Sapi yang Terlalu Mahal untuk Masa Depan Bumi
Bagi kelanjutan bumi dan keberlangsungan umat manusia, ongkos memproduksi daging sapi terlalu mahal.
CEO Meta Mark Zuckerberg belum lama ini memamerkan foto dirinya tengah menikmati daging steik medium-rare di sebuah restoran pinggir pantai di akun Instagram-nya, Rabu (10/1/2024).
Dalam keterangan foto, ia menjelaskan, steik itu dihasilkan dari peternakan miliknya di Ko’olau, kompleks seluas 1.400 hektar di Kauai, Hawaii.
Miliarder itu mengaku ingin memproduksi daging sapi kualitas terbaik di dunia, dengan fokus pada sapi wagyu dan angus. Dua jenis sapi itu, masing-masing berasal dari Jepang dan Skotlandia, biasa diternakkan secara spesial untuk menghasilkan daging jenis premium.
Baca juga: Daging Sapi Terancam Hanya Dinikmati Kelas Atas
Zuckerberg mengatakan, semua proses peternakan hingga produksi dilakukan secara lokal dan terintegrasi. ”Semua sapi akan dipelihara dengan mengonsumsi kacang macadamia dan bir yang kami kembangkan dan produksi di peternakan,” tulisnya.
Unggahan ini lantas ramai dikomentari pengguna Instagram. Mayoritas dari belasan ribu pemberi komentar tidak memuji bisnis baru yang tengah ditekuni bos perusahaan teknologi itu. Mereka justru mengecam bisnis Zuckerberg yang mereka nilai tidak hanya menghancurkan binatang berkaki empat itu, tetapi juga kelangsungan bumi.
Respons warganet terhadap industri tersebut menarik. Sapi memang telah lama menjadi komoditas peternakan untuk dikonsumsi dagingnya. Masyarakat dunia diperkirakan mengonsumsi daging sapi sebanyak 57 juta metrik ton per tahun.
Kesadaran baru
Seiring menguatnya kesadaran tentang perubahan iklim, semakin banyak masyarakat mengenal dampak industri peternakan sapi bagi lingkungan. Hal ini didukung sejumlah penelitian ilmuwan dunia terkait industri tersebut yang berhubungan dengan emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim.
Selama siklus hidupnya, sapi melepaskan metana dalam jumlah besar. Metana dikenal sebagai salah satu gas rumah kaca selain karbon dioksida (CO2), yang menurut studi menyebabkan pemanasan sekitar 85 kali lebih banyak dibandingkan CO2 selama 20 tahun.
Selama siklus hidupnya, sapi melepaskan metana dalam jumlah besar.
Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan, seekor sapi dewasa dapat mengeluarkan hingga 500 liter metana per hari, menyumbang 3,7 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca.
Kotoran sapi juga mengeluarkan gas rumah kaca, yakni CH4 dan dinitrogen oksida (N2O). Produksi pakan ternak, yang terkait pengelolaan tanah dan tanaman, juga menghasilkan CO2 dan N2O.
Emiter terbesar
Emisi gas rumah kaca juga dihasilkan dalam proses produksi daging. Xiaoming Xu, peneliti dari University of Illinois, dan tim yang menerbitkan jurnal Nature Food, September 2021, menyebut, produksi 1 kilogram (kg) daging sapi mengeluarkan 70 kg emisi.
Daging sapi menjadi emiter terbesar di antara produk hewani lain, seperti susu sapi, daging babi, dan daging ayam. ”Secara keseluruhan, produksi daging sapi menjadi penyumbang emisi tertinggi dengan selisih yang lebar, terhitung 25 persen dari total,” kata peneliti tersebut.
Baca juga: Mayoritas Gen Z Tidak Menyadari Konsumsi Daging Berdampak pada Iklim
Pada 2023, FAO menerbitkan peta jalan pertanian pangan untuk menahan pemanasan bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Organisasi itu mengeluarkan rekomendasi 120 tindakan, salah satunya perlunya mengubah pola makan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari konsumsi daging dan susu. Rekomendasi dibuat dengan target mengurangi emisi metana dari peternakan sebesar 25 persen pada 2030.
Peternakan dan produksi daging sapi massal terbukti menyumbang krisis iklim yang kita rasakan saat ini. Namun, daging dan produk olahan sapi masih dipromosikan sebagai sumber protein tinggi, khususnya di negara-negara berkembang.
Kaya-miskin
FAO di situs resminya menyerukan agar negara-negara berpendapatan tinggi mengurangi konsumsi daging guna menjaga kelangsungan bumi. Sebaliknya, mereka mengampanyekan produksi daging untuk mengatasi tantangan kesehatan negara-negara miskin.
Secara demografi, data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebutkan, Amerika Serikat merupakan negara dengan konsumsi daging sapi terbesar di dunia pada 2022, yakni 12,80 juta metrik ton. Menyusul kemudian China sebanyak 10,66 juta metrik ton, Brasil sebanyak 7,52 juta metrik ton, dan Uni Eropa sebanyak 6,48 juta metrik ton.
