Sempat Dibatalkan, Program Kompor Listrik Didorong Lagi
Upaya untuk mengurangi kebergantungan pada elpiji akan terus dilakukan.
Setelah ramai pemberitaan soal pengalihan kompor gas ke kompor listrik induksi, akhirnya PT PLN membatalkan rencana itu, Selasa (27/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Program konversi dari elpiji ke kompor listrik induksi kembali didorong setelah sempat diuji coba, tetapi kemudian dibatalkan pada 2022. Program tersebut direncanakan beriringan dengan pembagian alat memasak berbasis listrik atau rice cooker yang sudah dimulai pada 2023. Itu menjadi bagian dari upaya mengurangi kebergantungan pada elpiji.
Program pembagian kompor induksi masuk dalam peta jalan transisi energi yang disusun Dewan Energi Nasional (DEN), yang juga menjadi landasan draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kompor induksi/rice cooker ditargetkan disalurkan kepada 700.000 rumah tangga hingga 2025. Penyaluran terus meningkat hingga 52 juta rumah tangga pada 2060.
Sebelumnya, pada 2022, pemerintah sempat menguji coba penyaluran kompor induksi di Surakarta, Jawa Tengah, dan Bali. Namun, lantaran menuai reaksi di masyarakat, program itu dibatalkan. Pada 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membagikan rice cooker atau alat penanak nasi. Sebanyak 500.000 rice cooker ditargetkan tersalurkan hingga Januari 2024.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto dalam konferensi pers capaian kinerja 2023 dan program kerja 2024, di Jakarta, Rabu (17/1/2024), mengatakan, beberapa waktu lalu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menggelar rapat terkait bakal dimulainya kembali program konversi elpiji ke kompor induksi.
”Yang kemarin sempat dihentikan kini coba dikaji lagi. Dimulai lagi. Kemarin sempat diganti dengan (program) rice cooker dengan target 500.000 rumah tangga. (Rice cooker) karena itu yang paling bisa diimplementasikan dan harganya pun lebih murah dari kompor listrik,” kata Djoko.
Baca juga: ”Rice Cooker” Hibah Mulai Dibagikan, Efektivitasnya Dipertanyakan
Djoko menekankan, ke depan, sasaran pembagian kompor induksi harus dimulai dari masyarakat kalangan mampu, bukan sebaliknya. ”Kalau dari masyarakat miskin, tidak jalan-jalan. Jadi, kompor induksi ini akan terus digalakkan, tetapi dimulai dari (kalangan) menengah ke atas,” lanjutnya.
Djoko menuturkan, program tersebut guna menekan tren penggunaan elpiji 3 kilogram yang terus meningkat, meskipun sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat miskin. Sebab, catatan Kementerian ESDM, pada 2023, dari 8,6 juta ton penyaluran elpiji, 93,3 persen di antaranya ialah elpiji subsidi. Sementara 77 persen kebutuhan elpiji dalam negeri dipenuhi dengan impor.
Pembaruan kebijakan
Upaya menekan kebergantungan pada elpiji itu masuk dalam skenario pemerintah dalam menyusun tahapan dalam rangka transisi energi menuju emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060, melalui pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Itu akan menggantikan KEN yang berlaku saat ini, yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN.
”Saat ini, RPP KEN dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (Rapat) Panitia antarkementerian sudah dilakukan, dan konsultasi dengan DPR RI juga sudah dua kali. Sesuai arahan Menteri ESDM dalam sidang anggota DEN, RPP KEN ditargetkan selesai pada Juni 2024,” kata Djoko.
Salah satu perubahan yang akan tertuang dalam KEN ialah target realisasi energi baru terbarukan dalam bauran energi primer. Pada KEN yang berlaku saat ini, energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen dalam bauran energi primer pada 2025. Namun, dalam draf RPP KEN, diturunkan menjadi 17-19 persen pada 2025.
Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan DEN Yunus Syaifulhak menjelaskan, diturunkannya target itu lantaran asumsi pertumbuhan ekonomi, sebesar 7-8 persen, pada KEN PP No 79/2014 tidak tercapai. Sementara kali ini disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi pasca-Covid-19, yakni 4-5 persen.
”Dalam (PP KEN) yang dulu, perubahan iklim termasuk target NDC (nationally determined contribution) juga tidak menjadi pertimbangan. Kan itu membuat semakin berat. Sementara dalam pembaruan KEN, itu jadi pertimbangan,⁄ katanya.
Sementara itu, menurut data Kementerian ESDM, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2023 sebesar 13,1 persen atau hanya meningkat 0,8 persen dari 2022 yang 12,3 persen. Volume energi terbarukan juga masih yang terkecil dibandingkan dengan energi fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas bumi.
Jadi, kompor induksi ini akan terus digalakkan, tetapi dimulai dari (kalangan) menengah ke atas.
Hal lain dalam draf RPP KEN ialah energi nuklir yang tak lagi disebut sebagai pilihan terakhir. Pemerintah juga telah menyusun draf struktur Nuclear Energy Programme Implementing Organization (NEPIO). Tim itu akan bertanggung jawab kepada Presiden RI, serta bersifat lintas sektoral, dalam rangka percepatan persiapan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Komitmen politik
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai capaian sektor ESDM pada 2023 kontras dengan peningkatan produksi serta pemanfaatan energi fosil yang terus meningkat. Rendahnya capaian bauran energi terbarukan dinilai bersifat sistemik, yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan, kendala eksekusi proyek-proyek, kenaikan tingkat suku bunga, dan pandemi Covid-19.
Baca juga: Urgensi Rencana Pembagian ”Rice Cooker” untuk Warga Dipertanyakan
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, perlu ada komitmen politik, dukungan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan langkah-langkah luar biasa dalam akselerasi energi terbarukan. Misalnya dengan mempercepat eksekusi proyek-proyek yang sudah terkontrak, khususnya dari produsen listrik swasta (IPP), serta desakan agar PLN melelang pembangkit skala besar secara reguler tahun ini.
”Untuk mengejar target (tambahan 10,6 gigawatt (GW) dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) terapung, groundmounted (di atas tanah), dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap,” kata Fabby dalam keterangannya, Selasa (16/1/2024).
Di samping itu, IESR juga menyoroti kesenjangan dan penundaan pengembangan energi terbarukan dari hulu ke hilir, yang perlu mendapat perhatian. IESR menilai intensitas emisi listrik Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. Hal itu berpotensi menghambat minat investasi industri-industri multinasional yang mensyaratkan energi rendah emisi.