Tingginya tingkat suku bunga acuan menjadi faktor utama lantaran mengakibatkan peningkatan biaya modal (capital cost) serta biaya peluang (opportunity cost).
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena tech wintermasih melanda sektor usaha rintisan bidang teknologi finansial dan diperkirakan akan berlanjut pada 2024. Oleh sebab itu, para pelaku usaha rintisan diharapkan lebih bijak dalam mengambil keputusan bisnis mengingat para investor akan lebih selektif dalam mengalokasikan pembiayaan.
Hal ini mengemuka dalam Catatan Akhir Tahun 2023 Industri Financial Technology dan Ekonomi Digital oleh Indonesia Fintech Society (IFSoc) secara daring, Jumat (29/12/2023). Hadir sebagai pembicara, antara lain Ketua IFSoc Rudiantara, serta para anggota Steering Committee yang terdiri dari Hendri Saparini, Andreas Maryoto, Wahyu Dhyatmika, Eddi Danusaputro, Dyah N K Makhijani, serta Tirta Segara.
Terdapat tujuh isu yang menjadi sorotan IFSoc selama 2023, salah satunya bertajuk badai (tech winter) belum berakhir di 2023. Istilah tech winter menggambarkan fenomena perusahaan rintisan (startup) yang mulai berjatuhan satu per satu. Hal ini disebabkan oleh kenaikan biaya modal, sehingga para investor menjadi lebih selektif dalam menempatkan dana investasinya untuk mengoptimalkan pengembalian investasi sekaligus meminimalkan risiko.
”Winter (badai) saat ini memang masih berlangung. Kemungkinan, berdasarkan proyeksi, pada 2024, winter tech akan berlanjut selama kebijakan tingkat suku bunga acuan tinggi masih berlaku,” kata Eddi.
Tingginya tingkat suku bunga acuan menjadi faktor utama lantaran mengakibatkan peningkatan biaya modal (capital cost) serta biaya peluang (opportunity cost). Kondisi tersebut membuat para investor secara global memilih untuk menempatkan investasinya pada instrumen yang minim risiko, seperti obligasi, dan cenderung akan mengambil sikap wait and see.
Selain itu, faktor yang menyebabkan tech winter, antara lain kondisi makro ekonomi global, konflik geopolitik, serta kebijakan proteksi ekspor bahan pangan. Apalagi, di Indonesia sedang memasuki tahun politik sehingga pilihan sikap investor asing akan cenderung wait and see.
Saat ini, ekosistem yang terbentuk sudah lebih matang karena mengedepankan keberlanjutan profit, ketimbang valuasi. Di sisi lain, dibutuhkan peran pemerintah melalui kebijakan ekonomi digital di tengah tech winter, agar perusahaan teknologi mendapatkan alternatif pembiayaan, misalnya modal ventura milik negara. Selain itu, dibutuhkan lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi talenta digital,
Sementara itu, para investor lokal berpelat merah masih tetap aktif menanamkan modalnya, meski tetap dilakukan secara selektif. Secara umum, para investor tidak lagi melihat usaha rintisan dari segi valuasi melainkan lebih kepada keberlanjutan dan profitabilitas.
”Saat ini, ekosistem yang terbentuk sudah lebih matang karena mengedepankan keberlanjutan profit, ketimbang valuasi. Di sisi lain, dibutuhkan peran pemerintah melalui kebijakan ekonomi digital di tengah tech winter, agar perusahaan teknologi mendapatkan alternatif pembiayaan, misalnya modal ventura milik negara. Selain itu, dibutuhkan lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi talenta digital,” imbuh Eddi.
Eddi menambahkan, gelontoran pembiayaan masih menggeliat terhadap perusahaan rintisan yang tengah memulai usahanya (early state). Namun, perusahaan rintisan perlu lebih bijak dalam mengambil keputusan seperti mengurangi ekspansi, mengurangi pomosi, dan melakukan efisiensi.
Dengan begitu, lanjut Eddi perusahaan rintisan dapat memperpanjang napas atau perkiraan waktu sebelum perusahaan rintisan kehabisan dana (run away). Selain itu, sektor yang terkait dengan keberlanjutan pangan kiranya masih menarik pada 2024, antara lain pertanian, perikanan, peternakan, energi, dan hijau.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan piutang pembiayaan sektor lembaga pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan jasa, dan lembaga jasa keuangan lainnya (PVML) per Oktober 2023 tercatat sebesar 15,02 persen secara tahunan menjadi Rp 463,12 triliun. Torehan tersebut turun tipis dibandingkan dengan periode September 2023 yang sebesar 15,42 persen.
Lebih lanjut, pertumbuhan modal ventura pada Oktober 2023 tercatat tumbuh negatif sebesar 2,95 persen secara tahunan menjadi Rp 17,28 triliun. Capaian ini juga terhitung lebih rendah dibandingkan dengan periode September 2023 yang mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar Rp 17,68 triliun atau tumbuh negatif 1,17 persen secara tahunan.
Selain tech winter, IFSoc turut menyoroti sejumlah isu lain, seperti kepastian hukum pelindungan data pribadi (PDP), ekuilibrium pasar kripto Indonesia, optimalisasi QRIS, peran pinjaman daring sebagai pembiayaan alternatif, kode etik kecerdasan buatan, serta upaya memerangi fraud. Kepastian hukum PDP menjadi salah satu isu penting mengingat penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang PDP menyisakan waktu transisi satu tahun.
Rudiantara mengatakan, dalam kurun waktu setahun, pemerintah perlu segera membahas RPP PDP dalam kurun waktu setahun. Selain itu, perlu ada kepastian pembentukan lembaga PDP mengingat banyak terjadi kasus kebocoran data.
”PDP sangat urgen karena menjadi akan bagian hulu dari tindak lanjut pemerintah. Proses tersebut membutuhkan keputusan Presiden yang terutama akan mengatur tentang lembaga penyelenggara PDP. Lembaga tersebut menjadi kunci dari pelaksanaan PDP,” ujarnya.
Dalam proses penerapannya, aspek biaya menjadi tantangan utama, baik bagi perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Berkaca dari pengalaman perusahaan di sejumlah negara yang telah menerapkan PDP, sebuah perusahaan diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp 2,5 juta dollar AS pada 2024, terutama untuk Data Privacy Officer (DPO) guna mengelola data pribadi. .
Rudiantara menegaskan, penerapan PDP sebaiknya menjadi perhatian utama perusahaan yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Langkah tersebut sekaligus menunjukkan respons kebijakan yang proporsional terhadap jumlah data yang dipegang secara lebih terukur dan berbasis risiko.
”Ini (penerapan PDP) akan berdampak besar pada peningkatan kepercayaan atas pelayanan fintech yang kondusif,” imbuhnya.