Indonesia perlu menjajaki kerja sama dengan negara potensial untuk memaksimalkan ekspor. Produk pabrikan besar hingga kecil yang bisa bersaing di perdagangan global, di antaranya pakaian muslim dan produk organik.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor Indonesia diprediksi menurun pada 2024 karena faktor perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas. Untuk menyiasatinya, Indonesia bisa memperluas kerja sama dengan negara-negara lain dan memaksimalkan potensi produk ekspor.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai ekspor Januari-November 2023 sebesar 236,41 miliar dollar AS. Nilai itu menurun 11,83 persen dibandingkan kinerja periode sama di 2022 yang mencapai 268,12 miliar dollar AS. Pada periode sama, nilai impor juga terkontraksi 6,80 persen. Nilai neraca perdagangan pun turun meski tetap mencatat surplus sebesar 33,63 miliar dollar AS.
”Ini karena kondisi perekonomian memburuk. Permintaan pasar berkurang, harga ikut turun. Tahun depan diprediksi tidak berbeda meski neraca perdagangan tetap (diprediksi) akan surplus,” tutur Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso dalam konferensi daring Export Outlook 2024: Menjadikan Indonesia Eksportir Utama Dunia, Selasa (27/12/2023).
Budi menyoroti beberapa kelompok produk ekspor yang mengalami kontraksi nilai hampir setahun terakhir ini, di antaranya karet dan produk karet yang pada Januari-Oktober mengalami penurunan tahunan 23,60 persen. Kemudian, sawit turun 17,52 persen, tekstil dan produk tekstil turun 16,19 persen, dan elektronik 4,59 persen.
Kondisi perekonomian global menjadi penyebab melemahnya daya beli yang menurunkan permintaan ekspor barang. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), misalnya, memprediksi pertumbuhan ekonomi global di 2023 hanya 2,9 persen dan di 2024 turun hanya 2,7 persen.
Penurunan itu tidak hanya terjadi karena kondisi perekonomian global yang memburuk, Budi juga menyebut bahwa peraturan pembatasan perdagangan juga membuat ekspor Indonesia menurun. Contohnya, hambatan pada ekspor minyak sawit mentah (CPO) akibat kebijakan Uni Eropa berupa penerapan Undang-Undang Bebas Deforestasi (EUDR) (Kompas, 3/6/2023).
”Ada hambatan ekspor di 2023 seperti pada CPO. di Eropa mereka ingin menegosiasikan ekspor nikel yang kita tutup. Di sisi lain, mereka tetap butuh CPO dan tidak mudah dapat pengganti selain dari kita,” kata Budi.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, dalam kesempatan sama, mengatakan, faktor geopolitik lain, seperti perang antara Rusia dan Ukraina hingga Israel dan Gaza yang berlangsung hingga saat ini, juga jadi penghambat terbesar bagi kinerja ekspor Tanah Air.
Perang di wilayah Timur Tengah itu, misalnya, membuat pendistribusi barang dari Indonesia menuju wilayah Eropa tidak berani melalui Terusan Suez. Padahal, Eropa sebagai kawasan dengan tingkat pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar ke-3 dunia menjadi salah satu pasar penting produk ekspor Indonesia.
Alternatif lainnya bisa melalui Tanjung Harapan di Afrika, tetapi dengan penambahan biaya karena memakan waktu lebih lama dan ongkos lebih mahal.
”Namun, masalah ini seharusnya bukan hambatan. Kita bisa alihkan ekspor ke Afrika sehingga distribusi barang tidak perlu melalui Terusan Suez,” katanya.
Bukan hanya itu, Afrika yang dihuni hampir 2 miliar penduduk juga menjadi pasar produk ekspor yang bagus. Benny pun menyebut beberapa produk jadi dalam negeri yang sukses diterima pangsa pasar Afrika, seperti produk mi instan, sabun colek, hingga obat-obatan tanpa resep dokter.
