Cegah Ledakan Tungku Smelter Berulang, Kemenaker Tambah Tenaga Pengawas
Aspek keselamatan dan kesehatan kerja menjadi persoalan serius agar insiden kecelakaan kerja tidak kembali terulang. Peningkatan kompetensi dan jumlah tenaga pengawas dinilai tidaklah cukup.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Ketenagakerjaan tengah mengusulkan peningkatan kompetensi sekaligus jumlah tenaga pengawas agar insiden seperti ledakan tungku smelter di Morowali, Sulawesi Tengah, tidak terulang. Hingga saat ini, penyebab terjadinya insiden yang mengakibatkan belasan pekerja meninggal serta puluhan pekerja luka-luka tersebut masih didalami dan pemenuhan hak-hak pekerja terus dilakukan.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengakui, insiden ledakan tungku smelter yang menewaskan belasan pekerja tersebut tidak lepas dari belum optimalnya pengawasan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3). Agar kejadian serupa tidak terulang, pihaknya mengusulkan peningkatan kompetensi dan penambahan jumlah tenaga pengawasan K3 kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB).
”Memang betul (pengawasan belum optimal) karena pengawasan ketenagakerjaan itu harus linier dengan perkembangan teknologi yang digunakan sehingga kami sebagai pengawas juga harus linear secara kompetensi. Oleh sebab itu, kami mengusulkan update kompetensi dan penambahan jumlah tenaga pengawasan kepada Kemenpan dan RB karena aturannya harus PNS (pegawai negeri sipil),” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Sebelumnya, Kemenaker juga telah meluncurkan fitur ketenagakerjaan berbasis laman, yakni Norma 100, pada medio 2023. Menurut Anwar, peluncuran fitur tersebut merupakan upaya Kemanaker untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi terkini sekaligus bagian dari strategi untuk meningkatkan pelayanan pengawasan K3.
Terkait insiden ledakan tungku smelter yang menewaskan belasan pekerja dan mengakibatkan puluhan pekerja mengalami luka-luka, Kemenaker telah menugaskan tim Pengawasan Ketenagakerjaan ke lokasi kejadian sejak Senin (25/12/2023) untuk melakukan investigasi. Anwar menjelaskan, tim tersebut masih mengumpulkan data dan informasi dari pihak manajemen PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), perusahaan tempat terjadinya ledakan tungku, dan PT Ocean Sky Metal Indonesia (OSMI), perusahaan yang pekerjanya menjadi korban.
”Dalam melakukan investigasi, kami mengumpulkan data mengenai apakah perusahan benar-benar menerapkan SMK3 secara penuh, lalu adakah peluang-peluang perusahaan abai dalam menerapkan SMK3 itu. Data yang kami minta antara lain job safety analysis (JSA), prosedur standar operasional (SOP), terutama saat memperbaiki tungku smelter,” katanya.
Dari pemeriksaan yang dilakukan tim Pengawas Ketenagakerjaan, apabila terbukti perusahaan tidak menjalankan ketentuan ketenagakerjaan, baik norma kerja maupun norma K3, tentu akan dilakukan langkah-langkah hukum untuk penegakannya.
Di sisi lain, Kemenaker telah memastikan, dari 59 pekerja yang menjadi korban telah terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Berdasarkan informasi yang diterima, para korban, baik yang meninggal maupun yang mengalami luka, telah terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
Anwar menambahkan, pihaknya turut berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan Morowali untuk memastikan hak-hak para pekerja yang menjadi korban terpenuhi. Dari hasil koordinasi tersebut, pihak perusahaan terkait diminta untuk segera membayar iuran BPJS periode Desember 2023 agar manfaat jaminan kecelakaan dapat segera dapat dibayarkan.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang mengatakan, pihaknya akan terus memantau pelaksanaan perbaikan dari manajemen perusahaan sesuai hasil temuan tim Pengawas Ketenagakerjaan. Selain itu, tim tersebut akan memastikan seluruh hak-hak pekerja yang menjadi korban terpenuhi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
”Dari pemeriksaan yang dilakukan tim Pengawas Ketenagakerjaan, apabila terbukti perusahaan tidak menjalankan ketentuan ketenagakerjaan, baik norma kerja maupun norma K3, tentu akan dilakukan langkah-langkah hukum untuk penegakannya,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (26/12/2023).
Insiden yang memakan korban jiwa dan korban luka tersebut diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi dunia ketenagakerjaan di masa mendatang sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali. Haiyani menambahkan, tim Pengawas Ketenagakerjaan Kemenaker akan terus berkoordinasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan Sulawesi Tengah, BPJS Ketenagakerjaan, dan Polres Morowali.
Sebagaimana diketahui, insiden ledakan tungku smelter tersebut terjadi di PT ITSS, salah satu perusahaan tenan atau penyewa yang beroperasi di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Minggu (24/12/2023) pukul 05.30 Wita. Saat itu, pekerja tengah memperbaiki tungku pembakaran dan memasang pelat di bagian tungku formasi nomor 41.
