Hidup Kian Sulit, Masyarakat Sukar Keluar dari Jerat Utang
Alokasi pendapatan masyarakat semakin banyak tersedot untuk membayar cicilan karena meningkatnya beban biaya hidup tidak diiringi perluasan dan stabilitas lapangan kerja.
Di tanggal 25 setiap bulannya, lebih dari 70 persen gaji yang masuk ke rekening Putra (34) terpotong secara otomatis untuk membayar cicilan kredit pemilikan rumah (KPR). Kondisi ini sudah berlangsung sekitar tujuh bulan terakhir, semenjak istrinya terkena lay-off atau pemutusan hubungan kerja.
Awal menyodorkan permintaan KPR kepada salah satu bank BUMN, kira-kira empat tahun lalu, Putra dan istrinya mengajukan kredit dengan metode joint income. Besar gaji istrinya yang hampir dua kali lipat dari gaji Putra saat itu membuat bank menyetujui permintaan KPR tenor 20 tahun dengan cicilan Rp 7 juta per bulan untuk unit rumah yang ada di Tangerang Selatan.
”Harga rumah yang kami beli sekitar Rp 1 miliar lebih sedikit. DP (uang muka) yang kami bayar cuma Rp 35 juta. Karena DP-nya kecil, makanya cicilannya agak gede dan tenornya panjang,” cerita Putra saat ditemui pada Rabu (20/12/2023).
Pada Oktober 2022 lalu, Putra yang bekerja di sektor online groceries mendapat kesempatan untuk pindah kerja ke perusahaan yang dapat memberikannya gaji sedikit di atas dari perusahaan sebelumnya.
Setelah mengambil kesempatan tersebut dan mendapatkan kenaikan gaji, Putra pun memutuskan untuk menjual mobil lama yang sebelumnya ia gunakan. Hasil penjualan itu ia gunakan sebagai uang muka untuk mencicil mobil baru.
Boro-boro buat lanjutin nabung dan investasi. Gaji saya saja setiap bulan sudah habis buat bayar angsuran. Memang begini situasinya.
”Mobil yang sebelumnya saya pakai sudah sakit-sakitan. Rewel banget setiap bulan pasti ada biaya yang keluar. Karena ada rezeki di pekerjaan baru, jadi sekalian saja ganti mobil baru untuk kenyamanan keluarga,” ujarnya.
Putra membeli mobil menggunakan layanan kredit kendaraan bermotor (KKB) dari salah satu perusahaan pembiayaan swasta. Ia mengambil tenor empat tahun dengan besaran angsuran Rp 3,6 juta per bulan.
Ketika itu semua berjalan baik-baik saja. Angsuran sebesar Rp 10 juta per bulan tak menjadi beban keluarga Putra. Keluarga ini bahkan tetap secara rutin berinvestasi pada produk reksa dana dan obligasi negara untuk keperluan pendidikan anak dan liburan.
Tabungan terkuras
Tak ada yang menyangka pada pertengahan tahun ini keluarga kecil Putra mendapatkan musibah berupa pemutusan hubungan kerja yang menimpa istri Putra. Pada bulan yang sama saat sang istri kehilangan pekerjaan, besaran angsuran bulanan KPR Putra tiba-tiba membengkak hingga Rp 9 juta. Rupanya periode cicilan KPR miliknya mulai memasuki masa bunga floating.
Ia menunjukkan kepada Kompas bukti angsuran kredit tersebut. Rupanya, suku bunga dalam tagihan Putra di bank BUMN penyalur KPR tersebut sudah naik menyentuh angka 10 persen.
Pesangon istri Putra yang rencana awalnya akan diinvestasikan untuk kebutuhan sekolah anak di masa depan jadi tetap terpakai setiap bulannya untuk keperluan harian. Pasalnya, setiap bulan keluarga ini harus membayar angsuran yang total besarannya hampir Rp 14 juta. Di tambah lagi, sejak pertengahan tahun ini, anak Putra sudah mulai sekolah di taman Kanak-kanak (TK).
”Jadi boro-boro buat lanjutin nabung dan investasi. Gaji saya saja setiap bulan sudah habis buat bayar angsuran. Karena memang begini situasinya, anak sudah mulai sekolah, istri jadi terdorong untuk mencari kerja, tapi sampai sekarang belum ada panggilan,” ujar Putra.
Nasib yang sama dengan situasi berbeda dirasakan Thea (33), karyawan swasta yang berdomisili di Jakarta Barat. Tahun ini menjadi tahun kelimanya mengangsur sebuah rumah yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur. Rumah tersebut ia beli sebagai hunian kedua orangtuanya yang sudah pensiun.
”Jadi selama ini orangtua tinggal di rumah dinas. Saat sudah pensiun, kan, otomatis rumah dinas enggak bisa ditinggalin, akhirnya saya beli rumah untuk mereka dengan skema KPR,” ujarnya.
