APBN 2023, Pemerintah Tidak Lagi Berutang untuk Bayar Utang
Penerimaan negara sepanjang tahun 2023 tumbuh kuat sehingga pemerintah tidak lagi harus berutang untuk membayar utang.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja APBN terakhir pemerintahan Joko Widodo ditutup dengan ”rapor” yang ”hijau”. Keuangan negara akhirnya kembali mencatat surplus keseimbangan primer sejak 11 tahun terakhir serta mencapai defisit fiskal terendah sejak 12 tahun terakhir. Penerimaan negara sepanjang tahun 2023 tumbuh kuat sehingga pemerintah tidak lagi harus berutang untuk membayar utang.
Kementerian Keuangan mencatat, pada tahun 2023, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membukukan keseimbangan primer yang positif atau surplus Rp 92,2 triliun. Capaian itu jauh di atas target awal. Semula, pemerintah menargetkan keseimbangan primer di APBN 2023 akan defisit sebesar Rp 156,8 triliun.
Ini pertama kalinya APBN kembali mengalami surplus keseimbangan primer sejak tahun 2012. Selama 11 tahun terakhir, Indonesia sudah mengalami defisit keseimbangan primer. Defisit itu terjadi ketika belanja pemerintah pusat (di luar belanja pembayaran bunga utang) lebih besar daripada penerimaan yang masuk.
Keseimbangan primer yang selama ini defisit mengindikasikan, pemerintah harus menarik utang baru demi membayar bunga utang, alias gali lubang tutup lubang, akibat penerimaan negara yang tidak cukup besar untuk menutupi seluruh kebutuhan belanja pemerintah.
”Ini pertama kalinya keseimbangan primer kita kembali surplus sejak 2012. Awalnya kita targetkan bakal defisit, tetapi ternyata kita berakhir dengan surplus yang sangat tinggi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita di kantor Kementerian Keuangan, Selasa (2/1/2024).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menambahkan, keseimbangan primer yang kembali surplus itu menunjukkan kinerja penerimaan negara sepanjang tahun tumbuh kuat sehingga mampu membiayai kebutuhan belanja negara, termasuk beban pembayaran bunga utang pemerintah yang pada 2023 diproyeksikan sebesar Rp 436,4 triliun atau setara 14 persen dari APBN.
”Artinya, APBN kita sudah kembalisustainable. Penerimaan negara sepanjang tahun lalu tinggi, bisa melebihi kebutuhan belanja kita, sehingga keseimbangan primer kita pun menjadi positif. Itu salah satunya dicerminkan oleh bunga utang yang menurun pada tahun 2023,” kata Febrio seusai konferensi pers.
Keseimbangan primer yang selama ini defisit mengindikasikan, pemerintah harus menarik utang baru demi membayar bunga utang.
Seiring dengan itu, APBN pun membukukan defisit sebesar 1,65 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 347,6 triliun. Realisasi itu jauh lebih rendah dari target awal di APBN 2023 sebesar Rp 598,2 triliun (2,84 persen terhadap PDB) dan outlook sebesar Rp 479,9 triliun (2,27 persen terhadap PDB).
Seperti keseimbangan primer yang surplus, defisit APBN juga bisa ditekan hingga menyentuh level terendah sejak 2011 akibat kinerja penerimaan negara yang tinggi sepanjang 2023.
Kemenkeu mencatat, penerimaan APBN mencapai Rp 2.774,3 triliun atau 112,6 persen melampaui target, tumbuh 5,3 persen dibandingkan tahun 2022. Sementara itu, belanja pemerintah mencapai Rp 3.121,9 triliun atau 102 persen dari target APBN, tumbuh 0,8 persen secara tahunan.
Utang terjaga
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Suminto mengatakan, keseimbangan primer yang positif pada tahun 2023 mengindikasikan pengelolaan utang dapat terjaga dalam kondisi aman meskipun secara total outstanding utang pemerintah telah menembus Rp 8.041,01 triliun per akhir November 2023.
Jika dibandingkan, sejak tahun 2014 pemerintahan Jokowi, dalam sembilan tahun terakhir, telah terjadi penambahan utang sebesar Rp 5.432,32 triliun. Namun, Suminto menegaskan, rasio utang terhadap penerimaan negara masih dalam batas aman, salah satunya tampak dari keseimbangan primer yang positif pada tahun 2023.
Pengelolaan utang yang terjaga itu, menurut Suminto, juga tampak dari rasio utang terhadap PDB. Pada akhir November 2023, rasio utang pemerintah adalah 38,11 persen, turun dari posisi Desember 2022 yang sebesar 39,7 persen. Sebelumnya, pada tahun 2021, rasio utang pemerintah sempat melejit hingga 40,7 persen saat pandemi akibat kebutuhan belanja yang besar untuk pemulihan ekonomi.
”Jadi dalam melihat pengelolaan utang pemerintah, kita tidak bisa hanya sekadar melihat nominal outstanding utang yang semakin besar. Sebab, pada saat yang sama, ekonomi kita terus tumbuh, PDB semakin besar, penerimaan negara juga semakin tinggi. Indikator portofolio utang pemerintah semakin baik dari waktu ke waktu,” katanya.