Praktik PHK Sepihak Masih Warnai Pengaduan Pelanggaran Ketenagakerjaan
Hubungan kerja yang semakin lentur dan ditandai dengan kontrak pendek berkepanjangan berpotensi membuat pekerja rentan terkena pemutusan hubungan kerja sepihak.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang mewarnai deretan pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan. Ditengarai ada masalah struktural yang belum selesai sehingga praktik seperti itu berulang di sejumlah daerah setiap tahun.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mencontohkan, dalam rekapan catatan akhir tahun 2022, YLBHI menerima 270 pengaduan dari sekitar 2.500 pekerja pencari keadilan. Laporan tersebut berasal dari 18 kantor, antara lain LBH Jakarta, LBH Surabaya, dan LBH Semarang.
Terdapat 270 pengaduan, antara lain terdapat pengaduan tidak adanya pemberitahuan pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih awal. Jenis pengaduan lainnya ialah pemberangusan serikat pekerja/buruh, pengabaian hak saat bekerja, tidak mendapatkan kerja layak, dan tidak menerima upah adil.
Di LBH Surabaya, yang merupakan daerah kantong industri, berikut sekeliling Surabaya, terdapat 11 laporan pengaduan PHK sepihak sepanjang tahun 2022. Sementara itu, sesuai catatan akhir tahun 2022 LBH Semarang, terdapat empat buruh yang awalnya merespons keterlambatan pembayaran upah, tetapi berujung mengalami PHK.
Secara umum tidak ada pola penegakan hukum bagi buruh/pekerja dari satu tempat kerja di suatu daerah ke daerah lain. Dia berpendapat, ada masalah struktural yang tidak selesai di balik kemunculan pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang masuk, termasuk PHK sewenang-wenang.
Ada masalah struktural yang tidak selesai di balik kemunculan pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang masuk, termasuk PHK sewenang-wenang.
”Aktor-aktor (pelaku) tidak banyak berubah, yaitu seputar perusahaan lokal, individu dari perusahaan, pejabat daerah setempat, dan pejabat instansi pemerintahan nasional,” ujar Arif, Selasa (19/12/2023), di Jakarta.
YLBHI masih menunggu 18 kantor LBH tuntas merekap catatan akhir tahun 2023 sehingga belum bisa menyampaikan kepastian jumlah pengaduan pelanggaran hak ketenagakerjaan sepanjang 2023. Hanya saja, Arif menekankan, daripada menekankan pada kuantitas pengaduan, lebih baik fokus kepada jenis pelanggaran. Sebab, jenis pelanggaran berkorelasi dengan seberapa besar dampak yang dialami buruh/pekerja.
Kemunculan omnibus law Cipta Kerja, dia nilai, menyebabkan semakin berkurangnya perlindungan terhadap pekerja. Dalam konteks PHK, sesuai regulasi itu, perusahaan akan lebih mudah melakukan PHK karena cukup melayangkan surat PHK kepada pekerja yang disasar dalam waktu 14 hari kerja sebelum dilakukan PHK.
”Apabila dikaitkan lebih jauh dengan kondisi demokrasi, kami rasa hampir semua elemen masyarakat mengalami ketidakadilan. Beberapa petani atau masyarakat adat juga dirampas tanahnya dengan mengatasnamakan proyek strategis nasional. Artinya, ada masalah dalam negara,” kata Arif.
Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan, pada tahun 2022, LBH Jakarta menerima 150 pengaduan perburuhan. Lalu, sepanjang 2023, jumlah pengaduan perburuhan tercatat 120 pengaduan.
Dari 120 pengaduan pada 2023, penjabarannya adalah 3 kasus mengenai pelanggaran hak pekerja migran, 63 kasus pelanggaran hak normatif pekerja, 3 kasus hubungan kerja, 2 kasus kepegawaian, 1 kasus pekerja gig (pekerja sistem mitra berbasis aplikasi), 8 kasus PHK, 1 kasus pemberangusan serikat pekerja, dan 39 kasus pidana perburuhan.
”Memang, ada penurunan jumlah pengaduan dari tahun 2022 ke 2023, tapi bukan berarti situasinya semakin baik. Angka-angka itu baru di LBH Jakarta. Belum kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di luar sana tanpa diadukan karena mungkin pekerja keburu diintimidasi dan dilumpuhkan ekonominya secara luar biasa,” ujar Citra.
Menurut dia, LBH Jakarta mempunyai kriteria khusus dalam menangani ataupun mendampingi kasus buruh. LBH Jakarta biasanya akan mengadakan rapat kasus dari setiap pengaduan perburuhan yang masuk.
Aktivis buruh Kokom Komalawati berpendapat, sejak omnibus law Cipta Kerja berlaku, praktik PHK terasa lebih mudah. Di sejumlah pabrik yang dia amati, PHK bisa dilakukan melalui pesan singkat yang dikirim melalui aplikasi pesan instan.
”Selama pandemi Covid-19, beberapa praktik PHK malahan terjadi tanpa pesangon. Tidak ada tindakan konkret dari negara. Hubungan industrial sudah buruk, apalagi tahun 2023 keluar Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global,” kata Kokom yang terlibat dalam Komite Hidup Layak.
Pemecatan buruh/pekerja dengan dalih kontrak sudah habis. (Mala Ainun Rohma)
Ketua Serikat Pekerja PT Sai Apparel Industries Grobogan Mala Ainun Rohma menyampaikan, adanya kecenderungan hubungan kerja kontrak berdurasi pendek-pendek yang berkepanjangan. Situasi ini membuat pekerja rentan mengalami PHK.
”Pemecatan buruh/pekerja dengan dalih kontrak sudah habis,” ucap Mala.
Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Yuli Adiratna, saat dikonfirmasi, mengatakan, Kemenaker terus melakukan sosialisasi penerapan norma ketenagakerjaan melalui luring ataupun daring, termasuk berkolaborasi dengan organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh.
Semua aduan pelanggaran norma ketenagakerjaan akan ditindaklanjuti Kemenaker, baik ditindaklanjuti sendiri maupun dilimpahkan ke daerah.