Selain Afrika, pasar Timur Tengah juga dinilai punya potensi ekspor besar. Selain untuk kebutuhan penduduk setempat, produk ekspor dalam negeri juga berpotensi dimanfaatkan diaspora dan wisatawan Indonesia yang pergi ke negara-negara Timur Tengah, salah satunya Arab Saudi yang ramai dikunjungi jemaah umrah sepanjang tahun.
”Kenapa enggak kita gandakan penjualan kita? Jual barang-barang ke Afrika dan Timur Tengah. Itu prospek baru yang harus kita tekuni. Eropa sudah mulai memasuki masa sunset (senja) sebagai pasar,” ujarnya.
Sementara itu, ia juga melihat pasar ekspor Amerika Serikat kembali pulih setelah bank sentral AS (The Federal Reserve) tidak lagi agresif menaikkan suku bunga.
Tahun 2024, Indonesia juga masih bisa menggarap lebih serius produk yang potensial untuk jangka panjang. Beberapa produk olahan industri besar hingga usaha kecil dalam negeri bisa bersaing di perdagangan global.
Asisten Deputi Kemitraan dan Perluasan Pasar Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) Fixy, dalam diskusi itu menyampaikan, produk ekspor yang masih memiliki peluang bagus di 2024 tidak hanya produk pabrikan besar, tetapi juga produk ekonomi kreatif.
Kemenkop UKM menangkap setidaknya ada dua kategori produk ekspor yang bisa diperluas pasarnya, yakni pakaian muslim (modest fashion) dan produk ramah lingkungan.
”Penduduk Muslim di negara kita merepresentasikan 13 persen Muslim di seluruh dunia. Kita harus punya power untuk mempengaruhi modest fashion global. Ini prospek jangka panjang. Jadi, bukan hanya di 2024, kita perlu branding dan mendapat pengakuan dunia internasional bahwa kita diakui untuk sektor tersebut,” tuturnya.
Produk ramah lingkungan seperti pangan organik juga prospektif. Produk itu, menurut Fixy, akan tetap dicari pasar di Eropa yang menjadi kawasan konsumen produk organik kedua terbesar di dunia setelah Amerika Utara.
”Produk yang mengusung keberlanjutan lingkungan dan ekonomi hijau akan penting di dunia internasional, terlepas dari pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Eksportir juga bisa memaksimalkan produk-produk dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan negara berkembang dengan pasar besar seperti China. Kendati pertumbuhan ekonomi tahunan China diprediksi melambat di kisaran 5 persen, beberapa produk ekspor Indonesia masih jadi unggulan.
”Komoditas potensial untuk produk ekspor Indonesia di China adalah sarang burung walet, kelapa, durian, dan kopi,” sebut Parulian Silalahi dari Kedutaan Besar RI (KBRI) Beijing.
Sarang burung walet asal Kalimantan dan Sumatera masih diminati karena memiliki kualitas lebih baik dibanding negara pengekspor lain, seperti Malaysia. Parulian pun mengingatkan agar produsen terus meningkatkan kualitas dan kepastian suplai. Produsen dalam negeri juga bisa mulai melakukan hilirisasi dalam produksi sarang walet untuk memberi nilai tambah.
”Kelapa juga cukup lumayan tinggi meski kita masih ada pesaing seperti Thailand dan Filipina. Tapi, Indonesia punya potensi besar dengan ketersediaan lahan dan kontur untuk pertumbuhan kelapa yang besar untuk memenuhi minat masyarakat China,” lanjutnya.
Komoditas perkebunan durian juga punya peluang untuk meningkat dua kali lipat dari yang sudah dikerjakan saat ini. Hanya saja, Indonesia perlu menghilangkan peran negara ketiga sebagai perantara seperti Vietnam dan Thailand agar menambah nilai produk. Selanjutnya, kopi juga berpotensi besar karena adanya tren minum kopi di ”Negara Tirai Bambu”.
”Masyarakat China aslinya peminum teh, tapi konsumsi kopi sedang meningkat, seperti di Shanghai. Sementara, kopi kita terkenal dan punya potensi besar. Jadi, bagus kita manfaatkan untuk menjajaki peluang ekspor kopi ke China,” ujarnya.