Semangat Wirausaha Penyandang Disabilitas, dari Katering hingga Rias Wajah
Sesuai data survei Badan Pusat Statistik, pada 2022, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta orang. Jumlah itu naik dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 16,5 juta orang.
Penyandang disabilitas dengan keterbatasannya memiliki semangat agar berdaya untuk dirinya serta bermanfaat bagi keluarga dan sesama penyandang disabilitas. Untuk itu, mereka jatuh bangun berwirausaha mandiri.
Paini (52), begitu nama panggilan sekaligus nama lengkap perempuan penyandang disabilitas asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini. Jari - jari tangan dan kakinya berukuran pendek sejak lahir. Dia sekolah hanya sampai lulus sekolah menengah atas (SMA).
Keterbatasan yang dia miliki tidak lantas membuat semangatnya redup menjalani hidup. Setelah lulus dan berbekal ijazah SMA, pada 1992, dia memutuskan merantau ke Bekasi, Jawa Barat.
Dari enam perusahaan tempat ia melayangkan surat lamaran kerja, tak ada satu pun yang memanggil dan menerima dia.
Kala itu, dia berpikir, Bekasi yang dekat dengan ibu kota Jakarta bisa menawarkan lapangan kerja yang lebih baik daripada di daerah asalnya. Kenyataan berbeda dengan apa yang ada dalam pikirannya. Dari enam perusahaan tempat ia melayangkan surat lamaran kerja, tak ada satu pun yang memanggil dan menerima dia.
”Saya perempuan, bertubuh pendek, disabilitas, dan memakai hijab. Diskriminasi tersebut yang dialamatkan kepada saya sehingga saya susah keterima kerja. Saya kelelahan, hampir menyerah, hingga di pabrik boneka milik Korea Selatan, saya nekat menyodorkan diri meski tiga hari pertama boleh tidak dibayar dulu,” ujar Paini, Minggu (17/12/2023), di Jakarta.
Pindah-pindah kerja
Dalam tiga hari itu, Paini belajar dan bekerja menjahit dengan mesin jahit modern yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Salah seorang supervisor yang menurut dia baik hati mau mengajari. Dalam tiga hari itu, demi mendapatkan pekerjaan dan perusahaan mau bayar, dia rela sampai mengabaikan makan siang. Salah satu tangannya sampai tertusuk jarum.
Setelah tiga hari dia akhirnya bisa menjahit semua bagian boneka. Perusahaan akhirnya mau mempekerjakan dan menggajinya. Di pabrik boneka, Paini bekerja selama dua tahun hingga menikah.
Selanjutnya, dia berpindah-pindah pabrik padat karya dengan pekerjaan sebagai penjahit. Upah sebagai buruh pabrik pas-pasan meskipun adakalanya ia mengambil lembur sampai pulang malam. Suaminya yang bekerja sebagai kernet metromini pun juga mendapat upah pas-pasan.
Baca juga: Warga Disabilitas Jakarta Mendamba Meratanya Bantuan dan Pudarnya Stigma
”Saya juga mulai mengalami masalah penglihatan. Tahun 2000-an, akhirnya memutuskan tidak mau bekerja di pabrik. Uang pesangon saya gunakan sebagai modal membuat usaha onde-onde ketawa,” kata Paini.
Mulanya, Paini menitipkan onde-onde ketawa ke satu warung hingga berkembang jadi 200 warung. Dari hanya onde-onde ketawa, usahanya berkembang jadi aneka camilan kering. Dari warung, dia percaya diri menawarkan produknya ke kegiatan car free day. Semua pendapatan dari usaha itu yang akhirnya dipakai untuk mendirikan dan mengoperasikan Rumah Singgah Disabilitas Mandiri Bekasi.
Rumah singgah
Rumah singgah, seperti namanya, memang dipakai Paini dan suami untuk menampung dan membina kelompok disabilitas yang mengalami diskriminasi di masyarakat agar berdaya.
Paini menyebut rumah singgah jangan dibayangkan seperti rumah mewah nan megah. Sebab, wujud rumah sangat sederhana. Di dalamnya hanya diisi kasur-kasur, kamar mandi, dan dapur.
Di situlah Paini mengajari para penyandang disabilitas lain untuk memasak dan menjahit. Sejumlah lembaga, seperti Badan Amil Zakat Nasional, pernah membantu memberikan pelatihan wirausaha di sana.
Paini mengajari para penyandang disabilitas lain untuk memasak dan menjahit.
Paini juga mencoba menjual nasi pecel pincuk, nasi jagung, dan nasi tiwul. Usahanya ini dijalankan di Situ Rawa Gede, Bekasi. Usaha ini baru berjalan tiga tahun dan sebulan terakhir dia sempat berjualan di kantin kantor Dana, perusahaan dompet digital, di Jakarta.
”Saya belum memiliki sistem pembukuan yang baik. Mungkin, sebulan saya bisa memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp 15 juta. Yang terpenting bagi saya adalah terus produksi, lalu hasilnya bisa dipakai bayar operasional dan membantu anak-anak (kelompok disabilitas yang ada di Rumah Singgah Disabilitas Mandiri Bekasi),” ucap Paini.
Saat ini, sudah ada ratusan penyandang disabilitas yang keluar dari rumah singgah dan berwirausaha sendiri.
Rian Satrio Wibisono (31), penyandang disabilitas
Katering
Penyandang disabilitas lain, Rian Satrio Wibisono (31), memutuskan berdaya dengan berwirausaha nasi kotak dan aneka kue. Rian adalah penyandang tunarungu. Nama usahanya adalah Dapur Cinta Tuli dan berdomisili di Tangerang Selatan, Banten.
