Kemenkeu: Pemda Boleh Beri Keringanan Tarif Pajak Hiburan
Diskon pajak hiburan tidak bisa dipukul rata dan harus disesuaikan dengan kondisi keuangan pengusaha.
Oleh
AGNES THEODORA, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah diberi kebebasan untuk memberikan keringanan tarif pajak hiburan tertentu bagi pelaku usaha di daerahnya. Diskon pajak dapat diberikan jika pelaku usaha di daerah tersebut dinilai belum mampu dikenai tarif pajak tinggi karena kondisi keuangan yang belum pulih dari pandemi, serta jika usaha terkait tergolong usaha mikro.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Chrityana mengatakan, pemerintah daerah diberi kemandirian untuk mengurusi daerahnya masing-masing. Artinya, daerah boleh menerapkan tarif pajak hiburan tertentu di bawah tarif 40-75 persen yang saat ini berlaku.
Caranya, pengusaha setempat bisa mengajukan insentif fiskal jika keberatan dengan tarif tersebut. ”Jika kepala daerah merasa daerahnya perlu perlakuan khusus, pemda bisa melakukan assessment dan memberi insentif atau keringanan pajak bagi pelaku usaha tertentu,” katanya dalam konferensi pers di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Seperti diketahui, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pemerintah menetapkan tarif pajak hiburan bagi jenis barang dan jasa tertentu, yaitu minimal 40 persen dan maksimal 75 persen. Aturan baru itu mulai berlaku per Januari 2024.
Dengan aturan itu, terjadi kenaikan tarif pajak hiburan untuk jenis usaha tertentu (pajak barang dan jasa tertentu/PBJT) yang peredarannya perlu dikendalikan karena bisa berdampak negatif bagi masyarakat, yaitu diskotek, karaoke, klab malam, bar, serta mandi uap dan spa.
Adapun untuk pengusaha hiburan lain di luar lima jenis usaha itu tidak dikenakan tarif pajak yang tinggi. Usaha hiburan pada umumnya, seperti bioskop, wahana wisata, dan panti pijat, hanya dikenai tarif pajak maksimal 10 persen, tanpa tarif batas bawah minimum.
Selama ini, berdasarkan UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah memang tidak menetapkan batas minimal tarif pajak untuk jenis hiburan tertentu, tetapi hanya mengatur tarif batas maksimal sebesar 75 persen.
Tidak dipukul rata
Lydia menjelaskan, keringanan itu bisa berupa pengurangan pokok pajak, serta pembebasan atau penghapusan pokok pajak. Namun, ia menegaskan, keringanan itu tidak bisa dipukul rata dan harus disesuaikan dengan laporan keuangan pelaku usaha.
Pemerintah daerah juga nantinya mesti bisa mempertanggungjawabkan kebijakannya itu pada auditor keuangan negara.
Ada beberapa kondisi yang bisa diberikan pengecualian. Pertama, jika wajib pajak dinilai tidak mampu membayar tarif pajak 40-75 persen karena keuangannya belum pulih dari dampak pandemi. Kedua, jika usaha terkait terkena bencana alam, kebakaran, atau kondisi tertentu yang tidak disengaja. Ketiga, jika wajib pajak bersangkutan berstatus usaha mikro dan ultramikro.
”Misalnya, tahun ini tidak diterapkan tarif pajak hiburan tertentu 40 persen, tetapi cukup 10 persen dulu. Itu dibolehkan, tetapi harus ada justifikasi dari pelaku usaha yang disampaikan ke pemda untuk meminta fasilitas keringanan itu,” kata Lydia.
Pemerintah daerah juga nantinya mesti bisa mempertanggungjawabkan kebijakannya itu pada auditor keuangan negara. ”Apa justifikasinya tidak memungut dengan tarif pajak 40-75 persen? Hitungan-hitungannya seperti apa harus bisa dijelaskan alasannya. Jadi tidak digeneralisasi lantas tarif untuk semua jenis hiburan tertentu diturunkan,” ujarnya.
