BP Tapera berharap semakin banyak bank menyalurkan dana FLPP dan tidak hanya pada rumah tapak, tetapi juga rumah susun.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi program rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP untuk tahun 2023 dinyatakan mencapai target. Hingga pertengahan 2023, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat atau BP Tapera telah menyalurkan fasilitas pembiayaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 229.000 unit atau senilai Rp 26,32 triliun.
Komisioner BP Tapera, Adi Setianto, menyatakan, penyaluran dana FLPP telah memenuhi target tahun 2023 sesuai komitmen dengan Kementerian Keuangan. Penyaluran 229.000 rumah bersubsidi itu meliputi 228.914 rumah tapak senilai Rp 26,31 triliun dan 86 rumah susun senilai Rp 11,94 miliar.
”BP Tapera berharap ke depan semakin banyak bank penyalur yang concern dalam menyalurkan dana FLPP dan tidak hanya fokus pada rumah tapak, tetapi juga rumah susun,” ujarnya dalam keterangan pers, Selasa (12/12/2023).
Penyaluran dana FLPP tahun 2023 melibatkan 40 bank penyalur. Penyaluran tertinggi dilakukan oleh Bank Tabungan Negara (BTN) sebanyak 126.269 unit, diikuti BTN Syariah 35.205 unit, Bank Rakyat Indonesia 22.076 unit, dan Bank Negara Indonesia yakni 14.193 unit. Sepuluh bank penyalur tertinggi menyalurkan 95,63 persen dari dana FLPP, sedangkan 30 bank penyalur lain sejumlah 4,37 persen.
Program rumah bersubsidi antara lain mencakup pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kredit pemilikan rumah dengan suku bunga tetap (fixed rate)berjangka waktu hingga 20 tahun, keringanan uang muka, dan bebas premi asuransi. Untuk tahun 2023, batasan maksimum harga jual rumah tapak bersubsidi yang bebas PPN untuk rumah tapak yakni di rentang Rp 162 juta hingga Rp 234 juta per unit berdasarkan zonasi.
Pada tahun 2024, batasan maksimum harga jual rumah tapak bersubsidi yang bebas PPN dipatok menjadi Rp 166 juta-Rp 240 juta per unit menurut zonasi. Penyaluran FLPP pada tahun 2024 ditargetkan sejumlah 166.000 rumah atau senilai Rp 21,04 triliun.
Penyaluran FLPP pada tahun 2024 ditargetkan sejumlah 166.000 rumah atau senilai Rp 21,04 triliun.
Adapun batasan harga rumah susun mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 995/KPTS/M/2021 tentang Batasan Penghasilan Tertentu, Suku Bunga/Marjin/Pembiayaan Pemilikan Rumah, Batasan Luas Tanah, Batasan Luas Lantai, Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dan Satuan Rumah Susun Umum, dan Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka. Dalam ketentuan itu, batasan harga rumah susun ditetapkan memiliki rentang harga Rp 248,4 juta hingga Rp 565,2 juta menurut zonasi.
Berdasarkan data dari BP Tapera, penyerapan 86 rumah susun bersubsidi meliputi rumah susun dengan harga di atas Rp 175 juta per unit (96,5 persen) dan di kisaran harga Rp 150 juta-Rp 175 juta per unit (3,5 persen). Serapan itu berlangsung di Kota Bekasi, Depok, dan Tangerang Selatan.
Menurut Adi, bank penyalur FLPP perlu memastikan bahwa penyaluran dana tepat sasaran dan dihuni oleh penerima manfaatnya. ”Rumah Tapera adalah rumah yang berkualitas dan pengembang harus memastikan bahwa rumah yang dibangun adalah rumah yang sesuai dengan peraturan yang ada dan layak untuk dihuni,” katanya.
BP Tapera mencatat, kontribusi program FLPP sejak tahun 2010 hingga 2024 untuk mengatasi kekurangan (backlog) kepemilikan rumah masyarakat berpenghasilan rendah sebesar 7,5 persen. Saat ini, angka kekurangan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit. Pemerintah telah menargetkan kekurangan rumah teratasi (zero backlog) pada tahun 2045.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengemukakan, pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan fasilitas bantuan pembiayaan perumahan, salah satunya FLPP yang dikelola oleh BP Tapera.
”Hingga saat ini, bantuan FLPP anggaran tahun 2023 sudah disalurkan 100 persen. Tercatat sudah ada antrean 16.000 untuk tahun 2024. Walaupun anggaran FLPP diperkirakan pada Juli 2024 sudah habis tersalurkan, saya usahakan anggaran FLPP ditambah lagi,” kata Basuki.
Minim kuota
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, kuota rumah subsidi sekitar 166.000 rumah pada tahun depan dinilai kurang untuk mengejar pengentasan backlog perumahan. Diperlukan tambahan kuota rumah bersubsidi dan instrumen subsidi lainnya, seperti subsidi selisih bunga bagi perbankan konvensional atau subsidi selisih margin bagi perbankan syariah.
”Kuota rumah subsidi pada tahun 2025 dan seterusnya harus ditingkatkan bertahap minimal menjadi 300.000-500.000 unit per tahun guna mengejar pengentasan backlog perumahan,” kata Daniel.
Adapun kategori masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat memiliki rumah subsidi untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur adalah berpenghasilan bulanan maksimal Rp 8 juta untuk berstatus kawin dan Rp 7 juta untuk yang tidak kawin.
Sementara itu, penghasilan bulanan untuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya maksimal Rp 10 juta untuk status kawin dan Rp 7,5 juta untuk status tidak kawin. Adapun luas lantai rumah umum ditetapkan paling luas 36 meter persegi.