Amerika Serikat merupakan negara dengan konsumsi daging sapi terbesar di dunia pada 2022, yakni 12,80 juta metrik ton.
Negara-negara konsumen daging sapi terbesar itu juga memproduksi kebutuhannya sendiri. USDA memperkirakan, Amerika Serikat memproduksi daging sapi sebanyak 12,82 juta metrik ton. Brasil memproduksi sebanyak 10,35 juta metrik ton, China 7,13 juta metrik ton, dan Uni Eropa 6,82 juta metrik ton.
Sementara negara berkembang, seperti Indonesia, masih kekurangan baik dalam produksi maupun tingkat konsumsi. Berdasarkan data Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dirilis pada 2018, konsumsi daging sapi pada masyarakat Indonesia tahun 2017 rata-rata baru 1,8 kg per orang per tahun. Ini jauh lebih rendah ketimbang konsumsi daging ayam yang rata-rata 7 kg per kapita per tahun.
Konsumsi kurang
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian memperkirakan konsumsi daging sapi menjadi 2,62 kg per kapita per pada 2022. Rata-rata tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia kerap dibandingkan dengan tingkat konsumsi dunia yang mencapai 6,4 kg per kapita per tahun.
Peningkatan konsumsi protein hewani, termasuk daging sapi yang masih menjadi barang mewah bagi masyarakat ekonomi rendah, ini pun terus diupayakan pemerintah. Protein hewani dipromosikan sebagai sumber pangan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan, khususnya anak-anak, karena kandungan asam aminonya yang lengkap.
Pemerintah pun terus mengejar peningkatan konsumsi daging itu dengan program peningkatan populasi ternak. Produksi daging sapi di Indonesia mayoritas masih berasal dari peternakan rakyat. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil jalan tengah agar tetap bisa mengurangi gas rumah kaca dari sektor peternakan.
Baca juga: Mitigasi Iklim dan Tetap Sehat dengan Meninggalkan Daging
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporannya per Desember 2023 menjelaskan cara agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan protein yang ramah lingkungan.
Laporan yang diluncurkan bersamaan dengan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) di Dubai itu menyoroti alternatif protein hewani yang kini semakin populer. Salah satunya adalah budidaya daging di laboratorium yang dihasilkan dari sel hewan hidup.
Sejumlah negara, termasuk Singapura, sudah mengembangkan dan mengizinkan peredarannya. Negara itu menyetujui penjualan daging ayam buatan yang diproduksi oleh perusahaan Eat Just asal Amerika Serikat pada 2020.
Produksi laboratorium
Produksi daging buatan nyaris tidak memiliki efek gas rumah kaca, kecuali dari sel induk. Daging buatan minim dalam penggunaan air dan lahan jika dibandingkan dengan produksi daging konvensional, terutama pada ternak sapi.
Produksi 1 kg daging sapi peternakan konvensional membutuhkan 550-700 liter air dan 2,5 miliar hektar lahan (50 persen dari area pertanian global) serta 1,3 miliar hektar lahan untuk produksi pakan (Mottet A dkk, 2017).
Produksi 1 kg daging sapi peternakan konvensional membutuhkan 550-700 liter air dan 2,5 miliar hektar lahan (50 persen dari area pertanian global) serta 1,3 miliar hektar lahan untuk produksi pakan.
Dari sisi kesehatan, masih merujuk UNEP, daging buatan juga relatif lebih aman dikonsumsi ketimbang daging konvensional. Alasannya, proses produksinya sepenuhnya dikendalikan peneliti atau produsen.
Daging yang tumbuh di laboratorium tidak tercemar bakteri patogen. Sementara daging konvensional berpotensi secara langsung tercemar bakteri patogen, seperti E coli, Salmonella, dan Campylobacter.
Bahan nabati
Alternatif lain yang disebutkan UNEP adalah bahan nabati, seperti jamur, yang difermentasi. Makanan kaya protein yang diperoleh melalui fermentasi mikroorganisme mampu membuat produk serupa daging.
”Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan dan pemerintah di seluruh dunia telah menginvestasikan miliaran dollar untuk mengembangkan dan memasarkan alternatif yang mendekati daging hewani,” tulis UNEP dalam situs resmi mereka.
Pada 2021, pasar ritel daging nabati mencapai 5,6 miliar dollar AS secara global. Beberapa produk ini memiliki tampilan, bau, dan tekstur yang mirip dengan daging konvensional, meskipun tidak semua konsumen pasti suka dengan rasanya.
Bagi kelanjutan bumi dan keberlangsungan umat manusia, ongkos memproduksi daging sapi terlalu mahal.
Laporan tersebut juga memperkirakan bahwa produk alternatif daging dan susu akan menguasai separuh pasar protein hewani global pada 2050.
Bagi kelanjutan bumi dan keberlangsungan umat manusia, ongkos memproduksi daging sapi terlalu mahal.