Libur Akhir Tahun, Polemik Tarif Batas Atas Pesawat Berulang
Polemik tarif batas atas pesawat kembali mengemuka pada libur Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Penumpang mengeluhkan tingginya harga tiket, sedangkan maskapai terbebani biaya operasional.
JAKARTA, KOMPAS — Polemik tarif batas atas pesawat kembali mengemuka pada libur Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Penumpang mengeluhkan tingginya harga tiket, sedangkan maskapai terbebani biaya operasional. Solusi terpadu dibutuhkan untuk mencegah persoalan berulang.
Chris Tria Wati Girsang (28), karyawan swasta di Jakarta, terpaksa tidak mudik untuk merayakan Natal dan libur Tahun Baru bersama keluarganya di Simalungun, Sumatera Utara. Penyebabnya, tiket Jakarta-Medan terlalu mahal.
Setidaknya, Tria harus mengantongi minimal Rp 4,5 juta untuk biaya transportasi. Sebulan lalu, ia mengecek harga pesawat melalui aplikasi agen perjalanan daring (online travel agent/OTA) untuk keberangkatan tanggal 22 Desember 2023.
Baca juga: Sektor Penerbangan Bersiap Sambut Libur Akhir Tahun
Harga tiketnya menyentuh Rp 2,1 juta. Padahal, di hari biasa, lanjutnya, harga tiket berkisar Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta. Kenaikan harga tiket itu membuatnya mengurungkan rencana pulang kampung.
”Kalau pulang, kan, tidak bisa semata-mata pulang. Harus beli ini itu untuk oleh-oleh dan kasih salam tempel. Kalau tiket mahal, uang justru habis hanya untuk perjalanan,” ujar Tria, Selasa (26/12/2023).
Per Selasa, dari penelusuran di sejumlah OTA untuk tanggal keberangkatan 28 Desember 2023, harga tiket Jakarta-Medan menyentuh Rp 1.800.000. Harga mulai menurun menjadi Rp 1.700.000 pada 29 Desember 2023 dan harga terendah Rp 1.300.000 pada 31 Desember 2023.
Keluhan dari masyarakat soal mahalnya harga tiket bukan kali ini saja terjadi. Hal serupa juga berlangsung pada mudik Lebaran 2019.
Saat itu pemerintah akhirnya mengintervensi harga tiket pesawat. Pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Regulasi itu merupakan pembaruan atas tarif sejenis dari Peraturan Menhub Nomor 72 Tahun 2019. Dalam regulasi baru tersebut, tarif batas atas untuk pesawat jet rute Jakarta-Medan adalah Rp 1.799.000. Adapun tarif batas bawahnya sebesar Rp 630.000.
Baca juga: Maskapai Penerbangan Minta Pemerintah Naikkan Tarif Batas Atas
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Bayu Sutanto mengatakan, harga tiket saat ini tidak bisa dilepaskan dari masalah finansial maskapai. Apalagi, industri penerbangan sebelumnya terdampak pandemi.
Di sisi lain, tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah pada 2019 dinilai sudah tidak relevan karena memakai parameter harga avtur Rp 10.000 per liter dengan kurs Rp 14.100 per dolar AS.
Harga avtur saat ini sudah berada jauh di atas itu. Berdasarkan laman Pertamina One Solution, harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, menyentuh Rp 13.656 per liter pada periode 15-31 Desember 2023. Posisi kurs terhadap dollar adalah Rp 15.503 per pada 15 Desember.
Selain harga avtur dan pelumas, komponen penentuan harga juga terdiri dari suku cadang, pemeliharaan, pemeriksaan, serta asuransi dan sewa pesawat. Lalu, gaji pegawai dan awak pesawat.
Bayu mengatakan, saat pandemi, jumlah penumpang menyusut 60 persen sehingga pendapatan maskapai juga menurun. Di sisi lain, biaya-biaya itu masih harus dikeluarkan dan cenderung meningkat, terutama suku cadang.
”Kendala-kendala itu, selain mengakibatkan jumlah pesawat dan jumlah kursi yang disediakan maskapai berkurang, juga mengakibatkan konektivitas penerbangan ke beberapa daerah terganggu karena maskapai memilih terbang ke rute-rute yang menguntungkan saja,” ujar Bayu.
Menurut data INACA, jumlah pesawat yang beroperasi pada 2019 sekitar 650 unit. Jumlah itu menyusut menjadi sekitar 450 unit saat pandemi.