Baca Juga: Balada Masyarakat ”Mantab”, Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari
Jeratan angsuran
Sejak pertengahan 2021, Thea sudah membayar angsuran KPR dengan bunga floating 11 persen sebesar Rp 5 juta per bulan. Di luar angsuran untuk KPR, ia juga harus membayar angsuran kredit tanpa agunan (KTA) sebesar Rp 1 juta per bulan dari sebuah bank BUMN swasta. KTA ini mulai ia ajukan sejak 2022 kemarin untuk keperluan renovasi rumah yang dihuni orangtuanya.
Di Jakarta, Thea tinggal sendiri di kamar kos dengan biaya sewa Rp 2 juta per bulan. Semenjak pandemi Covid-19, gaji yang diterima Thea dari perusahaan tempat ia bekerja mengalami stagnansi. Karena itu, acap kali saat gaji sudah menipis di pertengahan bulan, Thea memenuhi keperluan rutin bulanan menggunakan layanan paylater.
”Kayak misalnya sabun dan sampo habis, skincare habis, beras habis, mau nggak mau jadi cicil paylater. Tapi, ini enggak selalu setiap bulan sih dan cicilannya enggak lama-lama,” tutur Thea.
Ia juga sempat menggunakan cicilan paylater untuk membeli laptop karena laptop yang ia gunakan untuk bekerja sehari-hari rusak. Beruntung di periode waktu tertentu, ia punya penghasilan tambahan dari pekerjaan sampingan. Namun, saat sedang tidak ada pekerjaan sampingan, Thea mesti berbagi beban dengan adik kandungnya yang tinggal di kota berbeda.
Hasil Survei Konsumen BI menunjukkan alokasi pendapatan untuk membayar cicilan utang melonjak dari 8,8 persen pada Oktober 2023 menjadi 9,3 persen pada November 2023.
”Kalau lagi enggak ada pekerjaan sampingan, kadang saling bantu saja sama adik. Kalau dia lagi ada lebih, ya, saya pinjem dulu. Sebaliknya juga, kalau saya lagi ada lebih, saya pinjemin ke dia,” ujar Thea.
Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) edisi November 2023 menunjukkan, kondisi yang mengimpit Putra dan Thea juga terjadi pada banyak masyarakat Indonesia. Kondisi keuangan masyarakat memburuk di tengah lonjakan harga pangan dan menyempitnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Pendapatan yang tidak bertambah mengikis kemampuan masyarakat untuk menabung.
Di sisi lain, alokasi pendapatan semakin banyak yang tersedot untuk membayar cicilan utang. Bahkan, kenaikan beban utang membuat alokasi pendapatan masyarakat untuk konsumsi ikut terkikis.
Hasil Survei Konsumen BI menunjukkan alokasi pendapatan untuk membayar cicilan utang melonjak dari 8,8 persen pada Oktober 2023 menjadi 9,3 persen pada November 2023. Kondisi ini menurunkan kemampuan masyarakat untuk menabung dengan penurunan proporsi tabungan dari 15,7 persen dari pendapatan pada Oktober 2023 menjadi 15,4 persen pada November 2023.
Rata-rata proporsi pengeluaran masyarakat untuk konsumsi tercatat menurun tipis dari 75,6 persen dari pendapatan pada Oktober 2023 menjadi 75,3 persen terhadap pendapatan pada November 2023. Ini terjadi di semua kelompok pengeluaran.
Dengan kata lain, pendapatan mayoritas masyarakat Indonesia semakin banyak yang tersedot untuk membayar cicilan utang sehingga memangkas konsumsi dan kemampuan menabung.
Lonjakan biaya
Ekonom senior sekaligus Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri, mengatakan, fenomena kenaikan beban cicilan masyrakat menandakan adanya dampak beban suku bunga terhadap porsi tabungan masyarakat. Artinya, saat masyarakat hendak mempertahankan konsumsi, konsekuensinya adalah mengambil porsi tabungan ataupun mengambil utang baru.
”Kalau orang mau mempertahankan konsumsi, porsi tabungan mau tidak mau turun, makan tabungan. Opsi lain adalah membuka utang baru. Orang akan belanja, tapi belanjanya melalui utang,” tutur Chatib.
Baca Juga: Biaya Hidup Naik, Rp 14,88 Juta Per Bulan di Jakarta
Fenomena ”mantab” alias makan tabungan dan gali lubang tutup lubang dengan utang akan terus dekat dengan masyarakat Indonesia selama kenaikan beban biaya hidup tidak diiringi dengan perluasan dan stabilitas lapangan pekerjaan.
Dalam empat tahun terakhir, nilai konsumsi rata-rata atau biaya hidup rumah tangga per bulan di Indonesia naik di kisaran Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Ini tecermin dari 10 kota dengan biaya hidup tertinggi hasil Survei Biaya Hidup 2022. Biaya hidup rumah tangga di Jakarta, contohnya, naik Rp 1,43 juta per bulan menjadi Rp 14,88 juta per bulan.
Jika persoalan ini tidak segera diantisipasi, jangan harap ambisi Indonesia untuk segera lolos dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) bisa terwujud.