Meski demikian, berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Keuangan, sektor hiburan sebenarnya sudah mulai merasakanrebound atau pemulihan sejak tahun 2022. Hal itu tampak dari realisasi pajak daerah dari pajak hiburan yang meningkat dalam dua tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pendapatan pajak hiburan pada tahun 2019 adalah Rp 2,4 triliun, kemudian turun menjadi Rp 787 miliar pada 2020 dan Rp 477 miliar pada 2021 akibat terpukul pandemi. Namun, pendapatan pajak hiburan sudah mulai naik menjadi Rp 1,5 triliun pada tahun 2022 dan mencapai Rp 2,2 triliun pada 2023. ”Jadi sebenarnya usaha hiburan sudah bangkit dan mendekati angka sebelum Covid-19,” kata Lydia.
Sebelumnya, pelaku usaha yang keberatan dengan kebijakan tarif pajak hiburan di UU HKPD itu telah mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Pengajunya adalah Ketua Umum Perhimpunan Husada Tirta Indonesia yang dahulu bernama Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) Margaretha Maria serta Ketua Umum Perkumpulan Asosiasi Spa Terapis Indonesia Mohammad Asyhadi. Berkas pengajuan gugatan itu diterima Jumat (5/1/2024) dengan nomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2024.
Pemohon merasa dirugikan dan terbebani oleh kebijakan itu karena wajib membayar PBJT berkategori seni dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar sebesar 40-75 persen.
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Pauline Suharno mendukung langkah uji materi itu. Menurut dia, jika tarif baru pajak hiburan itu tetap diterapkan, konsumen bisa terbebani harga yang lebih mahal. Pengusaha hiburan pun bisa gulung tikar dan berimbas pada nasib karyawan-karyawannya.
Ia menyayangkan pelaku usaha yang kerap baru dilibatkan ketika suatu regulasi akan diketok palu. Itu menutup kesempatan bagi pihaknya mengkaji peraturan secara rinci. ”Kebiasaannya selalu seperti ini. Harusnya dari awal ketika perencanaan, (pelaku) industri dilibatkan dan mereka menyusun berdasarkan insight dari (pelaku) industri,” katanya.
Seharusnya dari awal ketika perencanaan, (pelaku) industri dilibatkan.
GIPI pun berencana membentuk tim regulasi guna memonitor dan mempelajari kembali revisi UU Pajak dan Retribusi Daerah. Regulasi yang masuk dalam domain Kementerian Dalam Negeri ini dianggap sudah tidak relevan sehingga perlu dikaji ulang.
Secara terpisah, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, ia telah berkeliling untuk menangkap aspirasi pelaku usaha yang berhubungan erat dengan hiburan dan pariwisata kreatif. Ingar-bingar isu ini memang muncul setelah awal tahun 2024.
Ia pun berharap tak ada kesulitan massal akibat kenaikan pajak pada awal tahun ini, apalagi sektor pariwisata baru saja bangkit setelah pandemi. Menurut dia, selama ini pelaku usaha sudah keberatan dengan kenaikan pajak, bahkan ketika tarifnya di bawah 40 persen, karena mereka juga harus membayar biaya keamanan, perizinan, dan unsur lainnya.
Sejauh ini, peraturan daerah Badung, Tabanan, Gianyar, dan Kota Denpasar telah menetapkan besaran pajak hiburan sebesar 40 persen. Dalam masa uji perkara ini, Sandiaga meminta agar perda yang disusun bisa menunggu detail sesuai keputusan MK. Pada saat bersama, ia berharap diskusi dengan pelaku usaha terus berjalan.
Ia tak ingin berprasangka dan mengantisipasi keputusan hukum. Namun pada prinsipnya, pemerintah perlu mencari titik tengah agar para pelaku usaha dapat tetap membuka lapangan kerja sekaligus membayar komitmennya pada penerimaan negara. ”Kalau usahanya dibebani terlalu besar pajaknya, ini enggak sehat, enggak kondusif,” ujar Sandiaga.