Jumlah kapasitas kursi yang tersedia 2019 juga sempat mencapai 141,3 juta kursi. Namun, pada 2023 sampai dengan bulan Oktober, jumlahnya berkurang menjadi 67 juta kursi dengan tingkat keterisian pesawat 76 persen.
Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, menilai, kondisi itu memicu kenaikan harga tiket pesawat. Sebab, tarif menyesuaikan hukum supply and demand (ketersediaan dan permintaan).
Tahun ini, terutama setelah status pandemi dicabut, permintaan cenderung naik. Akan tetapi, katanya, jumlah armada berkurang. Akibatnya, jumlah kursi pesawat menjadi rebutan.
Angkasa Pura Airports mencatat, terdapat lebih dari 57 juta pergerakan penumpang selama Januari hingga Oktober 2023. Jumlah itu bertumbuh 39 persen dibandingkan pergerakan penumpang periode serupa tahun 2022 yang sebanyak 41,8 penumpang.
Adapun pada libur Natal dan Tahun Baru sejak 19 Desember 2023, pergerakan penumpang sebanyak 1,6 juta orang. Peningkatannya tercatat sebesar 3 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Melihat kondisi itu, kata Gerry, maskapai sebenarnya tidak sembarangan menaikkan harga tiket. Maskapai juga memperhatikan daya beli masyarakat agar harga yang ditetapkan bisa sesuai dengan permintaan.
Terlepas dari itu, Gerry mengatakan, tidak ada solusi yang mudah dan tunggal untuk mengatasi polemik tarif batas atas pesawat. Apabila mau menekan biaya operasional maskapai, kata Gerry, harus ada kesepakatan antar- kementerian yang terlibat dalam aktivitas penerbangan.
Maskapai, misalnya, terbebani biaya passenger service charge (PSC) atau pungutan atas pelayanan penumpang yang dipatok bandara. Biaya yang harus dibayar maskapai penerbangan itu sudah naik minimal 20 persen sejak 2022.
”Untuk biaya bandar udara dan bahan bakar, Kementerian Perhubungan bisa berkoodirnasi dengan Kementerian BUMN. Sebab, industri penerbangan tidak berdiri sendiri dan semua pihak memiliki kepentingan serta target masing-masing,” ujar Gerry.
Selain itu, Gerry menyarankan, maskapai dan Kementerian Perhubungan mengomunikasikan kepada publik jika solusi jangka pendek tak bisa terwujud. Masyarakat harus diberi pemahaman soal apa yang membuat harga tiket melambung, apa yang menjadi kendala, dan langkah penanganannya.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan, kenaikan harga tiket pada libur Natal dan Tahun Baru merupakan dampak dari pemulihan industri penerbangan yang belum selesai terdampak pandemi. Fenomena ini juga terjadi di negara lain.
Meski demikian, pihaknya akan menindak setiap pelanggaran tarif batas atas sesuai dengan ketentuan ditetapkan. Adita juga berkoordinasi dengan seluruh kementerian dan lembaga terkait agar beban biaya operasional pesawat lebih efisien.
Beberapa langkah penanganan lainnya adalah pemberian insentif, penambahan pesawat, dan kebijakan fuel surcharge atau biaya tambahan pada penumpang. Pemberian insentif juga menjadi salah satu opsi solusi.
Sejauh ini, Kemenhub sudah memberikan insentif untuk layanan keperintisian di daerah tertinggal, terluar, terdepan, dan perbatasan yang bersifat komersial. Pemerintah pun mengevaluasi tarif batas atas dan bawah itu.
Dari hasil evaluasi setiap tiga bulan atas aturan itu, pihaknya menemukan ada kenaikan biaya operasional pesawat di atas 10 persen. Kemenhub pun menerapkan kebijakan pengenaan fuel surcharge atau biaya tambahan 10 persen terhadap penumpang yang menggunakan pesawat jet dan 25 persen pada pesawat baling-baling.
Kebijakan ini, katanya, bersifat sementara sembari melihat perkembangan harga bahan bakar dan perkembangan kurs rupiah terhadap dollar AS. Adapun soal penyesuaian tarif batas atas dan tarif batas bawah masih dalam proses kajian.
”Pemerintah melihat banyak aspek, tidak hanya kelangsungan usaha yang sehat bagi maskapai, tetapi juga memastikan keterjangkauan tarif bagi masyarakat sebagai bentuk perlindungan konsumen,” kata Adita.
Baca juga: Menteri Perhubungan Akan Kaji Regulasi Tarif Batas Atas Pesawat