Perjuangan Menahun Menagih Hak Tanah Garapan
Bertani di lahan yang belum menjadi hak milik membuat hidup petani tak tenang, terutama setiap pergantian pemerintahan.
Setiap pergantian kepala daerah dan presiden, Gede Sutape (71), petani Kampung Bukit Sari, Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, selalu gundah. Petani eks transmigran Timor Timur itu takut kehilangan lahan garapan seluas 0,5 hektar yang menjadi sumber hidup keluarga.
Lahan tersebut masih belum resmi menjadi miliknya kendati sudah dia garap sejak 24 tahun silam. Lahan pertanian tumpang sari itu dia tanami jagung, cabai, rumput gajah, dan kacang-kacangan. Di lahan itu juga terdapat sebuah kandang berisi enam sapi.
Pada Selasa (8/1/2024), Sutape mengaku, hasil panen sejumlah tanaman pangan di lahan itu merupakan satu-satunya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apabila membutuhkan dana besar untuk pernikahan atau biaya sekolah, dia menjual sapi yang dipelihara di lahan itu.
”Jika lahan itu diambil karena ada perubahan kebijakan, saya sekeluarga hidup dari apa?” kata bapak enam anak dan kakek empat cucu itu di sela-sela rehat menanam cabai.
Jika lahan itu diambil karena ada perubahan kebijakan, saya sekeluarga hidup dari apa?
Nengah Kisid (60) dihantui kekhawatiran serupa. Bercocok tanam di lahan yang belum menjadi hak milik membuatnya hidupnya tidak tenang, terutama di setiap pergantian pemerintahan lama ke pemerintahan baru.
Ia khawatir kebijakan bisa berubah. Pemanfaatan lahan yang berada di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) itu sewaktu-waktu bisa dialihkan dari rakyat untuk keperluan lain. Jika hal itu terjadi, masa depan anak cucu bisa bisa terkatung-katung.
”Untuk itu, kami meminta agar pemerintah menerbitkan sertifikat lahan garapan itu atas nama warga eks transmigran Timor Timur. Lahan itu penting bagi hidup kami saat ini hingga anak cucu nanti,” kata Nengah.
Sutape dan Nengah merupakan bagian dari 107 keluarga transmigran Bali yang ditempatkan di Timor Timur. Pascareferendum atau lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan menjadi Timor Leste pada 1999, Pemerintah Indonesia meminta mereka kembali ke Bali.
Lantaran sudah tidak memiliki tanah keluarga, eks transmigran tersebut ditempatkan di tempat transit Kantor Transmigrasi, Kabupaten Buleleng. Setahun kemudian, tepatnya pada September 2000, mereka dipindahkan ke kawasan HPT yang saat ini dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Di lokasi yang berbatasan dengan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) itu, setiap keluarga mendapatkan tanah seluas 54 are atau sekitar 0,54 hektar (ha). Dari luasan itu, lahan permukiman seluas 4 are (0,04 ha) dan pertanian 50 are (0,5 ha)
Lahan permukiman warga eks transmigran tersebut memanjang di tepi jalan Singaraja-Gilimanuk, sedangkan lahan pertanian berada di belakang permukiman. Lokasinya sekitar 10 kilometer dari Pelabuhan Gilimanuk.
Per 4 November 2021, KLHK telah menetapkan Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) untuk Provinsi Bali. Dalam peta indikatif itu, kawasan eks transmigran Timor Timur ditetapkan seluas 157,5 ha yang terdiri atas 54 ha untuk kawasan permukiman serta fasilitas sosial dan umum, sedangkan sekitar 104 ha untuk lahan pertanian.
Setahun setelah itu, yakni pada 30 Desember 2022, KLHK melepas 7,98 ha kawasan HPT untuk sumber tanah obyek reforma agraria masyarakat eks-transmigran Timor Timor. Namun, pelepasan itu baru mencakup lahan permukiman dan pekarangan, belum termasuk lahan garapan.
Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang
Lahan garapan
Saat ini, masyarakat eks transmigran Timor Timur didampingi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah melepas tanah sisanya yang seluas total 149,52 ha. Hal itu mengingat tanah tersebut, terutama lahan garapan pertanian, merupakan sumber utama penghasilan masyarakat eks transmigran Timor Timur.
