Belajar dari krisis energi 2022, Uni Eropa menyiapkan mekanisme pasar listrik yang berkelanjutan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·2 menit baca
BRUSSELS, KAMIS — Uni Eropa mencapai kesepakatan untuk mereformasi pasar listrik mereka guna melindungi konsumen serta mendorong percepatan dekarbonisasi para anggotanya. Aturan baru ini bisa diterjemahkan oleh setiap anggota sesuai dengan kebutuhan serta kurun waktu yang mereka perlukan dalam mencapai target niremisi Eropa 2030.
Kesepakatan dicapai pada Kamis (14/12/2023). Baik Dewan Eropa maupun Parlemen Eropa menyetujui hasilnya dan tinggal membuat berkas resmi yang nanti diturunkan oleh tiap-tiap anggota. Perundingan dipimpin oleh Spanyol sebagai pemegang keketuaan Dewan Eropa.
”Peraturan ini baik sekali karena kita bisa cepat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak dan gas Rusia,” kata Menteri Energi Spanyol Teresa Ribeiro.
Peraturan ini baik sekali karena kita bisa cepat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak dan gas Rusia.
Dalam aturan itu, dikutip di laman resmi Dewan Eropa, ada mekanisme pencegahan kenaikan tarif listrik secara drastis, termasuk di masa krisis. Keputusan ini belajar dari pengalaman ketika meletusnya Perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022. Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi kepada Moskwa yang menginvasi Kyiv. Praktis, gas Rusia yang selama ini menjadi sumber energi Eropa dihentikan alirannya oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
UE kemudian pontang-panting mencari sumber energi baru yang akhirnya diperoleh dengan membeli dari Norwegia dan Amerika Serikat. Akan tetapi, warga di negara-negara anggota UE terpaksa membayar tarif lebih mahal atas impor gas tersebut. Padahal, mereka belum bangkit sepenuhnya dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Aturan baru itu juga membuat skema yang memungkinkan warga dari kalangan ekonomi rentan bisa memperoleh subsidi atau setidaknya pengurangan tarif listrik apabila terjadi krisis. Definisi krisis akan digodok oleh tiap-tiap anggota UE mengingat mereka memiliki kapasitas perekonomian dan pasokan energi yang berbeda-beda. Negara harus menjamin kalangan rentan tidak akan kehilangan aliran listrik sesulit apa pun keadaannya.
UE juga akan mengembangkan aturan remunerasi, yaitu memberi keringanan kepada perusahaan sesuai dengan kemampuan mereka mengurangi emisi karbon dioksida dan lain sebagainya dalam memproduksi listrik. Ini ditengarai lebih adil bagi negara-negara yang mampu memproduksi listrik sendiri, tetapi ditenagai oleh bahan bakar fosil, misalnya batubara yang ditambang di wilayah sendiri.
Polandia adalah negara yang mampu berswasembada listrik karena memiliki industri batubara besar. Selama ini mereka menganggap aturan dekarbonisasi EU per 2030 tidak adil karena mematikan industri pertambangan dan merenggut nafkah dari jutaan penduduk yang bergantung pada batubara. Jika ada remunerasi, diperkirakan perusahaan-perusahaan energi di Polandia lebih bersemangat untuk beralih ke energi terbarukan.
Dari sektor swasta, semakin banyak pula bank ataupun lembaga permodalan yang menolak membiayai proyek-proyek energi fosil. Salah satu bank yang baru-baru ini turut serta adalah Credit Agricole dari Perancis. Dalam pernyataan tertulis perusahaan tersebut, mereka menyatakan berkomitmen per tahun 2030 mengurangi pembiayaan proyek-proyek berdasar energi fosil sebanyak 75 persen.
Menurut Direktur Utama Credit Agricole Philippe Brassac, per tahun 2024, mereka tidak akan membiayai proyek baru yang melibatkan penambangan, pengolahan, ataupun distribusi yang ditenagai energi fosil. Sebagai gantinya, lembaga ini fokus membiayai proyek energi terbarukan yang di Perancis berupa tenaga nuklir, matahari, dan angin. Targetnya per tahun 2025, biaya untuk energi bersih ini bisa terkumpul sebanyak 13,3 miliar euro. (AFP)