"Tech Winter" Dikabarkan Masih Akan Berlanjut Pada 2023
Fenomena ”tech winter” diperkirakan masih berlanjut sepanjang 2023. Meski demikian, kondisi ini tidak lantas membuat bisnis usaha rintisan bidang teknologi digital tidak lagi menarik. Inovasi teknologi masih dibutuhkan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomenatech wintermasih akan berlanjut pada tahun 2023. Situasi ini mendorong perusahaan rintisan bidang teknologi, dari berbagai tahapan usaha, untuk fokus mengejar inovasi model bisnis yang menghasilkan profit yang jelas.
Tech winteradalah kondisi kenaikan biaya modal yang memaksa investor untuk memperketat seleksi investasi mereka guna memaksimalkan pengembalian investasi dan menurunkan risiko. Peningkatan biaya modal dikarenakan faktor makroekonomi, seperti perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada harga energi dan rantai pasok global. Faktor lain yang berpengaruh adalah banyak konsumen yang beralih ke layanan digital pada masa pandemi Covid-19 lalu kini sebagian kembali sebelum pandemi secara cepat, seperti kembali menggunakan layanan luring.
”Tech wintersudah terjadi lama karena suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat masih tinggi. Perang Rusia-Ukraina masih berkecamuk. Daya beli konsumen juga relatif masih turun,” ujar Investment Partner GDP Venture Antony Liem pada diskusi ”Navigating Startups: Opportunities & Challenges 2023”, Rabu (15/3/2023), di Jakarta.
Tech winter adalah kondisi kenaikan biaya modal yang memaksa investor untuk memperketat seleksi investasi mereka guna memaksimalkan pengembalian investasi dan menurunkan risiko.
Karena tech winter diperkirakan masih berlanjut, kondisi ini semakin mengingatkan para perusahaan rintisan bidang teknologi atau start up untuk fokus menjalankan bisnis yang menguntungkan. Mendirikan start up jangan lagi dianggap ”gaya hidup”, lantas menekankan prestasi perusahaan sebatas pada perolehan pendanaan. Jika start up berhasil mendapatkan profit, perusahaan bisa membayar karyawan dan berdampak bagi masyarakat.
”Hal yang berpotensi membuat tech winter di Indonesia (berlangsung) lama bukan kabar kolapsnya Silicon Valley Bank, tetapi memang kondisi ketidakpastian makroekonomi. Juga, ada pengaruh dari internal sejumlah start up tertentu yang saat pandemi dan suku bunga rendah membuka banyak inovasi bisnis, tetapi malah tidak menghasilkan untung,” katanya.
Menurut Anthony, fenomenatech winterjuga mendorong sejumlah perusahaan modal ventura fokus mengutamakan fundamental bisnis kepada portofoliostart upmereka. Dia mengatakan, fenomena itu tidak dialami oleh GDP Venture. Sebagai investor korporat, GDP Venture sejak awal berdiri selalu mendorong portofoliostart up agar tidak mengejar hiper-pertumbuhan (hyper-growth).
CEO DailySocial, Rama Mamuaya, menyampaikan, sesuai laporan riset Start Up Report 2022:Towards More Sustainable Startup Ecosystem in Indonesia, jumlah putaran pendanaan meningkat pada 2022 tetapi nominal pengungkapan pendanaan turun dibandingkan pada 2021.
Pada 2021 terdapat 214 putaran pendanaan dan 127 di antaranya mengungkapkan nominal pendanaan sebesar 6,9 miliar dollar AS. Kemudian, pada 2022 terdapat 260 putaran pendanaan dan 166 di antaranya mengungkapkan nominal pendanaan sebesar 4,2 miliar dollar AS.
Adapun, sepanjang triwulan I-2023 terdapat 26 putaran pendanaan. Jumlah ini lebih rendah dibanding triwulan I-2022, yaitu 76 putaran pendanaan.
“Tidak ada latar belakang sektor industri tertentu yang mendominasi suntikan pendanaan kestart upsejauh ini (triwulan I-2023). Putaran pendanaan yang terjadi cenderung menyasar kestart uptahap awal,” kata dia.
Berdasarkan pengamatannya,start updi Indonesia yang masih tahap awal pun kini fokus memikirkan model bisnis yang menghasilkan profit. Apalagi,start upyang baru muncul tahun 2022 dan 2023. Mereka umumnya sudah mempunyai strategi model bisnis yang tepat beserta target tenggat mencetak untung, misalnya 3–4 tahun lagi. Dia menduga, tren tersebut untuk merespontech winter.
Start up di Indonesia yang masih tahap awal pun kini fokus memikirkan model bisnis yang menghasilkan profit.
Berdasarkan laporan riset DailySocial yang sama, Rama menyebutkan, terdapat sekitar 20 start up di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2022. Beberapa pendirinya mengakui keputusan itu diambil karena ada perubahan kondisi makroekonomi dan perilaku konsumen; proses dan tujuan bisnis; tidak lagi beroperasi di Indonesia; serta turbulensi pasar.
“Pada tahun 2022, kami juga mengamati ada beberapastart upkategoriquick commerce(e-dagang yang menawarkan pengiriman kilat) melakukan pivot bisnis karena gagal menemukan model bisnis yang cocok,” imbuh dia.
Managing Partner Ideosource, Edward Ismawan Chamdani, menambahkan, di tengah situasi sekarang, start up yang pernah melakukan upaya tumbuh dengan dana berlebih saat pandemi Covid-19 kini harus mencari titik keseimbangan agar tahapan menuju untung bisa lebih terjustifikasi. Salah satu strateginya adalah memangkas biaya-biaya yang masih bisa diefisienkan dan sebisa mungkin tanpa menurunkan kualitas layanan.
“Kami masih melihat sisi positif dari kondisi sekarang. Pekan lalu, kami menerima kabar bahwa ada salah satu perusahaan modal ventura global/regional ingin melakukan diversifikasi risiko. Caranya adalah fokus berinvestasi di Asia Tenggara, yang tentunya Indonesia jadi kontributor mayor,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira berpendapat, masalah gangguan suntikan pendanaan biasanya akan berpotensi membuatstart upmelakukan efisiensi biaya operasional. Hal ini bisa berpengaruh ke mitrastart up. Misalnya,start upyang banyak berhubungan dengan mitra pedagang. Karena ada masalah gangguan pendanaan, mitra dapat dikenaifeeyang lebih besar olehstart up.