Melalui tanah yang digarap sejak 24 tahun itu dapur setiap keluarga eks transmigran kembali mengepul. Lahan kering penuh ilalang itu telah ”disulap” menjadi lahan dengan aneka macam tanaman pangan dan pakan yang ditanam secara tumpang sari.
Warga setempat juga membudidayakan tanaman buah, seperti mangga, pisang, jambu, dan pepaya. Untuk menambah penghasilan harian, warga juga menanam sejumlah tanaman bunga untuk kebutuhan upacara adat di Bali, seperti kamboja, pacar air, dan gemitir. Selain itu, warga juga menanam bibit pohon beringin di sabuk pembatas hutan TNBB.
”Dari penjualan bunga itu, saya bisa mendapatkan rata-rata Rp 100.000 per hari,” kata Ketut Suteja (50), petani komunitas eks transmigran Timor Timur.
Baca juga: Reforma Agraria Belum Berpihak kepada Petani
Nengah menambahkan, meskipun tidak sesubur lahan di kawasan transmigrasi Timor Timor, lahan di kawasan HPT menjadi tumpuan utama keluarga eks transmigran. Lahan yang terdiri dari pasir, lempung, dan bebatuan karang itu tidak memiliki irigasi yang bersumber dari sungai seperti lahan di kawasan transmigrasi Timor Timur.
Hal itu membuat lahan tersebut tidak dapat ditanami padi yang merupakan tanaman pangan utama yang dibudidayakan transmigran di Timor Timur. Untuk mendapatkan air saja susah sehingga harus mengandalkan air hujan.
Seiring berjalannya waktu, ucap Nengah, sudah banyak petani eks transmigran Timor Timur yang membuat sumur air tanah dengan kedalaman berkisar 25-65 meter. Modal yang dikeluarkan cukup besar, bisa mencapai Rp 35 juta-Rp 65 juta.
”Kami juga sudah memiliki satu embung bersumber dari sumur air tanah dan air hujan yang dikelola dengan sistem pengairan subak. Namun, embung dan pipanisasi menuju lahan-lahan pertanian masih sangat terbatas sehingga subak tidak berjalan maksimal,” kata Nengah yang juga Ketua Serikat Petani Banjar Adat Bukit Sari tersebut.
Baca juga: Konflik Agraria Meningkat Sepanjang 2022, Kemauan Politik Kunci Penyelesaian
Lahan HGU
Dua puluh lima kilometer dari Desa Sumber Klampok, tepatnya di Kampung Sendang Sari, Desa Pamuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, 683 keluarga petani juga tengah gundah. Mereka adalah petani generasi kedua dan ketiga buruh dan petani penggarap perkebunan kapas dan kelapa Belanda yang dikelola Henry Nicholas Boon.
Generasi pertama petani penggarap perkebunan itu telah bertani dan bermukim sejak 1917-1922. Hal itu terjadi setelah pada 1915 tanah tersebut ditetapkan sebagai persil Hak Erfpacht No 18 yang dipegang Boon. Ketika tanah perkebunan itu beralih menjadi hak guna usaha (HGU) PT Margarana yang berlaku pada 1980-2005, mereka ada yang bekerja di perusahaan itu dan ada yang tetap bertani di kawasan tersebut.
Kalau lahan saya menjadi berkurang, bahkan diambil seluruhnya oleh pemerintah, saya dan keluarga saya bisa hidup dari apa? Lahan ini merupakan satu-satunya sumber hidup kami.
Komang Lara Yasa (40), petani Kampung Sendang Sari, Selasa (8/1/2024), mengaku melanjutkan mengelola lahan eks HGU PT Margarana dari kakek dan ayahnya. Lahan seluas 40 are (0,4 ha) itu ditanami jagung, cabai, serta sayuran dan kacang-kacangan.
Dari hasil panen itu, ia mampu mencukupi kebutuhan hidup keseharian istri dan tiga anaknya. Bahkan, berkat lahan itu pula, ia bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi mengambil jurusan pariwisata.
