Berbagai Kalangan Desak Aturan Pajak Hiburan Ditunda dan Direvisi
Pemerintah diharapkan satu suara menunda tarif baru pajak hiburan. ”Race to the bottom” tak perlu dikhawatirkan.
Suasana di dalam restoran dan bar Penida Colada Beach Bar di Banjar Bodong, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Kamis (7/7/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan untuk jenis usaha tertentu hingga 40-75 persen dinilai tidak wajar. Sejumlah kalangan, dari praktisi pajak, pengusaha, hingga pemerhati wisata, menyarankan kebijakan itu ditunda lalu direvisi.
Raden Agus Suparman, pendiri dan konsultan pajak dari PT Botax Consulting Indonesia, Kamis (18/1/2024), menilai tarif pajak hiburan dengan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen untuk beberapa usaha tertentu itu tidak wajar.
Apalagi, dasar pengenaan pajak hiburan tersebut adalah dari penerimaan kotor usaha, bukan dari penerimaan bersih. Kebijakan itu bisa mengurangi bahkan menggerus habis laba bersih usaha.
Ia menjabarkan, dengan tarif minimal 40 persen, pemerintah daerah sudah ”mengambil” 40 persen hasil usaha kotor jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa/mandi uap.
Baca juga: Kemenkeu: Pemda Boleh Beri Keringanan Tarif Pajak Hiburan
”Kalau penerimaan karaokenya Rp 100 juta, pajak yang diserahkan ke pemda sudah Rp 40 juta. Sisanya, Rp 60 juta, untuk menutupi biaya operasional. Kalaupun ada keuntungan, akan dikenai pajak lain, yaitu pajak penghasilan,” kata Raden.
Seperti diketahui, tarif pajak hiburan baru itu diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dari total 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 kelompok dikenai pajak hiburan maksimal 10 persen. Sisanya, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa, dikenai tarif 40-75 persen.
UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), tidak mengatur tarif batas bawah untuk pajak hiburan tertentu, tetapi hanya mengatur tarif batas atas 75 persen. Selama ini banyak daerah menerapkan tarif pajak hiburan tertentu di kisaran 20-30 persen.
Raden mencontohkan, berdasarkan hasil kajian, dengan rata-rata tarif pajak hiburan khusus 20 persen yang selama ini berlaku, rata-rata laba bersih yang didapat jenis usaha karaoke adalah 25 persen. Dengan kenaikan pajak hiburan hingga minimal 40 persen (naik 100 persen), laba bersih usaha tinggal 5 persen.
”Jika sumber modal usahanya dari bank dan pengusaha harus membayar bunga rutin ke bank, maka sisa 5 persen laba bersih itu bisa saja habis dan pengusaha harus nombok,” ujarnya.
Kehadiran tarif minimal justru membatasi ruang gerak pemda dalam menetapkan kebijakan fiskal.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menunda dulu penerapan tarif pajak hiburan khusus 40-75 persen karena bisa berdampak signifikan pada usaha jasa hiburan tertentu. Sementara kebijakan itu ditunda, DPR dan pemerintah bisa merevisi aturan tarif batas bawah yang memberatkan.
”Tarif bawah yang dikenakan sebenarnya cukup minimal 10 persen dari penerimaan bruto, sesuai Pasal 58 Ayat 1 di UU HKPD. Ayat 2 (yang mengatur tentang batas bawah 40 persen) dihapus saja,” kata Raden.
Pengelompokan jenis usaha
Senada, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari mengatakan, tarif pajak hiburan 40-75 persen sebaiknya ditunda mengingat industri pariwisata baru mulai bangkit setelah terdampak pandemi. ”Keberpihakan pemerintah ke mana? Mau mendapat uang dari pajak atau meningkatkan pariwisata? Kedua upaya itu tidak bisa berjalan bersama,” katanya.
Ia menilai besaran pajak 40-75 persen yang bisa berbeda-beda di tiap daerah itu memunculkan ketidakadilan. Pemda Bali dan Aceh, misalnya, bisa saja menerapkan besaran pajak berbeda karena pandangannya terhadap hiburan tidak sama. Pajak di Bali bisa saja lebih rendah daripada di Aceh. Menurut Azril, hal itu seharusnya tidak terjadi karena pajak seharusnya sama di mata hukum.
