solusi Jangka Pendek
Pengusaha tetap butuh kepastian hukum dan solusi jangka panjang soal tarif pajak hiburan.
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah pusat memberi keringanan penerapan pajak hiburan bagi usaha tertentu dianggap pengusaha sebagai solusi jangka pendek. Pelaku usaha tetap butuh kepastian hukum dalam jangka panjang terkait kebijakan pajak hiburan tersebut.
Dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/1/2024), pemerintah pusat telah memutuskan akan membuat surat edaran. Isinya membolehkan pemerintah daerah (pemda) memberlakukan pajak hiburan lebih rendah dari tarif 40-75 persen.
Aturan baru tarif pajak hiburan tersebut saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dari total 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 kelompok dikenai tarif umum maksimal 10 persen.
Baca juga: Airlangga: Daerah Bisa Terapkan Tarif Pajak Hiburan di Bawah 40 Persen
Sisanya, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenai tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen. Tarif tersebut dianggap sangat tinggi dan memancing protes penolakan dari pelaku usaha hiburan dan industri pariwisata.
Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Sarman Simanjorang, Sabtu (20/1/2024), mengatakan, surat edaran dari pemerintah yang isinya akan mengatur soal insentif pajak bagi beberapa usaha hiburan tertentu bisa menjadi solusi jangka pendek.
”Masih solusi jangka pendek, karena ada banyak pertanyaan. Pertama, apakah insentif itu akan bersifat permanen? Kedua, apakah nantinya besaran insentif itu akan sama di seluruh daerah? Sebab, pelaku usaha hiburan butuh kepastian hukum dalam hal ini,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Ia menilai, untuk jangka panjang, pemerintah tetap perlu meninjau kembali isi UU HKPD dan merevisi isinya secara terbatas. Khususnya, pasal 58 ayat 2 yang mengatur tentang tarif pajak 40-75 persen tersebut. Payung hukumnya, usul Sarman, bisa berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
”Supaya ada kepastian hukum long termbagi pengusaha. Saya rasa pemerintah pusat harus bijak memberikan solusi lain yang terbaik,” ujar Sarman.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga diharapkan tidak terburu-buru menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) dan menetapkannya. Raperda yang saat ini sudah mulai disusun oleh mayoritas pemda perlu segera disesuaikan seturut isi surat edaran yang dibuat pemerintah pusat.
Apakah insentif itu akan bersifat permanen? Apakah nantinya besaran insentif itu akan sama di seluruh daerah?
Membatalkan perda
Sarman menilai, pemda yang sudah sempat mengundangkan perdanya, seperti DKI Jakarta, perlu membatalkan dan menunda implementasi perda tersebut. Apalagi, pelaku usaha sudah menyatakan mereka tidak akan mampu membayar sebesar itu di tengah kewajiban lain yang perlu mereka setor ke daerah.
”Nah, untuk daerah yang belum membuat raperda, jangan buru-buru dulu membuatnya sambil menunggu solusi dari pemerintah pusat. Tolong dilihat secara cermat bagaimana kondisi industri hiburan di tiap-tiap daerah. Jangan sampai ini malah membuat daerah kehilangan pendapatan asli daerah (PAD),” kata Sarman.
Sebelumnya, seusai rapat kabinet terbatas di Istana, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemberian insentif fiskal dimungkinkan dalam rangka mendukung kemudahan investasi. Hal itu juga sudah diatur dalam Pasal 101 UU HKPD.
Baca juga: Berbagai Kalangan Desak Aturan Pajak Hiburan Ditunda dan Direvisi
Bentuknya bisa berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, dan penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan sanksinya. Oleh karena itu, Airlangga mengatakan, pemerintah akan mengeluarkan surat edaran terkait pasal 101 tersebut. Surat edaran itu sedang disiapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
”Daerah bisa memberlakukan pajak lebih dari 40-75 persen sesuai daerahnya masing-masing dan juga sesuai dengan insentif yang diberikan, tentu terkait dengan sektor yang nanti akan dirinci,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga berencana menyiapkan insentif lain dalam bentuk pajak penghasilan (PPh) badan bagi jenis usaha wisata tertentu. ”Bapak Presiden meminta untuk dikaji, diberi insentif PPh badan 10 persen. Namun, ini belum diputus, teknisnya masih perlu kami pelajari. Masih diberi waktu untuk merumuskan usulan insentif tersebut,” kata Airlangga.
Keleluasaan
Peneliti pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan, inti persoalan dari polemik pajak hiburan adalah penerapan tarif batas bawah 40 persen yang sangat tinggi. Sebelumnya, pajak hiburan untuk jenis usaha tertentu hanya mengenal tarif batas atas 75 persen. Itu membuat sebagian besar daerah selama ini menerapkan pajak hiburan di kisaran 25-35 persen.
Wilayah tertentu bisa dibiarkan tanpa tarif batas minimum karena mereka harus bersaing dengan pusat wisata di negara lain.
Bahkan, ada daerah yang menerapkan tarif 15 persen sehingga keberadaan UU HKPD membuat tarif melonjak sangat tinggi dari 15 persen ke 40-75 persen.
”Seharusnya, untuk wilayah tertentu, seperti daerah pariwisata, diberi keleluasaan lebih. Memang, perlu ada tarif minimum untuk menghindari race to the bottom (pemda berlomba-lomba menerapkan tarif pajak rendah untuk menarik investor). Namun, untuk wilayah tertentu, bisa dibiarkan tanpa batas minimum karena mereka harus bersaing dengan pusat wisata di negara lain,” ujarnya.
Ia juga menilai alasan penerapan tarif yang tinggi untuk beberapa hiburan khusus itu tidak beralasan. Sebab, ada banyak jenis hiburan lain yang sebenarnya dikonsumsi oleh orang kaya, tetapi hanya dikenai tarif umum 10 persen. Misalnya, pacuan kuda, pergelaran busana, dan penginapan vila.
Sementara hiburan yang dinikmati masyarakat kebanyakan, seperti karaoke keluarga dan spa kebugaran, dikenai tarif yang tinggi. Tak hanya itu, batasan ”mudarat” yang dijadikan alasan penerapan tarif tinggi juga dinilai sulit dibuktikan.
”Bagaimana mengetahui kalau suatu usaha hiburan mudaratnya banyak? Ukurannya apa untuk menentukan suatu obyek pajak itu mudaratnya lebih tinggi daripada yang lain? Ketidakjelasan seperti ini yang membuat pengusaha merasa diperlakukan tidak adil,” katanya.
Baca juga: Kemenkeu: Pemda Boleh Beri Keringanan Tarif Pajak Hiburan