Proyek Pembangunan Transportasi Marak, Tapi Ekosistem Lemah
Pembangunan transportasi marak dilakukan selama sembilan tahun terakhir. Sejumlah capaian dicatatkan. Namun beberapa catatan masih perlu dibenahi.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir banyak membangun proyek transportasi. Sejumlah manfaat telah dirasakan masyarakat. Namun, ada pekerjaan rumah yang belum tuntas. Ekosistem perairan Indonesia dalam jaringan internasional masih lemah.
Pengajar maritim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Saut Gurning, di Jakarta, Kamis (21/12/2023), berpendapat, konektivitas laut Indonesia selama sembilan tahun terakhir membaik. Konsep tol laut patut diapresiasi seiring dengan pembangunan infrastruktur pelabuhan serta trayek perintis yang bertambah.
Angka kargo logistik Indonesia juga meningkat, dari 1,4 miliar-1,5 miliar ton pada 2014, kemudian kini naik menjadi 2,2 miliar-2,3 miliar ton. Indonesia cenderung menikmati dan memanfaatkan pelaku usaha domestik sehingga daya ungkit logistik serta penerimaan lebih baik, tetapi tak merata.
Meski demikian, Saut mengingatkan, ekosistem perairan Indonesia dalam skala internasional masih lemah. Galangan kapal atau tempat memperbaiki serta memproduksi kapal Indonesia masih minim. Akibatnya, banyak impor komponen, produksi kapal, serta perbaikannya dari luar negeri.
Angka kargo logistik Indonesia juga meningkat, dari sekitar 1,4-1,5 miliar ton pada 2014, kemudian kini naik menjadi 2,2-2,3 miliar ton. Indonesia cenderung menikmati dan memanfaatkan pelaku usaha domestik, sehingga daya ungkit logistik serta penerimaan lebih baik, tetapi tak merata.
Banyak impor komponen
Meski demikian, ekosistem perairan Indonesia dalam skala internasional masih lemah. Galangan kapal atau tempat memperbaiki serta memproduksi kapal Indonesia masih minim. Akibatnya, banyak impor komponen, produksi kapal, serta perbaikannya dari luar negeri.
Performa logistik Indonesia masih berfluktuasi, kurang progresif dibanding Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Sebab, pertumbuhan ekosistem ini masih berekspansi pada pasar domestik.
“Kurang sekali berorientasi pada output looking. Itu persoalan. Akibatnya, cara kita mengembangkan (ekosistem) internal dan protektif,” ujar Saut.
Ia berharap, perlu ada keseimbangan antara orientasi luar negeri dan dalam negeri. Lebih baik jika bisa berorientasi ke luar negeri untuk kepentingan dalam negeri.
“Kita harus kembangkan bantalan strategi internasional untuk kepentingan nasional. Kita saat ini sangat puas dengan prestasi domestik, tapi itu sebenarnya belum maksimal. Kita masih di zona nyaman saja, akhirnya mematikan kemampuan kita kalau tidak awas,” tuturnya.
Dualisme
Secara terpisah, anggota Ombudsman periode 2016-2021 yang membidangi transportasi, informasi, telekomunikasi, dan lingkungan hidup, Alvin Lie, mengemukakan bahwa banyak pembangunan yang patut diapresiasi. Namun, ia juga memberi catatan. Salah satunya, transportasi perairan.
Alvin berpendapat, masih terjadi dualisme pengelolaan transportasi perairan. Satu pihak adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Satu pihak lagi adalah Direktorat Transportasi Sungai, Danau, dan Penyeberangan di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Tumpang tindih ini mengakibatkan standardisasi aspek keselamatan menjadi berbeda-beda. Demikian pula dengan aspek administrasi serta surat izin berlayar.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, selama sembilan tahun terakhir sejumlah proyek pembangunan dikerjakan. Misalnya, 71 pelabuhan penyeberangan, 5 terminal tipe A, serta 18 pelabuhan baru.
Kementerian Perhubungan juga membangun 25 bandara baru. Jalur kereta api yang berstatus baru mencapai 1.683,44 kilometer spoor. Ada pula revitalisasi fasilitas-fasilitas perhubungan lainnya.
Perbaikan layanan
Kereta api, khususnya di bawah naungan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI mengalami metamorfosis positif. Banyak perbaikan dari segi fisik serta pelayanannya. Harganya pun relatif terjangkau.
“Paling signifikan (perubahannya) adalah kemampuan menertibkan perilaku pengguna jasanya. Sistem pelayanan yang lebih jelas, ketegasan penindakan ternyata kita mampu. Itu juga sesuatu yang perlu kita apresiasi,” tutur Alvin.
Namun, fasilitas yang baik ternyata masih belum diikuti sistem yang memadai oleh Lintas Rel Terpadu (LRT). Baik LRT Palembang maupun Jabodebek masih memiliki kekurangan. LRT Palembang minim konektivitas, sedangkan LRT Jabodebek menghadapi persoalan yang lebih rumit, mulai dari ketiadaan tempat penjemputan penumpang hingga desain yang bermasalah. Hal-hal teknis ini masih luput dari perhatian Menhub.
Selain itu, KA cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek percontohan. Kelanjutan pembangunan pada rute lain perlu dikaji lebih dalam. Namun, hal ini menekankan minimnya kebijakan pemerintah yang kurang konsisten terhadap pemerataan pembangunan. Belum lagi ketika Ibu Kota Nusantara (IKN) berpindah, maka mobilitas masyarakat bisa jadi tak sepadat sekarang.
“Saya heran, IKN dipindah, tapi pembangunan infrastruktur di Jawa masih jor-joran. Kenapa tidak bangun infrastruktur serupa di Kalimantan, misalnya, menghubungkan IKN dengan Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak,” ujarnya.
Harga tiket mahal
Berkaitan dengan transportasi udara, harga tiket masih menjadi isu yang mencuat. Masyarakat mengeluhkan tingginya harga tiket, sedangkan maskapai penerbangan terbebani menanggung biaya operasional yang mahal.
Alvin mengatakan, banyak menteri yang mempermasalahkan harga tiket. Namun, mereka tak melihat penyebab kenaikan harganya. Ada komponen serta perawatan pasawat yang mahal karena harus diimpor, sehingga biaya yang berlaku dalam dollar AS.
Ia juga menyayangkan pengelolaan bandara masih dimonopoli Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, tak ada persaingan, sehingga minim motivasi untuk berinovasi dan bekerja secara efisien. “Padahal tidak ada regulasi yang melarang swasta untuk mengelola bandara. Ini hanya sikap politik menterinya saja,” kata Alvin.
Pembangunan bandara pun tak memperhatikan desain yang efisien. Gedung-gedungnya mewah dan megah, tetapi justru menciptakan pekerjaan baru untuk biaya operasi dan perawatan yang lebih mahal.
“Harapan saya, tentunya ditinjau kembali desain dari gedung-gedung terminal ini agar tidak perlu mewah, tidak perlu megah, cukup fungsional seperti juga bandara-bandara di Amerika Serikat, China, dan Australia yang fungsional. Hal itu menekan harga biaya yang dibayar pengguna jasa,” tuturnya.
Berbagai perbaikan telah dilakukan pada sektor perairan. Pergerakan barang, terutama ekspor-impor lebih lancar.PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo juga Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Indonesia menunjukkan peningkatan pelayanan. Sistem lebih lancar dan efisien.