Keekonomian Energi Terbarukan Disebut Sudah Lebih Baik
Harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga surya dan pembangkit listrik tenaga bayu sudah menurun dibandingkan 6-7 tahun yang lalu. Dengan demikian, energi terbarukan diharapkan dapat kian berkembang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus memacu pengembangan energi terbarukan, terlebih harga jual listriknya semakin kompetitif. Namun, kalangan pengamat menilai keekonomian energi terbarukan masih sulit bersaing selama ada kebijakan domestic market obligationbatubara untuk pembangkit listrik yang dipatok 70 dollar AS per ton.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, di Bandung, Sabtu (16/12/2023), mengatakan, pada 2016, harga jual listrik untuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Sidrap dan Jeneponto di Sulawesi Selatan sekitar 10,9 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Pada 2024 ada kontrak baru dengan harga di bawah 6 sen dollar AS per kWh.
Adapun harga jual listrik pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, 5,8 sen dollar AS per kWh. Menurut Dadan, hal itu menunjukkan energi terbarukan semakin siap bersaing dengan fosil, seperti batubara. Dengan demikian, diharapkan pembangkit energi terbarukan semakin baik dalam hal keekonomian dan akan meningkatkan bauran energi terbarukan.
”(Seiring harga tarif yang makin kompetitif) Narasi yang ingin dibangun ialah sudah tak ada alasan lagi untuk tidak mengembangkan energi terbarukan. Sumbernya sudah jelas. (PLTS misalnya) Matahari ada setiap hari dan tahu kapan datang dan perginya. Juga sudah tahu berapa radiasinya dan setiap 1 megawatt peak akan keluar listrik berapa,” kata Dadan.
Ia menambahkan, pihaknya sudah memasang piranometer atau alat ukur radiasi di 100 tempat di Pulau Jawa. Hal itu guna membuktikan apakah intermitensi akan berpengaruh pada sistem ketenagalistrikan di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Dari situ, kesimpulannya ialah PLTS sebaiknya dipasang secara tersebar.
Ia mencontohkan, jika di Cirebon mendung, bisa jadi di Semarang terang atau cerah. ”Jadi, yang harus dipikirkan ialah strategi penempatan (PLTS)-nya. Kalau hanya di satu tempat pasti akan terganggu. Kalau dipasang di tempat berbeda, bisa saling mengisi. Dari sisi keteknikan pun (teknologi) membaik. Misalnya, prediksi angin sudah makin baik,” kata Dadan.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga, dihubungi pada Minggu (17/12/2023), mengatakan, secara keseluruhan, head to head antara energi terbarukan dan batubara masih sulit terjadi. Pasalnya, masih ada kebijakan domestic market obligation (DMO) batubara untuk pembangkit listrik yang harganya dipatok 70 dollar AS per ton. Artinya, tak mengikuti dinamika pasar.
”Kami di Energy Watch melihat, hanya jika ada disinsentif berupa pajak karbon untuk batubara, head to head batubara dan energi terbarukan bisa terjadi. Energi terbarukan sulit bersaing dengan DMO batubara, apalagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara mulut tambang. Saat ini yang bisa head to head itu pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit energi terbarukan saja,” ucap Daymas.
Saat ini, pemerintah dan DPR masih mengharmonisasi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) untuk disahkan. RUU itu diharapkan memberi kepastian hukum dalam pengembangan energi terbarukan sehingga akselerasi dapat lebih optimal. Namun, masih ada hambatan di lingkup internal pemerintah, yakni Kementerian ESDM serta Kementerian Perindustrian, yang belum satu suara terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN) energi terbarukan.
Perlu dukungan
Di samping upaya-upaya akselerasi energi terbarukan yang dapat dilakukan saat ini, Indonesia juga mengejar dukungan negara-negara maju dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK). Pada COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, beberapa waktu lalu, Indonesia sebagai negara berkembang menyerukan komitmen penurunan emisi dengan tetap mengharap realisasi dukungan, mulai dari pendanaan hingga transfer teknologi.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Harris Yahya mengatakan, setiap negara memiliki tanggung jawab dalam penurunan emisi GRK. Hal tersebut disertai dengan prinsip tanggung jawab umum, tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities/CBDR).
Artinya, tanggung jawab negara maju, yang mempunyai lebih dulu hak untuk berpolusi, jangan disamakan dengan negara-negara berkembang. ”Posisi Indonesia ialah mendukung upaya-upaya itu dengan catatan. Target-target yang harus kita capai itu perlu dukungan pembiayaan. Program-program itu mesti berdampak positif pada iklim. Namun, tetap kita harus memperhatikan keamanan dan keterjangkauan energi,” ujar Harris.
Selain itu, imbuhnya, jangan sampai negara-negara maju, yang telah gagal merealisasikan keharusannya menyiapkan 100 miliar dollar AS per tahun untuk negara-negara berkembang, turut membebankannya kepada negara-negara berkembang. Indonesia pun harus bisa menempatkan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kondisi nasional.
Harris optimistis target penurunan emisi GRK khusus sektor energi sebesar 358 juta ton CO2 pada 2030 bakal tercapai. ”Saat ini, kita sudah bisa mencapai 120 juta ton CO2. Jadi, hampir 50 persennya. Dengan target adanya penambahan 20 gigawatt (GW) energi terbarukan, target penurunan emisi GRK bisa dicapai,” lanjutnya.
Menurut dia, empat hal yang diharapkan Indonesia pada negara-negara maju ialah dukungan pembiayaan, transfer teknologi, dukungan teknis atau kerja sama, serta pembangunan kapasitas (capacity building). Ia menambahkan, dari perkembangannya, arah pengembangan energi terbarukan lebih pada PLTS dan PLTB.
”Itu bagus. Namun, sebenarnya tidak harus surya dan angin. Misalnya, hidro dan geotermal (panas bumi). Kalau bicara tripling capacity (peningkatan tiga kali lipat kapasitas yang dibahas di COP 28), ya (dengan panas bumi),” ujar Harris.