Usaha itu baru berdiri pada 2020. Sebelumnya, Rian sempat bekerja di perusahaan, tetapi tidak pernah lama. Dia pernah bekerja di suatu perusahaan hanya dua bulan dan setelah itu mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa alasan yang jelas.
Baca juga: Membangun Kepercayaan Diri Penyandang Disabilitas lewat Pentas Seni
Bersama istrinya yang juga tunarungu, Rian menjalankan Dapur Cinta Tuli bermodal tabungan. Sekarang, pesanan nasi kotaknya bisa sampai 300 kotak dalam seminggu. Sementara pesanan kue paling banyak 3-4 kali per minggu.
Menurut Rian, dia dan istri sudah belajar menggunakan Instagram untuk promosi. Keduanya juga buka kanal pemesanan melalui aplikasi pesanan GoFood dan Shopee Food.
”Mungkin kami masih belajar pemasaran digital, jadi konten promosi yang kami unggah kurang menarik. Peralatan memasak pun belum banyak sehingga ini yang kami duga memengaruhi berapa macam kue yang bisa dijual,” kata Rian.
Perias wajah
Sementara itu, Prayoga Risdianto (30) atau akrab disapa Yoga adalah make up artist yang juga menyandang disabilitas. Dia tinggal di Jakarta Barat. Dalam sebulan, dia bisa melayani sampai 50 pesanan merias. ”Merias orang yang akan menikah, tunangan, dan mau menghadiri pesta,” ujarnya.
Yoga sebenarnya baru belajar merias wajah secara serius dua tahun lalu. Itu pun dia belajar dari pelatihan yang diadakan oleh Yayasan Perempuan Tangguh Indonesia. Sejak kecil, dia suka melukis sehingga merasa bahwa merias wajah seseorang sama dengan melukis.
Sejak kecil, dia suka melukis sehingga merasa bahwa merias wajah seseorang sama dengan melukis.
Yoga telah mengantongi sertifikat make up artist. Dia pernah diajak mengisi workshop merias wajah Anpa Suha, make up artist kenamaan Indonesia.
Pada awal-awal bekerja sebagai perias wajah, dia mengaku mengalami diskriminasi. Misalnya, ada orang pesan jasa rias. Ketika Yoga datang ke rumah pemesan dan si klien tahu bahwa Yoga menyandang tunarungu, pemesan itu langsung menyuruhnya pulang begitu saja. Namun, diskriminasi seperti itu sudah tidak dialami lagi sekarang.
22,5 juta orang
Sama seperti Paini dan Rian, Yoga pun sebelum terjun serius sebagai perias wajah adalah karyawan perusahaan. Dia bekerja cukup lama di salah satu perusahaan media di Jakarta. Di sana, dia bekerja sebagai tenaga administrasi, seperti cetak dokumen dan memasukkan data.
”Orangtua mendukung keputusan saya menjadi perias wajah. Dengan profesi saya ini, saya berharap penyandang disabilitas lain berani tampil,” ucap Yoga.
Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2022 mencapai 22,5 juta orang atau 8,5 persen dari total populasi penduduk.
Sesuai data survei Badan Pusat Statistik, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2022 mencapai 22,5 juta orang atau 8,5 persen dari total populasi. Tahun sebelumnya, jumlah penyandang disabilitas 16,5 juta orang.
Hanya 7,6 juta dari 17 juta penyandang disabilitas usia produktif yang saat ini bekerja. Mereka bekerja di sektor formal dan informal.
Masalah keuangan
Ketua III Yayasan Perempuan Tangguh Indonesia Hermasari Dharmabumi mengatakan, ada kelompok disabilitas usia produktif yang bisa beradaptasi dengan perusahaan. Ada pula kelompok disabilitas usia produktif yang tidak bisa beradaptasi dengan tempat kerja sehingga harus didorong berwirausaha dengan keluarganya.
Lalu, ada kelompok disabilitas yang tidak termasuk dalam dua kelompok sebelumnya, seperti penyandang disabilitas cerebral palsy. Pendekatan berwirausaha kelompok ini semestinya dialamatkan kepada orangtua penyandang disabilitas.
”Kemudian, kelompok disabilitas mental. Karya seni yang dihasilkan kelompok ini, terutama lukisan, sebenarnya bisa disambungkan dengan perusahaan garmen untuk bahan motif kain. Penyandang disabilitas yang membuat karya seni itu mendapat royalti,” kata Hermasari.
Baca juga : Penyandang Disabilitas Melawan Stigma dengan Prestasi
Masalah yang biasa dialami oleh penyandang disabilitas dan keluarganya berkaitan dengan bisnis, menurut Hermasari, adalah persoalan pengelolaan keuangan, akses pendanaan, distribusi, dan pemasaran digital. Mengatasi permasalahan tersebut harus dilakukan secara gotong royong antara pemerintah, swasta, dan organisasi nonpemerintah.
Yo Renno Widjaja, salah satu dari lima pendiri Sunyi Coffee House and Hope, menyampaikan, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja.
Ia berpendapat, saat ini sudah banyak perusahaan swasta menjalankan amanat itu, termasuk pelaku industri makanan dan minuman. Sunyi Coffee House and Hope sendiri, yang sudah punya tiga cabang, mempekerjakan semua karyawan berlatar belakang penyandang disabilitas.
Sebagian pendapatan dari penjualan kopi susu dipakai untuk membiayai pelatihan penyandang disabilitas di Sunyi Academy.