Ekspor Minyak Sawit Indonesia Diperkirakan Kembali Turun
Ekspor minyak sawit pada 2024 diproyeksi 29 juta ton atau 4,13 persen lebih rendah dibandingkan ekspor tahun 2023.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
KARACHI, KOMPAS — Ekspor minyak sawit Indonesia pada 2024 diperkirakan kembali menurun. Kondisi ini disebabkan penurunan produksi serta peningkatan konsumsi dalam negeri sebagai konsekuensi kewajiban pemenuhan kebutuhan campuran biodiesel B35.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, peningkatan kebutuhan wajib biodiesel di Indonesia menjadi B35 mengakibatkan kebutuhan biodiesel dalam negeri mencapai 10,8 juta ton pada 2023.
“Penggunaan dalam negeri akan terus meningkat dan kami memperkirakan total konsumsi dalam negeri akan menjadi 25 juta ton jika kewajiban biodiesel dipertahankan pada 35 persen,” kata dia, Sabtu (13/1/2024), dalam pembukaan Konferensi Minyak Nabati Pakistan (PEOC) 2024 di Karachi, Pakistan.
Dari sisi ekspor, total ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 30 juta ton pada tahun 2023. Pada 2024, Gapki memperkirakan produksi akan cenderung stagnan atau paling tinggi meningkat sebesar 5 persen.
Dengan demikian, ekspor di tahun ini diproyeksi sebesar 29 juta ton atau 4,13 persen lebih rendah dibandingkan ekspor tahun 2023. Sebagai perbandingan, pada tahun 2022 ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 34 juta ton.
Terlebih lagi, jika industri penerbangan Indonesia mulai menggunakan minyak sawit berbasis bioavtur, Indonesia akan mengurangi pasokan minyak sawitnya ke pasar global.
Peremajaan tanaman
Penurunan produksi minyak sawit ini juga disinggung sejumlah analis. “Produksi minyak sawit sejak 2019 telah turun jauh di bawah tren. Ini menjadi alarm penurunan produktivitas rata-rata yang dihasilkan,” kata Thomas Mielke, Direktur OilWorld, Sabtu (13/1/2024) dalam sesi pemaparan di PEOC 2024.
Mielke mengatakan, penurunan ini antara lain disebabkan permasalahan peremajaan tanaman yang lambat. Ia mencontohkan, sekitar 30 persen tanaman sawit di Malaysia berusia di atas 19 tahun sehingga tak lagi produktif. Ada pula permasalahan bibit berkualitas dan biaya operasional perkebunan yang meningkat.
Hingga saat ini minyak sawit tetap menjadi tulang punggung utama untuk memenuhi permintaan minyak nabati dunia.
Mielke memperkirakan pertumbuhan produksi minyak sawit pada 2023-2024 terendah dalam empat tahun terakhir di antara minyak nabati lain, seperti kedelai, bunga matahari, dan rapeseed. Produksi sawit diperkirakan stagnan hingga tumbuh 0,2-0,3 juta ton.
Meski demikian, minyak sawit tetap mendominasi hingga 54 persen ekspor minyak nabati dunia. “Hingga saat ini minyak sawit tetap menjadi tulang punggung utama untuk memenuhi permintaan minyak nabati dunia,” katanya.
Julian Conway McGilll, Managing Director Glenauk Economics, mengatakan, kebun sawit di Indonesia tak lagi berekspansi. Hal ini berdampak pada penurunan produksi sawit.
Di sisi lain, ia pun mengatakan dampak El Nino pada sawit tak sebesar yang diperkirakan. Hal ini karena dampak El Nino minim pada curah hujan di Indonesia sehingga tidak mengganggu produktivitas.
“Meski demikian, pertumbuhan produksi minyak sawit masih terbatas,” tuturnya.
McGill juga menyoroti kebijakan campuran bahan bakar solar (biodiesel) yang kini mencapai B35. Hal ini meningkatkan konsumsi dalam negeri sehingga berpengaruh pada minyak sawit yang dapat diekspor. Hal ini perlu diwaspadai para pelaku bisnis yang menggantungkan impor minyak sawit dari Indonesia.