Salah satu hal yang menurut Azril perlu dikaji kembali adalah pengelompokan jenis usaha hiburan tertentu berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) yang disusun Badan Pusat Statistik. Sebab, spa (santer par aqua) semestinya bukan ranah hiburan, melainkan wisata kebugaran.
Baca juga: Pengusaha Spa Keberatan Dimasukkan dalam Hiburan
Wakil Ketua Umum Asosiasi Spa Indonesia (Aspi) M Asyhadi mengatakan, bidang usahanya masuk dalam KBLI bernomor 96122 yang tak ada kaitannya dengan hiburan.
Mengutip KBLI 2020 bernomor 96122, aktivitas spa mencakup usaha wisata berupa pelayanan jasa kesehatan dan perawatan dengan memadukan metode tradisional dan modern secara holistik. Aktivitas ini menggunakan air dan pendukung perawatan lainnya berupa pijat menggunakan ramuan, terapi aroma, latihan fisik, terapi warna, musik, makanan dan minuman.
Tujuannya menyeimbangkan antara tubuh, pikiran, dan jiwa sehingga terwujud kondisi relaks dan bugar demi kesehatan optimal. ”Pajak itu berdasarkan KBLI. Kalau KBLI tak masuk, satu digit saja (berbeda), enggak bisa masuk. Itu masalah tersendiri,” ujarnya.
Satu suara
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto mengatakan, pemerintah cukup mengatur tarif batas atas 75 persen seperti sebelumnya, tanpa tarif minimal. Sebab, kehadiran tarif minimal justru membatasi ruang gerak pemda dalam menetapkan kebijakan fiskal.
Pemerintah diharapkan bisa tegas dan satu suara menunda kebijakan tersebut. Sejauh ini, wacana menunda pajak hiburan baru dicetuskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.
”Penundaan tidak bisa sekadar ucapan dan imbauan, harus ada payung hukumnya, sebab pemda terikat harus melaksanakan undang-undang,” kata Wahyu.
Penundaan tidak bisa sekadar ucapan dan imbauan, harus ada payung hukumnya.
Ia menilai, pemerintah pusat tidak perlu khawatir adanya race to the bottom atau praktik di mana pemda berlomba-lomba menerapkan tarif paling rendah untuk menarik pengusaha. Pemda tetap memiliki tanggung jawab untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga tidak mungkin menerapkan tarif yang terlalu rendah.
”Selama ini sudah ada tarif umum 10 persen, dan sebagian besar pemda pun menerapkan tarif tidak sampai 40 persen. Peluang race to the bottom saya rasa tidak terlalu besar,” kata Wahyu.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana sebelumnya mengatakan, pemerintah menetapkan tarif batas bawah 40 persen karena khawatir akan adanya race to the bottom oleh pemda, yang bisa menghambat laju penerimaan daerah.
”Ini dukungan kami kepada daerah agar semakin mandiri dan ketemu balance fiskalnya. Tujuannya agar bagaimana kita tidak hanya memberikan transfer ke daerah (dari APBN), tetapi bagaimana pemda didukung untuk meningkatkan sendiri pendapatan daerahnya,” kata Lydia.
Berdasarkan hasil evaluasi rancangan perda (raperda) pajak hiburan yang sudah disampaikan pemda ke Kemenkeu untuk konsultasi, pada Kamis (18/1/2024), dari total 436 pemda, rata-rata pemda memilih penetapan tarif batas bawah sebesar 40 persen. Hanya 49 pemda yang menerapkan tarif batas tertinggi sebesar 75 persen.
Sejauh ini, masih ada satu daerah yang belum mengonsultasikan raperdanya, yaitu Kabupaten Nduga di Papua, serta setidaknya lima daerah yang telah mengonsultasikan raperda, tetapi belum mengesahkannya. Di daerah-daerah itu, pajak hiburan untuk sementara tidak boleh dipungut.