Kebutuhan biodiesel dan bioetanol perlu dihitung betul keseimbangan ”supply” dan ”demand”-nya. Jangan sampai menjadi kompetisi antara pangan dan energi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan di Indonesia harus fokus pada potensi lokal, tetapi tidak bergantung pada satu jenis sumber energi. Selain itu, jika ingin memastikan keandalan listrik di masa depan, tenaga nuklir dan hidrogen perlu diperhitungkan sejak sekarang, dengan menjalankan segala tahapan secara matang dan detail.
Pakar energi sekaligus Guru Besar Bidang Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Deendarlianto mengatakan, pemanfaatan biomassa untuk co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga bahan bakar nabati atau biofuel menjadi contoh potensi lokal. Jenis energi terbarukan dapat terus dikembangkan.
”Pengembangan energi baru terbarukan harus berbasis potensi lokal, termasuk biodiesel dan bioetanol. Namun, itu juga harus hati-hati karena erat hubungannya dengan kedaulatan pangan. Jadi, mesti ada skenario yang jelas dan tidak hanya mengandalkan satu sumber energi,” kata Deendarlianto, saat dihubungi, Minggu (24/12/2023).
Oleh karena itu, menurut dia, kebutuhan biodiesel dan bioetanol perlu dihitung betul keseimbangan supply dan demand-nya, termasuk untuk kebutuhan energi. Jangan sampai menjadi kompetisi antara pangan dan energi.
Deendarlianto menambahkan, pemenuhan kebutuhan energi masa depan juga perlu dipikirkan sejak sekarang. Menurut dia, tidak mungkin bisa mengandalkan energi baru dan energi terbarukan tanpa mempertimbangkan porsi nuklir dan hidrogen di masa depan. Untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), misalnya, ada berbagai tahapan dan kajian, hingga konstruksi, yang membutuhkan waktu minimal tujuh tahun.
”Apabila ingin memastikan keamanan energi di masa depan, nuklir dan hidrogen tidak bisa dilupakan. Apalagi, di dunia internasional ada gerakan untuk mendorong hidrogen. Perlu ada R&D (penelitian dan pengembangan) yang jelas, tegas, dan mendetail sehingga pengembangan programnya terintegrasi serta lintas kementerian,” ucap Deendarlianto.
Adapun PLTN masuk dalam skenario pemerintah dan DPR setelah kategori energi baru tersebut masuk dalam bahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan, yang tengah diharmonisasi untuk disahkan. Namun, Komite Pelaksana Program Energi Nuklir (Nuclear Energy Program Implementation Organization/NEPIO) hingga kini belum ditetapkan.
Hidrogen juga sudah mulai dikembangkan, antara lain oleh PT PLN Nusantara Power yang meresmikan Green Hydrogen Plant (GHP) di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta, Oktober 2023. GHP itu bersumber dari energi baru terbarukan serta mampu memproduksi 51 ton hidrogen per tahun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menuturkan, hidrogen dan amonia (sebagai pembawa hidrogen) menjadi bagian dari rencana pemerintah di sektor energi. Pada akhir November 2023, Presiden Joko Widodo meresmikan sejumlah proyek energi di Papua Barat, termasuk di antaranya ialah amonia biru (blue ammonia).
”Ke depan, akan ada kompetisi terkait dengan energy storage-nya, apakah menggunakan baterai atau hidrogen dan amonia. Dua-duanya disebut sebagai energy carrier (pembawa energi). Misal ada listrik dalam baterai atau hidrogen karena ada amonia. Ini bisa menjadi energi baru, tetapi di global disebut sebagai pembawa energi,” kata Dadan.
Infrastruktur
Deendarlianto menambahkan, pengembangan energi terbarukan juga perlu mempertimbangkan sisi keekonomian. Artinya, ada pertemuan antara pasokan dan permintaan. Ia pun mendorong energi terbarukan lebih banyak dikembangkan di luar Jawa atau Indonesia bagian timur. Artinya, ada pembentukan pasar energi terbarukan dekat dengan sumbernya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024, yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (22/12/2023), mengakui, realisasi energi terbarukan masih jauh dari target. Dari target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025, baru 13,8 persen yang tercapai. Padahal, batas waktu tinggal dua tahun.
”Penyebabnya adalah (pandemi) Covid-19. Lalu, kita harus mempersiapkan infrastruktur serta menciptakan demand. Untuk infrastruktur (energi terbarukan) sudah diprogramkan jaringan transmisi (kelistrikan) yang mengakses energi terbarukan, yang sumbernya banyak di Indonesia. Lalu demand listrik baru yang diisi oleh energi terbarukan,” kata Arifin.
Di sisi lain, sebagai energi penjembatan dalam transisi energi, gas bumi juga akan terus dioptimalkan. Oleh karena itu, ujar Arifin, selain pembangunan jaringan transmisi listrik, transmisi gas bumi juga bakal dipacu. Gas bumi diharapkan menjadi jawaban dari ketergantungan pada elpiji yang permintaannya terus meningkat, sedangkan pemenuhannya mayoritas melalui impor.