”Kalau lahan saya menjadi berkurang bahkan diambil seluruhnya oleh pemerintah, saya dan keluarga saya bisa hidup dari apa? Lahan ini merupakan satu-satunya sumber hidup kami,” ujarnya.
Baca juga: Kasus Rempang Puncak Gunung Es Konflik Agraria
Kekhawatiran Yasa tak lepas dari rencana Pemprov Bali mengambil kembali tanah itu karena merupakan aset pemerintah. Pemprov Bali telah membeli lahan seluas 240,63 ha itu dari HCO Zimmermann, ahli waris Boon, pada Agustus 1951 dan memenangi gugatan atas lahan itu terhadap PT Margarana pada 2018.
Pada 2016 atau dua tahun sebelum putusan final gugatan lahan itu keluar, KPA bersama Serikat Petani Suka Makmur (SPSM) mengusulkan lahan itu sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Setelah disetujui sebagai kawasan LPRA, redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria bisa dilakukan.
Seiring berjalannya waktu, Pemprov Bali menggulirkan dua opsi. Opsi pertama, dari 240,63 ha, redistribusi lahan bagi petani seluas 85,76 ha. Lahan itu termasuk untuk petani, desa, desa adat, kawasan pura, fasilitas umum, peternakan, bahkan untuk TNI seluas 5 ha.
Opsi kedua, warga yang mendiami kawasan eks HGU PT Margarana di Sendang Sari mendapat 120,3 ha atau sekitar 50 persen dari total luas lahan. Alokasi lahan tersebut diberikan untuk warga penggarap, desa, desa adat, kawasan pura dan kuburan, fasilitas umum, dan peternakan. Namun, alokasi lahan seluas 5 ha untuk TNI akan diambil dari bagian milik Pemprov Bali.
”Kami juga menolak opsi kedua itu karena bakal ada warga atau petani yang kehilangan lahan, bahkan permukiman. Tidak mungkin mereka yang kehilangan lahan dan permukiman menempati lahan warga lain di lokasi itu. Bisa menimbulkan konflik internal warga nanti,” kata Ketua SPSM M Rasik.
Rasik menambahkan, KPA dan SPSM meminta agar ada kajian ulang dari hasil opsi kedua tersebut. Hal itu perlu dilakukan karena SPSM tidak dilibatkan oleh Tim 13 atau tim penyelesaian sengketa lahan tersebut. Selain itu, ada sejumlah anggota Tim 13 yang tidak menandatangani opsi tersebut.
KPA dan SPM juga meminta agar seluruh lahan itu diserahkan kepada warga. Dari 683 petani anggota SPSM di lokasi itu, 148 anggota SPSM adalah petani gurem. Selebihnya adalah petani yang mengolah lahan berkisar 1-3 ha.
”Jika lahan berkurang, guremisasi bisa terjadi. Bahkan, petani gurem menjadi semakin gurem,” ujar Rasik yang juga Wakil Ketua Tim 13.
Tidak gegabah
Koordinator KPA Wilayah Bali Made Indrawati mengatakan, petani eks transmigran Timor Timor dan eks lahan HGU PT Margarana meminta pelepasan atau redistribusi lahan tidak dengan gegabah. Petani eks transmigran telah mengelola lahan pertanian sembari menjaga kawasan TNBB.
Selain mengembangkan ekonomi dan budaya setempat, mereka juga tengah menyiapkan skema pengembangan pariwisata berbasis konservasi dan edukasi. Lahan garapan tidak hanya untuk pengembangan pertanian, tetapi juga untuk homestay dan food forest.
”Mereka ingin mengembangkan filosofi nyegara gunung (laut dan gunung merupakan satu kesatuan tak terpisahkan). Ini mengingat lahan garapan eks transmigran Timor Timur berada di kawasan perbukitan dan tidak jauh dari laut,” katanya.
Mereka ingin mengembangkan filosofi nyegara gunung. Ini mengingat lahan garapan eks transmigran Timor Timur berada di kawasan perbukitan dan tidak jauh dari laut
Adapun petani di lahan eks HGU PT Margarana yang tergabung dalam SPSM, lanjut Indrawati, telah mencetuskan desanya sebagai Desa Maju Reforma Agraria (Damara). Mereka mengembangkan peternakan sapi serta membudidayakan jagung yang bisa dipanen dalam dua bulan, sejumlah tanaman buah, dan sorgum dalam satu kebun kolektif.
