Kenaikan jumlah kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan belum signifikan. Proses akuisisi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan belum progresif. Sosialisasi yang masif mengenai manfaat jaminan sosial amat diperlukan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dari sekitar 90 juta tenaga kerja di Indonesia yang memenuhi syarat menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, baru sebanyak 60 juta tenaga kerja yang terdaftar sebagai peserta. Dari jumlah yang terdaftar tersebut, hanya 40 juta tenaga kerja yang tercatat sebagai peserta aktif. Sosialisasi manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan perlu dilakukan secara masif.
Demikian yang terungkap dalam diskusi media bersama Ombudsman RI, Kamis (21/12/2023), di Jakarta. Narasumber utama diskusi tersebut adalah anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dengan tema ”Pengawasan atas Pelayanan Publik Bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan, Kepegawaian, Jaminan Sosial, dan Perlindungan Sosial”. Turut hadir pula Kepala Keasistenan Pemeriksaan VI Ombudsman RI Ahmad Sobirin dalam acara tersebut.
Menurut Ahmad, sepanjang tahun 2023, kenaikan jumlah kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan belum signifikan. Ia memperkirakan proses akuisisi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan belum progresif. Program akuisisi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, seperti program Desa Sadar BPJS Ketenagakerjaan, dinilai belum optimal.
”Hal yang penting adalah melakukan pengarusutamaan manfaat program -program jaminan sosial ketenagakerjaan di masyarakat. Jika dibandingkan dengan jaminan sosial kesehatan, proses pengarusutamaan sudah masif, seperti di setiap fasilitas kesehatan terpasang poster-poster manfaat,” kata Ahmad.
Dasar hukum BPJS Ketenagakerjaan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. UU tersebut memiliki beberapa aturan turunan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No 44/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian hingga PP No 82/2019 tentang Perubahan atas PP No 44/2015.
BPJS Ketenagakerjaan memiliki tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan jaminan sosial ketenagakerjaan melalui lima program, yaitu jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), dan jaminan kematian (JKM).
Anggaran pemerintah
Robert menambahkan, pihaknya mendorong agar ada penguatan paradigma manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan di tataran kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Apalagi, jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan mandat konstitusi.
”Fokus BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja menjadi peserta dan ini harus diurus. Aktivitas bisnis komersial BPJS Ketenagakerjaan juga penting, tetapi akuisisi kepesertaan lebih mendesak,” ucap Robert.
Beberapa pemerintah daerah, seperti Jawa Barat dan DKI Jakarta, telah mendaftarkan pekerja rentan sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Pekerja rentan yang dimaksud di sini, misalnya, adalah petugas kebersihan di masjid. Kedua pemerintah provinsi itu juga membantu iuran dengan menggunakan skema bantuan sosial.
”Penyusunan anggaran negara untuk membantu kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan kepada pekerja bukan penerima upah itu amat memungkinkan. Akan tetapi, kami mengusulkan agar hal itu dilakukan dengan penahapan, seperti kepada pekerja yang informal miskin,” ujar Robert.
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, dari sisi kepesertaan untuk pekerja penerima upah (pekerja formal) belum terlihat kenaikan yang signifikan. Pengawasan dan penegakan hukum masih belum berjalan dengan baik.
Beberapa pemerintah daerah, seperti Jawa Barat dan DKI Jakarta, telah mendaftarkan pekerja rentan sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Pekerja rentan yang dimaksud di sini, misalnya, adalah petugas kebersihan di masjid.
Temuan-temuan pelanggaran kepesertaan yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan belum serius ditindaklanjuti oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah selaku penyelenggara pelayanan publik.
Dari sisi BPJS Ketenagakerjaan, menurut dia, sampai sekarang belum membuka saluran pendaftaran mandiri bagi pekerja penerima upah. Jika ini dilakukan, jumlah pendaftar peserta jaminan sosial akan naik.
Pekerja rentan
Kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan dari sisi pekerja bukan penerima upah (BPU) atau informal sebenarnya sudah lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena sekarang sudah mencapai 7-8 juta orang. Kendati demikian, angka ini terbilang masih rendah.
Apabila ada kenaikan peserta BPU, ini karena ditopang oleh kenaikan kepesertaan pekerja rentan yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, seandainya pemerintah pusat mau mengimplementasikan JKM dan JKK untuk pekerja rentan, hal itu akan bisa mendongkrak kenaikan kepesertaan.
Sesuai Pasal 14 dan 17 pada UU No 40/2004, penerima bantuan iuran adalah masyarakat miskin dan masyarakat golongan tidak mampu. Apabila muncul usulan agar semua pekerja informal dijadikan penerima bantuan iuran, hal itu dipandang tidak tepat. Secara anggaran fiskal juga akan sulit direalisasikan.
”Memang, untuk pekerja informal atau BPU, upaya meningkatkan kepesertaannya juga harus disertai sosialisasi dan membangun sistem pembayaran iuran yang ramah bagi mereka. Sementara untuk meningkatkan kepesertaan pekerja penerima upah, kuncinya adalah penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak mau mendaftarkan karyawannya atau sudah mendaftarkan, tetapi tidak rutin membayar iuran,” ujar Timboel.
Untuk pekerja informal atau BPU, upaya meningkatkan kepesertaannya juga harus disertai sosialisasi dan membangun sistem pembayaran iuran yang ramah bagi mereka.
Timboel menambahkan, masalah lain yang ia temui adalah sumber daya manusia di beberapa kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan yang belum paham regulasi. Sebagai contoh, di beberapa kantor cabang, JKK disebut sebagai kematian karena sakit, bukan kematian karena kecelakaan kerja. Contoh lainnya, sumber daya manusia di kantor cabang tidak selektif menerima pendaftaran peserta BPU.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo, dalam siaran pers, mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan berkomitmen untuk menyejahterakan pekerja. Komitmen diwujudkan melalui inovasi yang dia sebut sudah banyak, misalnya layanan yang bersifat digital.
”Dulu, klaim manfaat bisa memakan waktu lima hari kerja. Sekarang, melalui aplikasi, klaim manfaat cukup 15 menit,” ujarnya.
Dalam tiga tahun mendatang atau 2026, BPJS Ketenagakerjaan menargetkan, jumlah peserta naik menjadi 70 juta orang dan dana kelolaan mencapai Rp 1.000 triliun.