Ada Patokan Harga Tertinggi, Biomassa untuk PLTU Diharapkan Lebih Menarik
Harga patokan tertinggi biomassa dihitung dengan formula harga batubara dikali nilai koefisien harga B3M dikali faktor koreksi niyolai kalor. Harga batubara ditentukan berdasarkan rata-rata HBA Koefisien, yakni 1,2.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Mengantarkan sampah ke shelter pengolahan
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menerbitkan regulasi tentang pemanfaatan bahan bakar biomassa untuk co-firing pembangkit listrik tenaga uap. Salah satu yang diatur dalam regulasi itu ialah adanya harga patokan tertinggi sehingga jenis energi terbarukan itu diharapkan berkembang dan bersaing dengan batubara yang energi fosil.
Biomassa ialah sumber energi terbarukan yang dihasilkan dari fotosintesis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat. Sementara co-firing ialah metode pembakaran biomassa bercampur batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Adapun regulasi yang mengaturnya ialah Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa sebagai Campuran Bahan Bakar pada PLTU. Disebutkan, bahan bakar biomassa (B3m) untuk pembangkit listrik terdiri atas B3m yang seluruhnya berasal dari bahan organik dan B3m yang sebagian berasal dari bahan organik.
B3m yang seluruhnya berasal dari bahan organik, yakni pelet biomassa; serbuk kayu; serpihan kayu; cangkang sawit; sekam padi; tempurung kelapa; limbah kehutanan; limbah pertanian; dan bahan organik lainnya. Sementara B3m yang sebagian berasal dari bahan organik ialah bahan bakar jumputan padat (dari limbah atau sampah) serta bahan organik yang dicampur dengan bahan anogranik yang mudah terbakar dengan standar dan mutu tertentu.
Dalam Permen itu juga disebutkan bahwa pembelian B3m dilaksanakan berdasarkan harga patokan tertinggi atau harga kesepakatan. Adapun harga patokan tertinggi dihitung dengan formula harga batubara dikali nilai koefisien harga B3M dikali faktor koreksi nilai kalor. Harga batubara ditentukan berdasarkan rata-rata harga batubara acuan (HBA) tahun sebelumnya, sedangkan nilai koefisien B3m ditetapkan paling tinggi 1,2.
Direktur Bioenergi pada Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Edi Wibowo, Rabu (20/12/2023) mengatakan, setelah peraturan menteri terbit, yang dilakukan selanjutnya ialah sosialisasi kepada berbagai pihak. Dengan demikian, para pemangku kepentingan, termasuk para pelaku usaha, memahami peluang pengembangan biomassa.
”Harapan kami semua stakeholder terkait dapat segera mengimplementasikan ketentuan dalam regulasi tersebut. (Dengan demikian), semakin banyak biomassa yg dapat menggantikan batubara,” ujar Edi.
Dalam lampiran Permen ESDM No 12/2023 juga tertera penahapan B3m untuk co-firing biomassa nasional. Pada 2023, ditargetkan tercapai 1,05 juta ton bahan bakar biomassa. Selanjutnya, pada 2024 sebesar 2,83 juta ton, 2025 10,2 juta ton, 2026 10,1 juta ton, 2027 9,08 juta ton, 2028 9,11 juta ton, 2029 9,14 juta ton, dan 2030 8,91 juta ton.
Ketua Koperasi Energi Biomassa Indonesia (KEBI) Ichsan Maulana menuturkan, terbitnya Permen itu menghadirkan kepastian hukum dari sisi harga. Hal tersebut juga membuka peluang bagi para pelaku usaha, baik yang sudah berkecimpung di bidang biomassa ataupun yang baru akan melakoninya.
”Ini menjadi peluang besar terhadap masyarakat, khususnya yang ada di sekitar pembangkit untuk menjadi pemasok (supplier) atau penyedia bahan bakar biomassa. Ini harus menumbuhkan ekonomi sirkular. Tinggal bagaimana para pelaku usaha memanfaatkannya. Apalagi, biomassa ini materialnya berlimpah, yang sederhana, yakni sampah untuk jumputan padat,” katanya.
Ichsan menekankan yang seharusnya dioptimalkan ialah biomassa yang berada di sekitar PLTU. Di Pulau Jawa, bisa diarahkan dengan mengoptimalkan sampah dengan bahan bakar jumputan padat atau refuse derived fuel (RDF). Yang ia lihat selama ini, biomassa untuk co-firing dipasok dari luar pulau, misalnya dari Sulawesi Selatan ke PLTU di Cilegon, Banten.
Menurut dia, transportasi laut pengiriman biomassa tersebut, dengan kapal, sejatinya menghasilan emisi. ”Sejumlah pelaku usaha belum memahami konsep biomassa yang tujuan pemanfaatannya untuk mengurangi emisi. Makanya, seharusnya sumbernya tak boleh jauh-jauh (dari PLTU). Transportasinya harus seminimal mungkin menggunakan bahan bakar fosil,” ujar Ichsan.
Belum memaksa
Direktur Tropical Renewable Energy Centre Fakultas Teknik Universitas Indonesia Adi Surjosatyo, dihubungi di Jakarta, Rabu, menilai positif terbitnya Permen ESDM No 12/2023, termasuk penghitungan harga patokan yang tertuang di dalamnya. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya tarik pelaku usaha untuk memasok biomassa untuk co-firing ketimbang mengekspornya.
Namun, regulasi tersebut lebih memberi kepastian akan harga, bukan bersifat keharusan akan keberlanjutan pasokan biomassa. ”Apakah betul kepastian harga itu benar membuat pelaku usaha tertarik? Ini yang nanti akan kita lihat. Kecuali, (akan lebih pasti) misalnya pemerintah ’menodong’ atau memaksa terkait pasokan biomassa untuk co-firing PLTU," ujar Adi.
Selama ini, imbuh Adi, sejumlah pelaku usaha biomassa enggan memasok untuk co-firing PLTU karena keekonomiannya tidak tercapai. Pelaku usaha lebih memilih pasar yang lebih jelas, dengan harga yang lebih baik, seperti ekspor ke Jepang, yang memang membutuhkan biomassa. Salah satu contoh yakni biomassa jenis cangkang sawit dari pelaku usaha perkebunan sawit.
Melihat kondisi yang ada, Adi menilai sulit jika mengandalkan B3m yang seluruhnya berasal dari bahan organik dalam memenuhi kebutuhan co-firing PLTU-PLTU yang ada di Indonesia. Menurut dia, potensi lebih besar ada pada bahan bakar jumputan padat atau RDF karena bahan bakunya, sampah, melimpah di perkotaan. Tinggal memastikan teknologi serta konsistensi dalam pasokannya.
Selama ini, biomassa belum optimal berkembang. Salah satu penyebabnya ialah harga yang tak bisa bersaing dengan batubara mengingat harga batubara untuk PLTU tidak ”real” lantaran disubsidi dengan adanya domestic market obligation (DMO) yang dipatok dengan harga 70 dollar AS per ton. Menurut data Kemeterian ESDM, realisasi biomassa per 23 Juli 2023 adalah 484.000 ton dengan menghasilkan energi hijau sebesar 520 gigawatt jam (GWh).