Menanti Pemerintah ”Buka-bukaan” Data Kemiskinan yang Sebenarnya
Jumlah penduduk miskin di Indonesia semestinya jauh lebih banyak dari yang terekam di data pemerintah.
Warga menjemur bantalnya di antara rel yang melalui kawasan hunian semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Data kemiskinan di Indonesia dinilai tidak akurat lantaran masih mengacu pada standar garis kemiskinan yang usang dan terlalu rendah. Kenyataannya, jumlah penduduk miskin RI lebih banyak dari data yang terekam saat ini. Rencana pemerintah merevisi metodologi pengukuran garis kemiskinan diharapkan tidak hanya berujung wacana belaka.
Saat ini, setidaknya per Maret 2023, ada 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang pengeluarannya dalam sebulan ada di bawah standar garis kemiskinan, yaitu Rp 550.458 per kapita per bulan. Warga yang konsumsinya di atas garis tersebut tidak lagi dianggap miskin meski kenyataannya mereka masih hidup sangat rentan.
Penelitian oleh SMERU Research Institute menyebut, standar garis kemiskinan yang digunakan saat ini untuk mengukur angka kemiskinan terlalu rendah. Standar itu tidak relevan lagi dengan status ekonomi Indonesia yang sudah naik kelas dari negara berpendapatan rendah.
Baca juga: Mengungkap Orang-orang Miskin yang Tersembunyi
Pada 2023, Indonesia telah termasuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country) dengan produk nasional bruto (PNB) per kapita sebesar 4.580 dollar AS.
Berdasarkan standar negara menengah atas itu, seseorang semestinya baru dianggap miskin jika pengeluarannya kurang dari 6,85 dollar AS PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Jauh dari standar garis kemiskinan RI saat ini (Rp 550.458 per bulan) yang justru lebih dekat dengan standar rata-rata negara berpendapatan rendah.
Peneliti utama SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, Minggu (14/1/2024), mengatakan, standar garis kemiskinan itu sudah tidak relevan karena pemerintah masih mengacu pada metodologi pengukuran garis kemiskinan yang berlaku sejak tahun 1998 dan belum pernah dievaluasi.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah menyeriusi rencana merevisi metodologi penghitungan garis kemiskinan dan menaikkan standar pengukuran kemiskinan di Indonesia.
Berdasarkan perhitungan Bank Dunia, per 2022, penduduk miskin di Indonesia semestinya ada 44 juta orang.
Harapannya, data kemiskinan yang sebenarnya bisa terungkap ke publik. Lebih banyak pula masyarakat rentan yang bisa dilindungi pemerintah lewat perlindungan sosial, setelah selama ini mereka tidak bisa mengakses bantuan sosial karena dianggap non-miskin.
”Metodologi penghitungan garis kemiskinan yang kita pakai sudah tidak sesuai lagi karena sudah berusia 26 tahun. Selama periode tersebut, pola konsumsi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, sudah banyak berubah,” kata Asep saat dihubungi di Jakarta.
Akhir-akhir ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang mengkaji metodologi pengukuran garis kemiskinan yang lebih relevan dengan kondisi riil masyarakat.
Menurut Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas Maliki, aspek yang sedang dievaluasi adalah pendekatan moneter yang dipakai dalam menghitung garis kemiskinan. Pendekatan moneter biasanya diukur melalui rata-rata biaya yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan (cost of basic needs).
Meski demikian, sejauh ini, rencana dan detail kajian itu belum dibuka blak-blakan ke publik. Belum jelas pula apakah hasil evaluasi itu untuk diterapkan di pemerintahan Joko Widodo saat ini atau sepenuhnya diwariskan ke pemerintahan berikutnya sebagai pemenang Pemilu 2024.
Baca juga: Utak-atik Garis Kemiskinan Menuju Target Nol Persen
Jangan hanya wacana
Rencana merevisi dan menaikkan garis kemiskinan itu diharapkan tidak hanya berujung wacana belaka meski konsekuensinya, penduduk miskin Indonesia di atas kertas bisa ikut bertambah.
Berdasarkan perhitungan SMERU, dengan mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), per 2023, ada sekitar 78 juta orang Indonesia yang termasuk kategori rentan miskin atau sekitar tiga kali lipat dari jumlah orang miskin saat ini. Sementara, berdasarkan perhitungan Bank Dunia, per 2022, penduduk miskin di Indonesia semestinya ada 44 juta orang.
Untuk mengantisipasi hal itu, ada beberapa hal yang perlu disiapkan pemerintah. Selain kerelaan politik untuk mendata angka kemiskinan yang lebih tinggi, kemampuan fiskal juga perlu ditingkatkan dan dipilah-pilah untuk melindungi lebih banyak orang miskin.
”Ada banyak hal yang perlu di-adjust. Bukan hanya kenaikan anggaran penanggulangan kemiskinan, strategi pertumbuhan ekonomi juga perlu dibuat lebih inklusif. Program mengatasi kemiskinan seperti bansos juga harus lebih efektif,” ujar Asep.
Angka kemiskinan akan naik, tetapi itu konsekuensi yang harus dihadapi.
Ia berharap, metodologi baru itu mampu menangkap fenomena kemiskinan di masyarakat dengan tepat agar tidak terjadiundercounting(masyarakat yang sebenarnya miskin tetapi tidak dihitung miskin) dan overcounting (masyarakat yang tidak miskin tetapi dihitung miskin).
Metodologi baru itu juga harus bisa mengukur kemiskinan secara konsisten antarwilayah. Artinya, jangan sampai seseorang dengan kondisi tertentu dihitung miskin di suatu wilayah, tetapi dihitung tidak miskin di wilayah lain padahal sebenarnya kondisinya sama.
”Kalau garis kemiskinan riil tidak konsisten antarwilayah, solusi mengatasi kemiskinan cukup dengan memindahkan orang miskin di wilayah yang garis kemiskinannya tinggi ke wilayah yang garis kemiskinannya rendah. Itu tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya,” kata Asep.
Belajar dari Malaysia
Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, Indonesia bisa belajar dari negara lain, salah satunya Malaysia. Pada tahun 2016, Malaysia mengklaim tingkat kemiskinan nasionalnya terendah di dunia yakni 0,4 persen. Namun, dunia internasional mengungkap klaim itu tidak realistis karena menggunakan standar garis kemiskinan lama yang terlalu rendah.
Pemerintah Malaysia pun akhirnya menaikkan garis kemiskinannya pada 2019 hingga lebih dari 100 persen, dari awalnya 980 ringgit menjadi 2.280 ringgit. Konsekuensinya, angka kemiskinan di Malaysia naik dari hampir nol persen menjadi 6 persen.
Namun, kenaikan angka kemiskinan itu justru dinilai positif oleh banyak pihak karena mampu menggambarkan kondisi kemiskinan sebenarnya. Pemerintah Malaysia pun lebih diapresiasi warganya sebab lebih banyak penduduk rentan yang kesejahteraannya dijamin negara.
”Evaluasi garis kemiskinan ini sudah jadi standar di negara mana pun. Angka kemiskinan akan naik, tetapi itu konsekuensi yang harus dihadapi karena kita sudah naik kelas jadi negara upper-middledan standar basic needsmasyarakat sudah berubah dari 26 tahun lalu,” kata Teguh.