Dari hasil investigasi sementara, ledakan terjadi akibat adanya cairan yang memicu semburan api pada bagian bawah tungku dan menyulut sejumlah tabung oksigen yang digunakan untuk mengelas dan memotong komponen tungku di sekitar area tungku. Akibatnya, belasan pekerja meninggal dan puluhan pekerja lainnya menjalani perawatan intensif.
Peran buruh dibutuhkan
Pada Selasa, jumlah korban dilaporkan bertambah lima orang sehingga total korban meninggal berjumlah 18 orang yang terdiri dari 8 tenaga kerja asing dan 10 tenaga kerja Indonesia. Sementara itu, 29 korban ledakan tungku smelter masih menjalani perawatan, yakni 23 orang di Rumah Sakit Umum Daerah Morowali dan 6 orang lainnya di klinik PT IMIP.
Seperti diberitakan oleh Kompas, Rabu, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulteng Arnold Firdaus mengakui adanya kelemahan dalam pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja sehingga mengakibatkan kecelakaan kerja. Kelemahan tersebut lantaran terdapat keterbatasan dari kami juga, baik operasional maupun anggaran.
Menanggapi hal itu, Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia sekaligus Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Riden Hatam Aziz mengatakan, keterbatasan sumber daya dan anggaran adalah masalah klasik yang selalu disampaikan setiap kali terjadi kecelakaan kerja. Di sisi lain, ketika serikat pekerja mengadukan adanya pelanggaran norma K3, pengawas ketenagakerjaan terkesan lepas tangan dan tidak jarang terjadi pemberangusan serikat pekerja (union busting).
Padahal, keberadaan serikat pekerja memiliki peran penting dalam memastikan adanya fungsi kontrol dari pihak buruh. ”Apa pun alasannya, dengan adanya kecelakaan kerja yang masih terjadi meski sudah dilakukan pemantauan dan pengawasn secara rutin, menunjukkan adanya kekurangan dalam sistem pengawasan ketenagakerjaan. Dalam hal ini, tidak seharusnya pemerintah lepas tangan dengan mengatakan keterbatasan sumber daya dan anggaran sebagai kambing hitam,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Persoalan K3 sudah terjadi berulang-ulang, bahkan sampai memakan korban jiwa. Ini tidak bisa dibiarkan karena persoalan K3 sudah sering terjadi sehingga kami juga meminta pidanakan pengusaha. Sering terjadinya kasus itu menunjukkan bukan saja karena kelalaian, melainkan diduga akibat terjadinya pembiaran.
Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, kata Riden, pengawasan dan pemantauan K3 idealnya harus mencakup beberapa aspek, antara lain peningkatan sumber daya dengan memperbanyak jumlah personel pengawasan, terutama di daerah dengan banyak zona industri. Kedua, mengoptimalkan teknologi pemantauan, misalnya dengan menggunakan teknologi kamera pemantau (CCTV) dan sensor keselamatan untuk memantau area kerja secara real time.
Selain itu, perlu diadakan pelatihan dan kesadaran terkait dengan norma K3 secara rutin bagi pekerja dan pihak manajemen perusahaan. Lebih lanjut, keterlibatan serikat pekerja perlu dioptimalkan melalui partisipasi aktif para pekerja dalam mengidentifikasi potensi bahaya dan memberikan masukan untuk perbaikan.
Di sisi lain, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, insiden tersebut merupakan dampak dari investasi China di Morowali yang menyebabkan upah murah dan mengabaikan K3. Oleh karena itu, Kemenaker sebagai instansi terkait perlu membentuk tim pencari fakta untuk menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi.
”Persoalan K3 sudah terjadi berulang-ulang, bahkan sampai memakan korban jiwa. Ini tidak bisa dibiarkan karena persoalan K3 sudah sering terjadi sehingga kami juga meminta pidanakan pengusaha. Sering terjadinya kasus itu menunjukkan bukan saja karena kelalaian, melainkan diduga akibat terjadinya pembiaran,” kata Said secara tertulis pada Minggu.
Selain itu, KSPI dan Partai Buruh turut meminta pemerintah dan pengusaha agar memberikan santunan kepada korban meninggal, termasuk biaya pemakaman hingga biaya pendidikan anak-anak korban. Adapun biaya kesehatan dan santunan kecelakaan harus diberikan kepada korban luka-luka.
Said menambahkan, UU No 1/1970 tentang Keselamatan Kerja perlu segera direvisi lantaran sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini mengingat di UU No 1/1970 tersebut hanya mengatur sanksi Rp 100.000 sehingga tidak memberikan efek jera.
”Penerapan K3 harus benar-benar dipastikan berjalan dan ada sanksi berat bagi yang melanggar,” katanya.