Selain itu, mereka juga mulai menerapkan pertanian terintegrasi. Misalnya saja, dengan memanfaatkan rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman pangan untuk pakan ternak, hingga kotoran hewan untuk pupuk.
”Kami telah meminta Kementerian ATR/BPN turut menyelesaikan konflik agraria di dua wilayah ini. Kami juga telah mengirimkan permohonan audiensi kembali ke KLHK dan Pemprov Bali pada akhir tahun lalu. Kini kami tengah menunggu jawabannya,” kata Indrawati.
Baca juga: Reforma Agraria di Tahun Politik
Pemprov Bali
Menurut Pemprov Bali, lahan seluas 246 hektar, yang berada di Dusun Sendang Pasir, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, seluruhnya merupakan aset Pemerintah Provinsi Bali. Secara hukum, aset lahan tersebut adalah milik Pemerintah Provinsi Bali. Namun, pemerintah berkeinginan agar masyarakat juga mendapatkan manfaat dari pengelolaan aset pemerintah itu.
“Kalau (masyarakatnya) minta, boleh saja,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra saat ditemui di kompleks Kantor Gubernur Bali, Kota Denpasar, Selasa (16/1/2024). “Namun, secara hukum, aset (lahan) itu milik pemprov,” kata Dewa menambahkan.
Aset Pemprov Bali, yang dimaksudkan adalah lahan di Dusun Sendang Pasir, Pemuteran, Buleleng, seluas 246 hektar. Lahan tersebut dibeli Pemprov Bali dari ahli waris Henry Nicholas Boon tahun 1951. Setelah lahan tersebut selesai dikelola perusahaan, pada tahun 2011 Pemprov Bali mengajukan gugatan terkait tanah eks-HGU di Desa Pemuteran hingga diputuskan Mahkamah Agung pada 2018, yakni tanah seluas 2.465.000 meter per segi (246 hektar) itu milik Pemprov Bali dengan putusan MA No 991PK/Pdt/2018.
Akan tetapi, lahan tersebut sudah digarap petani, yang juga bermukim, sejak 1917. Permukiman itu berkembang sampai saat ini, begitu pula penggarapan lahannya oleh petani. Terkait upaya pengelolaan dan kepemilikan lahan tersebut, Penjabat (Pj) Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana kepada Kompas, Senin (15/1), mengatakan, kepemilikan maupun pengelolaan lahan di Dusun Sendang Pasir, Pemuteran, Buleleng, itu merupakan kewenangan Pemprov Bali.
“Kami dari Pemkab Buleleng hanya memfasilitasi karena warga merupakan masyarakat kami,” kata Lihadnyana. “Pada prinsipnya, untuk kesejahteraan masyarakat, kami membantu,” ujar Lihadnyana menambahkan.
Lebih lanjut, di Kota Denpasar, Selasa (16/1), Sekda Bali Dewa mengatakan, Pemprov Bali juga berkeinginan agar masyarakat setempat juga mendapatkan manfaat dari lahan itu. Namun, menurut Dewa, proses tersebut harus memenuhi ketentuan sehingga Pemprov Bali tetap berada dalam koridor perundang-undangan dalam hal pengelolaan aset.
“Mari kita berunding agar bagaimana supaya pemprov tetap dalam koridor perundang-undangan dalam pengelolaan aset, tetapi warga masyarakat di (Sendang Pasir) sana bisa juga mendapatkan manfaat,” ujar Dewa.
Mengenai pengelolaan lahan di Dusun Sendang Sari, Pemuteran, tersebut, menurut Dewa, pengelolaan dan pemanfaatan aset tergantung pada tata ruang daerah. Dewa mengakui, hingga saat ini, Pemprov Bali belum merencanakan pemanfaatan aset lahan di Dusun Sendang Sari, namun secara prinsip, Pemprov Bali akan tetap mengamankan aset milik pemprov di Dusun Sendang Sari tersebut.
Baca juga: Riuh Redam Suara Petani Lampung Menuntut Reforma Agraria